tag:blogger.com,1999:blog-62464729530270762152024-03-13T14:54:27.787-07:00Dunia Sastra IndonesiaSastra Bukan merupakan untaian kata demi kata atau bait demi bait yang aneh. Tapi sastra merupakan hasil karya cipta yang murni dari jiwa yang paling dalam berupa mahluk ada dan tiada yang menjelma sebagai untain kata indahDunia Sastra Indonesiahttp://www.blogger.com/profile/01135526422163255710noreply@blogger.comBlogger30125tag:blogger.com,1999:blog-6246472953027076215.post-24980743161441410902008-07-19T09:38:00.001-07:002008-07-19T09:38:12.761-07:00Kata Mutiara Buya hamka Bag 1<div xmlns='http://www.w3.org/1999/xhtml'><div align='center'><div align='left'><font face='Times New Roman' color='#663333'>Wah......</font><font color='#663333'><br/></font></div><div align='left'><font face='Times New Roman' color='#663333'>Dah Sudah agak lama nie Q gak posting ........<br/>Ditungguin yach.......^_ " heheheheh makasa banget kayaknya....<br/><br/>Nah kalie nie Q posting agak berbeda nie dari postingan yang kemaren - kemaren ...<br/>Tuk cerita yang kemaren tunggu yach...kelanjutanya...<br/>Tuk kalie nie Q Posting Kata kata mutiara pahlawan kita ...<br/>Capa ya.........????<br/><br/>Disamping dia seorang pahlawan .....eh ternyata Dia adalah sastrawan yang terpandang dijamannya dan yang pasti dikenang sampe sekarang .....<br/>karena tulisanya yang begitu mempesona <br/>siapa ya kira - kira ???<br/><br/><br/>Dia adalah.......<br/>Bapak Buya Hamka......<br/><br/><br/> <br/></font><div align='center'><font face='Times New Roman' color='#663333'>Tulisan yang baik<br/>Bukan merupakan tulisan yang berkelok kelok indah tulisanya <br/>Bukan juga yang seratus bila kita menilainya<br/>Tapi......<br/>Tulisan yang baik adalah <br/>Tulisan dimana mengandung makna yang dalam <br/>Makna yang tersirat dalam di dalam tulisanya<br/>Tulisan yang serat makna<br/>Yang mampu menghidupkan jiwa <br/>(By Anwar)<br/><br/></font><div align='center'><font color='#663333'>Ini adalah Kata kata Mutiara Buya Hamka<br/></font></div><font face='Times New Roman' color='#663333'><br/></font><div align='left'><div align='center'><font face='Times New Roman' color='#663333'>Tahan menderita kepahitan hidup sehingga penderitaan<br/></font></div><div align='center'><font face='Times New Roman' color='#663333'>menjadi kekayaan adalah bahagia<br/><br/>Kenal akan keindahan dan sanggup menyatakan keindahan itu<br/>kepada orang lain adalah bahagia<br/><br/>Sewaktu kecil anak-anak lelaki menjadi perhiasan mata<br/>karena lucunya, karena dia tumpuan harapan, maka setelah dia<br/>besar, dia menjadi kebanggaan karena kejayaan hidupnya<br/><br/><br/>Ikhlas dan sejati akan bertemu di dalam senyuman anak<br/>kecil,senyum yang sebenarnya senyum,senyum yang tidak<br/>disertai apa-apa<br/><br/>Kegunaan harta tidak dimungkiri -Tetapi<br/>ingatlah yang lebih tinggi ialah cita-cita<br/>yang mulia<br/><br/>Adil ialah menimbang yang sama berat,<br/>menyalahkan yang salah dan<br/>membenarkan yang benar,<br/>mengembalikan hak yang empunya dan<br/>jangan berlaku zalim di atasnya<br/><br/>Berani menegakkan keadilan, walaupun<br/>mengenai diri sendiri, adalah puncak<br/>segala keberanian<br/><br/>Yang benar tetap benar, yang salah tetap<br/>salah. Kaya dan miskin di hadapan<br/>keadilan adalah sama<br/><br/>Berkisar dan berpaling dari keadilan<br/>kerana dorongan hawa nafsu hanyalah<br/>mempersulitkan diri sendiri<br/><br/>Kata - kata yang lemah dan beradab<br/>dapat melembutkan hati dan manusia<br/>yang keras<br/><br/>Hawa nafsu membawa kesesatan dan tidak berpedoman dan<br/>akal menjadi pedoman menuju keutamaan. Hawa nafsu<br/>menyuruh mengelamun, berangan-angan, tetapi akal<br/>menyuruh menimbang<br/><br/>Tidak semua orang yang menolak<br/>kebenaran itu tidak tahu bahwa yang<br/>ditolakkanya itu benar<br/><br/>Tiga rukun yang benar dan perlu dalam<br/>mencapai utama yaitu dengan tabiat,<br/>dengan pengalaman dan dengan pelajaran.<br/>Adapun musuh yang sentiasa menghalangi<br/>manusia mencapai keutamaan yalah hawa<br/>- nafsu yang menyebabkan marah dan<br/>dengki<br/><br/></font></div></div><font face='Times New Roman' color='#663333'><br/><br/><br/><br/><br/><br/><br/></font><font face='Times New Roman' color='#663333'><br/></font></div><font face='Times New Roman' color='#663333'><br/><br/><br/></font></div></div></div>Dunia Sastra Indonesiahttp://www.blogger.com/profile/01135526422163255710noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6246472953027076215.post-53064091165052371612008-07-18T04:49:00.001-07:002008-07-18T04:49:04.259-07:00CINTA, KEKAYAAN,KECANTIKAN, KESEDIHAN, KEGEMBIRAAN<div xmlns='http://www.w3.org/1999/xhtml'><font face='Times New Roman' color='#663333'>Cinta...??<br/>Apa itu cinta...?? Q sendiri tak begitu paham dengan sebuah kata pendek ini.....<br/>Katanya cinta mampu membuat suatu kebahagiaan ....<br/>Katanya cinta juga....malah menjadi malapetaka...yang menyakitkan......<br/>Wuh ...gk tau akh..........!!!!<br/>Yang Q tau cinta adalah suatu yang kasat mata....yang dapat memberikan kebahagiaan........<br/>Pi....bener gk yach.......????<br/>ya udah lah ...gk da habisnya klo ngomongin cinta..!!!<br/><br/>????? Anwar ??????<br/><br/><br/> Q ta mulai aza nih crita........<br/><br/>Alkisah di suatu pulau kecil, tinggallah berbagai macam benda-benda<br/>abstrak: ada CINTA, KEKAYAAN,KECANTIKAN, KESEDIHAN, KEGEMBIRAAN dan<br/>sebagainya. Awalnya mereka hidup berdampingan dengan baik dan saling<br/>melengkapi. Namun suatu ketika, datang badai menghempas pulau kecil itu<br/>dan air laut tiba-tiba naik semakin tinggi dan akan menenggelamkan<br/>pulau itu. Semua penghuni pulau cepat-cepat berusaha menyelamatkan<br/>diri. <br/><br/><br/>CINTA sangat kebingungan sebab ia tidak dapat berenang dan tak<br/>mempunyai perahu. Ia berdiri di tepi pantai mencoba mencari<br/>pertolongan. Sementara itu air makin naik membasahi kaki CINTA. Tak<br/>lama CINTA melihat KEKAYAAN sedang mengayuh perahu. "KEKAYAAN!<br/>KEKAYAAN! Tolong aku!" teriak CINTA. Lalu apa jawab KEKAYAAN<br/><br/><br/>"Aduh! Maaf,CINTA!" kata KEKAYAAN. "Perahuku telah penuh dengan harta<br/>bendaku. Aku tak dapat membawamu serta, nanti perahu ini tenggelam.<br/>Lagipula tak ada tempat lagi bagimu di perahuku ini." Lalu KEKAYAAN<br/>cepat-cepat mengayuh perahunya pergi meninggalkan CINTA tenggelam. <br/><br/><br/>CINTA sedih sekali, namun kemudian dilihatnya KEGEMBIRAAN lewat dengan<br/>perahunya. "KEGEMBIRAAN! Tolong aku!", teriak CINTA. Namun apa yang<br/>terjadi, KEGEMBIRAAN terlalu gembira karena ia menemukan perahu<br/>sehingga ia tuli tak mendengar teriakan CINTA. Air makin tinggi<br/>membasahi CINTA sampai ke pinggang dan CINTA semakin panik. Tak lama<br/>lewatlah KECANTIKAN. <br/><br/><br/>"KECANTIKAN! Bawalah aku bersamamu!", teriak CINTA. Lalu apa jawab<br/>KECANTIKAN, "Wah, CINTA, kamu basah dan kotor.Aku tak bisa membawamu<br/>ikut. Nanti kamu mengotori perahuku yang indah ini." sahut KECANTIKAN.<br/>CINTA sedih sekali mendengarnya. CINTA mulai menangis terisak-isak. Apa<br/>kesalahanku, mengapa semua orang melupakan aku. <br/><br/><br/>Saat itu lewatlah KESEDIHAN. Lalu CINTA memelas, "Oh, KESEDIHAN,<br/>bawalah aku bersamamu", kata CINTA. Lalu apa kata KESEDIHAN, "Maaf,<br/>CINTA. Aku sedang sedih dan aku ingin sendirian saja...", kata<br/>KESEDIHAN sambil terus mengayuh perahunya. CINTA putus asa. Ia<br/>merasakan air makin naik dan akan menenggelamkannya. CINTA terus<br/>berharap kalau dirinya dapat diselamatlkan. Lalu ia berdoa kepada<br/>Tuhannya, oh tuhan tolonglah aku, apa jadinya dunia tanpa aku, tanpa<br/>CINTA?<br/><br/><br/>Pada saat kritis itulah tiba-tiba terdengar suara, "CINTA! Mari cepat<br/>naik ke perahuku!" CINTA menoleh ke arah suara itu dan melihat seorang<br/>tua reyot berjanggut putih panjang sedang mengayuh perahunya. Lalu<br/>Cepat-cepat CINTA naik ke perahu itu, tepat sebelum air<br/>menenggelamkannya. <br/><br/><br/>Kemudian di pulau terdekat, orang tua itu menurunkan CINTA dan segera<br/>pergi lagi. Pada saat itu barulah CINTA sadar, bahwa ia sama sekali<br/>tidak mengetahui siapa orang tua yang baik hati menyelamatkannya itu.<br/>CINTA segera menanyakannya kepada seorang penduduk tua di pulau itu,<br/>siapa sebenarnya orang tua itu. "Oh, orang tua tadi? Dia adalah<br/>"WAKTU", kata orang itu. <br/><br/><br/>Lalu CINTA bertanya "Tapi, mengapa ia menyelamatkanku? Aku tak<br/>mengenalnya. Bahkan teman-teman yang mengenalku pun enggan menolongku",<br/>tanya CINTA heran. "Sebab", kata orang itu, "hanya WAKTU lah yang tahu<br/>berapa nilai sesungguhnya dari CINTA itu...</font></div>Dunia Sastra Indonesiahttp://www.blogger.com/profile/01135526422163255710noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6246472953027076215.post-53492193955555430622008-07-07T23:04:00.001-07:002008-07-07T23:04:04.850-07:00Dibalik Sebuah Kebohongan Cinta<div xmlns='http://www.w3.org/1999/xhtml'><div align='center'><font face='Comic Sans MS' color='#663333'>Mengapa saya kasih judul kayak ginie....</font><br/><font face='Comic Sans MS' color='#663333'>Ya....karena cerita ini adalah cerita tentang sebuah kebohongan cinta.....</font><br/><font face='Comic Sans MS' color='#663333'>Yang merupakan sebuah perbuatan yang mulia ......</font><br/><font face='Comic Sans MS' color='#663333'>Kebohongan yang mengantarkan seseorang menemui kebahagiaan mereka sesungguhnya<br/>By Anwar<br/></font></div><font face='Comic Sans MS' color='#663333'><br/><br/><br/><br/>Sewaktu Boy dan Girl baru pacaran,<br/><br />Boy melipat 1000 burung kertas buat Girl,<br/><br />menggantungkannya di dalam kamar Girl.<br/><br />Boy mengatakan 1000 burung kertas itu menandakan 1000 ketulusan hatinya.<br/><br />Waktu itu...<br/><br />Girl dan Boy setiap detik selalu merasakan betapa indahnya cinta mereka berdua...<br/><br />Tetapi pada suatu saat, Girl mulai menjauhi Boy.<br/><br/><br />Girl memutuskan untuk menikah dan pergi ke Perancis...<br/><br />Ke Paris...Tempat yang dia impikan di dalam mimpinya berkali2 itu...<br/><br/>Sewaktu Girl mau memutuskan Boy, <br/>Girl bilang sama Boy,<br/><br />kita harus melihat dunia ini dengan pandangan yang dewasa...<br/><br />Menikah bagi cewek adalah kehidupan kedua kalinya...<br/><br />Aku harus bisa memegang kesempatan ini dengan baik.<br/><br />Kamu terlalu miskin, sungguh aku tidak berani membayangkan<br/><br />bagaimana kehidupan kita setelah menikah...!! <br/><br/><br />Setelah Girl pergi ke Perancis,<br/><br />Boy bekerja keras...<br/><br />dia pernah menjual koran...<br/><br />menjadi karyawan sementara...<br/><br />bisnis kecil...<br/><br />setiap pekerjaan dikerjakan dengan sangat baik dan tekun.<br/><br />Sudah lewat beberapa tahun...<br/><br />Karena pertolongan teman dan kerja kerasnya,<br/><br />akhirnya dia mempunyai sebuah perusahaan.<br/><br />Dia sudah kaya, tetapi hatinya masih tertuju pada Girl,<br/><br />dia masih tidak dapat melupakannya. <br/><br/><br />Pada suatu hari... waktu hujan,<br/><br />Boy dari mobilnya melihat sepasang orang tua berjalan sangat pelan di depan.<br/><br />Dia mengenali mereka, mereka adalah orang-tua Girl....<br/><br />Dia ingin mereka lihat kalau sekarang Boy tidak hanya mempunyai mobil pribadi,<br/><br />tetapi juga mempunyai villa dan perusahaan sendiri,<br/><br />ia ingin mereka tahu kalau dia bukan seorang yang miskin lagi, dia sekarang adalah seorang Boss. <br/><br/><br />Boy mengendarai mobilnya sangat pelan sambil mengikuti sepasang orang-tua tersebut.<br/><br />Hujan terus turun tanpa henti, biarpun kedua orang-tua itu memakai payung, <br/><br />tetapi badan mereka tetap basah karena hujan. <br/><br/><br />Sewaktu mereka sampai tempat tujuan,<br/><br />Boy tercegang oleh apa yang ada di depan matanya, itu adalah tempat pemakaman. <br/><br/><br />Dia melihat di atas papan nisan Girl tersenyum sangat manis terhadapnya.<br/><br />Di samping makamnya yang kecil, tergantung burung2 kertas yang dibuatkan Boy.<br/><br />Dalam hujan, burung2 kertas itu terlihat begitu hidup,<br/><br />Orang-tua Girl memberitahu Boy,<br/><br />Girl tidak pergi ke Paris ,<br/><br />Girl terserang kanker,<br/><br />Girl pergi ke surga.<br/><br />Girl ingin Boy menjadi orang,<br/><br />mempunyai keluarga yang harmonis,<br/><br />maka dengan terpaksa berbuat demikian terhadap Boy dulu.<br/><br />Girl bilang dia sangat mengerti Boy,<br/><br />dia percaya kalau Boy pasti akan berhasil.<br/><br />Girl mengatakan...<br/><br />kalau pada suatu hari Boy akan datang ke makamnya <br/><br />dan berharap dia membawakan beberapa burung kertas buatnya lagi.<br/><br />Boy langsung berlutut,<br/><br />berlutut di depan makam Girl,<br/><br />menangis dengan begitu sedihnya.<br/><br />Hujan pada hari itu terasa tidak akan berhenti,<br/><br />membasahi sekujur tubuh Boy.<br/><br />Boy teringat senyum manis Girl yang begitu manis dan polos, <br/><br/><br />Mengingat semua itu,<br/><br />hatinya mulai meneteskan darah...<br/><br />Sewaktu orang-tua itu keluar dari pemakaman,<br/><br />mereka melihat kalau Boy sudah membukakan pintu mobil untuk mereka.<br/><br />Lagu sedih terdengar dari dalam mobil tersebut. <br/><br/><br />"Hatiku tidak pernah menyesal,<br/><br />semuanya hanya untukmu 1000 burung kertas,<br/><br />1000 ketulusan hatiku,<br/><br />beterbangan di dalam angin<br/><br />menginginkan bintang yang lebat besebaran di langit...<br/><br />melewati sungai perak,<br/><br />apakah aku bisa bertemu denganmu?<br/><br />Tidak takut berapapun jauhnya,<br/><br />hanya ingin sekarang langsung berlari ke sampingmu.<br/><br />Masa lalu seperti asap...<br/><br />hilang dan tak kan kembali...<br/><br />menambah kerinduan di hatiku...<br/><br />Bagaimanapun dicari,<br/><br />jodoh kehidupan ini pasti tidak akan berubah.."<br/><br/><br/></font></div>Dunia Sastra Indonesiahttp://www.blogger.com/profile/01135526422163255710noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6246472953027076215.post-62527632989932295902008-07-06T23:25:00.001-07:002008-07-06T23:25:21.380-07:00Masihkah Ada Laki - Laki Seperti Ini ??<div xmlns='http://www.w3.org/1999/xhtml'><div align='center'><font face='Times New Roman' color='#663333'>Cinta</font><font color='#663333'><br/></font><font face='Times New Roman' color='#663333'>Keserhanaan kataya seolah menyembunyikan makna yang indah didalamnya</font><font color='#663333'><br/></font><font face='Times New Roman' color='#663333'>Karena dengan cinta orang bisa melakukan perbuatan yang mulia yang tak seorangpun mampu menduganya</font><font color='#663333'><br/></font><font face='Times New Roman' color='#663333'>Cinta mampu membuat mahluk menjadi sangat perkasa dalam mengarungi hidup ,</font><font color='#663333'><br/></font><font face='Times New Roman' color='#663333'>Kuat menghadapi ujian dan dalam menerma semua cobaan </font><font color='#663333'><br/></font><font face='Times New Roman' color='#663333'>Ya itulah cinta</font><font color='#663333'><br/></font><font face='Times New Roman' color='#663333'>Peliharalah cinta seolah memelihara nyawamu sendiri</font><font color='#663333'><br/></font><font face='Times New Roman' color='#663333'>Karena dengan cinta akan membawa kita ke dunia yang penuh kebahagiaan <br/>(by Anwar)<br/></font></div><font face='Times New Roman' color='#663333'><br/><br/><br/></font><div align='justify'><font face='Times New Roman' color='#663333'>Kalau kita laki....bisakah kita seperti ini ??!!!!</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'>Itulah sebuah pertanyaan yang terus mengaung seolah tersirat tak sadar di dalam cerita ini </font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'>Cerita ini adalah cerita tmenQ yang ia tulis diforumnya</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'>Sayang kalau cerita ini....hanya satu dua orang yang membacanya.....oleh karena itu saya posting disini untuk sekedar penambah inspirasi kepada kita semua</font><br/><br/><br/><br/><br/><br/><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'>Dilihat dari usianya beliau sudah tidak muda lagi, usia yg sudah senja</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />bahkan sudah mendekati malam,pak Suyatno 58 tahun kesehariannya diisi</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />dengan merawat istrinya yang sakit istrinya juga sudah tua. mereka menikah</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />sudah lebih 32 tahun</font><br/><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />Mereka dikarunia 4 orang anak disinilah awal cobaan menerpa,setelah</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />istrinya melahirkan anak ke empat tiba2 kakinya lumpuh dan tidak bisa</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />digerakkan itu terjadi selama 2 tahun, menginjak tahun ke tiga seluruh</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />tubuhnya menjadi lemah bahkan terasa tidak bertulang lidahnyapun sudah</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />tidak bisa digerakkan lagi.</font><br/><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />Setiap hari pak suyatno memandikan, membersihkan kotoran, menyuapi, dan</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />mengangkat istrinya keatas tempat tidur. Sebelum berangkat kerja dia</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />letakkan istrinya didepan TV supaya istrinya tidak merasa kesepian.</font><br/><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />Walau istrinya tidak dapat bicara tapi dia selalu melihat istrinya</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />tersenyum, untunglah tempat usaha pak suyatno tidak begitu jauh dari</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />rumahnya sehingga siang hari dia pulang untuk menyuapi istrinya makan</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />siang. sorenya dia pulang memandikan istrinya, mengganti pakaian dan</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />selepas maghrib dia temani istrinya nonton televisi sambil menceritakan</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />apa2 saja yg dia alami seharian.</font><br/><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />Walaupun istrinya hanya bisa memandang tapi tidak bisa menanggapi, pak</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />suyatno sudah cukup senang bahkan dia selalu menggoda istrinya setiap</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />berangkat tidur.</font><br/><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />Rutinitas ini dilakukan pak suyatno lebih kurang 25 tahun, dengan sabar dia</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />merawat istrinya bahkan sambil membesarkan ke empat buah hati mereka,</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />sekarang anak2 mereka sudah dewasa tinggal si bungsu yg masih kuliah.</font><br/><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />Pada suatu hari ke empat anak suyatno berkumpul dirumah orang tua mereka</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />sambil menjenguk ibunya. Karena setelah anak mereka menikah sudah tinggal</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />dengan keluarga masing2 dan pak suyatno memutuskan ibu mereka Dia yg</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />merawat, yang dia inginkan hanya satu semua anaknya berhasil.</font><br/><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />Dengan kalimat yg cukup hati2 anak yg sulung berkata " Pak kami ingin</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />sekali merawat ibu, semenjak kami kecil melihat bapak merawat ibu tidak ada</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />sedikitpun keluhan keluar dari bibir bapak.bahkan bapak tidak ijinkan kami</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />menjaga ibu" .</font><br/><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />dengan air mata berlinang anak itu melanjutkan kata2nya "sudah yg keempat</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />kalinya kami mengijinkan bapak menikah lagi ,kami rasa ibupun akan</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />mengijinkannya, kapan bapak menikmati masa tua bapak dengan berkorban</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />seperti ini kami sudah tidak tega melihat bapak,kami janji kami akan</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />merawat ibu bergantian".</font><br/><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />Pak suyatno menjawab hal yg sama sekali tidak diduga anak2 mereka." Anak2ku</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />Jikalau hidup didunia ini hanya untuk nafsu Mungkin bapak akan menikah,</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />tapi ketahuilah dengan adanya ibu kalian disampingku itu sudah lebih dari</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />cukup, dia telah Melahirkan kalian".. sejenak kerongkongannya tersekat,</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />kalian yg selalu kurindukan hadir didunia ini dengan penuh cinta yg tidak</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />satupun dapat menghargai dengan apapun. coba kalian tanya ibumu apakah dia</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />menginginkan keadaanya seperti Ini. kalian menginginkan bapak bahagia,</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />apakah bathin bapak bisa bahagia meninggalkan ibumu dengan keadaanya</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />sekarang". kalian menginginkan bapak yg masih diberi Allah kesehatan</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />dirawat oleh orang lain bagaimana dengan ibumu yg masih sakit. Sejenak</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />meledaklah tangis anak2 pak suyatno merekapun melihat butiran2 kecil jatuh</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />dipelupuk mata ibu suyatno..dengan pilu ditatapnya mata suami yg sangat</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />dicintainya itu..</font><br/><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />Sampailah akhirnya pak suyatno diundang oleh salah satu stasiun TV swasta</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />untuk menjadi nara sumber diacara islami Selepas shubuh dan merekapun</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />mengajukan pertanyaan kepada pak suyatno kenapa mampu bertahan selama 25</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />tahun merawat Istrinya yg sudah tidak bisa apa2..disaat itulah meledak</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />tangis beliau dengan tamu yg hadir di studio kebanyakan kaum perempuanpun</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />tidak sanggup menahan haru disitulah pak suyatno bercerita".</font><br/><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />Jika manusia didunia ini mengagungkan sebuah cinta tapi dia tidak mencintai</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />karena Allah semuanya akan luntur. Saya memilih istri saya menjadi</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />pendamping hidup saya, dan sewaktu dia sehat diapun dengan sabar merawat</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />saya, mencintai saya dengan hati dan bathinnya bukan dengan mata, dan dia</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />memberi saya 4 orang anak yg lucu2..</font><br/><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />Sekarang dia sakit berkorban untuk saya karena Allah..dan itu merupakan</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />ujian bagi saya, sehatpun belum tentu saya mencari penggantinya apalagi dia</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />sakit,,,setiap malam saya bersujud dan menangis dan saya dapat bercerita</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />kepada Allah</font><br/><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />Diatas sajadah..dan saya yakin hanya kepada Allah saya percaya untuk</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><br />menyimpan dan mendengar rahasia saya</font></div></div>Dunia Sastra Indonesiahttp://www.blogger.com/profile/01135526422163255710noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6246472953027076215.post-37783354032896228872008-07-01T00:09:00.001-07:002008-07-01T00:09:54.201-07:00Jangan Menunggu Esok Untuk Katakan Cinta<div xmlns='http://www.w3.org/1999/xhtml'><div align='center'><font face='Times New Roman' color='#663333'>Terkadang kita tak sadar betapa betapa banyak yang penting dalam kehidupan kita</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'>Waktu...ya..waktu adalah salah satu dari ribuan hal penting yang kita punya </font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'>Pi...tak jarang kita luput karenanya..</font><br/></div><font face='Times New Roman' color='#663333'><br/><br/></font><div align='center'><font face='Times New Roman' color='#663333'>Sebuah kisah yang pilu tentang cinta dan waktu......</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'>Tentang pengungkapan cinta dan waktu yang ia punya untuk cinta itu.....</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'>Jangan sia siakan waktu kita ...</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'>Apa yang kita bisa buat sekarang maka jangan tunda </font><br/><div align='center'><font face='Times New Roman' color='#663333'>Lakukanlah....!!!</font><br/></div><font face='Times New Roman' color='#663333'>Ungkapkan cinta kepada yang dicintai lakukan lakukanlah....!!!sebelum terlambat...<br/>(By Anwar)<br/></font><br/><font color='#663333'><font face='Times New Roman'><br/></font></font></div><font face='Times New Roman' color='#663333'>Ini adalah cerita dari temen saya di forum...<br/>Karen terharunya saya ingin mengabadikan tulisanya di blogku ini...<br/>Selamat membaca ya......^.^<br/><br/><br/><br/><br/><br/>Segalanya berawal ketika saya masih berumur 6 th. <br/><br/><br />Ketika saya sedang bermain di halaman rumah saya di Surabaya, saya bertemu <br/><br />seorang anak laki-laki. Dia seperti anak laki-laki lainnya yang menggoda saya dan kemudian saya mengejarnya dan memukulnya. <br/><br/><br />Setelah pertemuan pertama dimana saya memukulnya, kami selalu bertemu dan <br/><br />saling memukul satu sama lain di batas pagar itu. Tapi itu tidaklah<br />lama. Kami selalu bertemu di pagar itu dan kami selalu bersama. Saya<br />menceritakan semua rahasia saya. <br/><br/><br />Dia sangat pendiam... dia hanya mendengarkan apa yang saya katakan.<br />Saya menganggap dia enak diajak bicara dan saya dapat berbicara<br />kepadanya tentang apa saja. <br/><br />Di sekolah, kami memiliki teman-teman yang berbeda tapi ketika kami<br />pulang kerumah, kami selalu berbicara tentang apa yang terjadi di<br />sekolah. <br/><br/><br />Suatu hari,saya bercerita kepadanya tentang anak laki-laki yang saya<br />sukai tetapi telah menyakiti hati saya.... Dia menghibur saya dan<br />mengatakan segalanya akan beres. Dia memberikan kata-kata yang<br />mendukung dan membantu saya untuk melupakannya. <br/><br/><br />Saya sangat bahagia dan menganggapnya sebagai teman sejati. Tetapi saya<br />tahu bahwa sesungguhnya ada yang lainnya dari dirinya yang saya suka.<br />Saya memikirkannya malam itu dan memutuskan kalau itu adalah rasa<br />persahabatan. <br/><br/><br />Selama SMA dan semasa kelulusan, kami selalu bersama dan tentu saja<br />saya berpikir bahwa ini adalah persahabatan. Tetapi jauh di lubuk hati,<br />saya tahu bahwa ada sesuatu yang lain. <br/><br />Pada malam kelulusan, meskipun kami memiliki pasangan sendiri-sendiri,<br />sesungguhnya saya menginginkan bahwa sayalah yang menjadi pasangannya. <br/><br/><br />Malam itu, setelah semua orang pulang, saya pergi ke rumahnya untuk <br/><br />mengatakannya. Malam itu adalah kesempatan terbesar yang saya miliki<br />tapi saya hanya duduk di sana dan memandangi bintang bersamanya dan<br />bercakap-cakap tentang cita-cita kami. Saya melihat ke matanya dan<br />mendengarkan ia bercerita tentang impiannya. Bagaimana dia ingin<br />menikah dan sebagainya. Dia bercerita bagaimana dia ingin menjadi orang<br />kaya dan sukses. Yang dapat saya lakukan hanya menceritakan impian saya<br />dan duduk dekat dengan dia. <br/><br/><br />Saya pulang ke rumah dengan terluka karena saya tidak mengatakan<br />perasaan saya yang sebenarnya. Saya sangat ingin mengatakan bahwa saya<br />sangat mencintainya tapi saya takut. Saya membiarkan perasaan itu pergi<br />dan berkata kepada diri saya sendiri bahwa suatu hari saya akan<br />mengatakan kepadanya mengenai perasaan saya. <br/><br/><br />Selama di universitas, saya ingin mengatakan kepadanya tetapi dia<br />selalu bersama-sama dengan seseorang. Setelah lulus, dia mendapatkan<br />pekerjaan di Jakarta. Saya sangat gembira untuknya, tapi pada saat<br />yang sama saya sangat bersedih menyaksikan kepergiannya. Saya sedih<br />karena saya menyadari ia pergi untuk pekerjaan besarnya. Jadi... saya<br />menyimpan perasaan saya untuk diri saya sendiri dan melihatnya pergi<br />dengan pesawat. <br/><br/><br />Saya menangis ketika saya memeluknya karena saya merasa seperti ini<br />adalah saat terakhir. Saya pulang ke rumah malam itu dan menangis. Saya<br />merasa terluka karena saya tidak mengatakan apa yang ada di hati saya. <br/><br/><br />Saya memperoleh pekerjaan sebagai sekretaris dan akhirnya menjadi<br />seorang analis komputer. Saya sangat bangga dengan prestasi saya. Suatu<br />hari saya menerima undangan pernikahan. Undangan itu darinya. Saya<br />bahagia dan sedih pada saat yang bersamaan. <br/><br/><br />Sekarang saya tahu kalau saya tak akan pernah bersamanya dan kami hanya<br />bisa menjadi teman. Saya pergi ke pesta pernikahan itu bulan<br />berikutnya. Itu adalah sebuah peristiwa besar. Saya bertemu dengan<br />pengantin wanita dan tentu saja juga dengannya. <br/><br/><br />Sekali lagi saya merasa jatuh cinta. Tapi saya bertahan agar tidak<br />mengacaukan apa yang seharusnya menjadi hari paling bahagia bagi<br />mereka. Saya mencoba bersenang-senang malam itu, tapi sangat<br />menyakitkan hati melihat dia begitu bahagia dan saya mencoba untuk<br />bahagia menutupi air mata kesedihan yang ada di hati saya. <br/><br/><br />Saya meninggalkan Jakarta merasa bahwa saya telah melakukan hal yang<br />tepat. Sebelum saya berangkat... tiba-tiba dia muncul dan mengucapkan<br />salam perpisahan dan mengatakan betapa ia sangat bahagia bertemu dengan<br />saya. Saya pulang ke rumah dan mencoba melupakan semua yang terjadi di Jakarta. <br/><br/><br />Kehidupan saya harus terus berjalan. Tahun-tahun berlalu... kami saling<br />menulis surat dan bercerita mengenai segala hal yang terjadi dan<br />bagaimana dia merindukan untuk berbicara dengan saya. <br/><br />Pada suatu ketika, dia tak pernah lagi membalas surat saya. Saya sangat<br />kuatir mengapa dia tidak membalas surat saya meskipun saya telah<br />menulis 6 surat kepadanya.. <br/><br/><br/><br />Ketika semuanya seolah tiada harapan, tiba-tiba saya menerima sebuah<br />catatan kecil yang mengatakan: "Temui saya di pagar dimana kita biasa<br />bercakap-cakap" <br/><br />Saya pergi ke sana dan melihatnya di sana. Saya sangat bahagia<br />melihatnya tetapi dia sedang patah hati dan bersedih. Kami berpelukan<br />sampai kami kesulitan untuk bernafas. <br/><br/><br />Kemudian ia menceritakan kepada saya tentang perceraian dan mengapa dia<br />tidak pernah menulis surat kepada saya. Dia menangis sampai dia tak<br />dapat menangis lagi... Akhirnya kami kembali ke rumah dan bercerita dan<br />tertawa tentang apa yang telah saya lakukan mengisi waktu. Akan tetapi,<br />saya tetap tidak dapat mengatakan kepadanya bagaimana perasaan saya<br />yang sesungguhnya kepadanya. <br/><br/><br />Hari-hari berikutnya... dia gembira dan melupakan semua masalah dan<br />perceraiannya. Saya jatuh cinta lagi kepadanya. Ketika tiba saatnya dia<br />kembali ke Jakarta, saya menemuinya dan menangis. Saya benci<br />melihatnya harus pergi. Dia berjanji untuk menemui saya setiap kali dia<br />mendapat libur. <br/><br/><br /> Saya tak dapat menunggu saat dia datang sehingga saya dapat bersamanya. Kami selalu bergembira ketika sedang bersama. <br/><br />Suatu hari dia tidak muncul sebagaimana yang telah dijanjikan. Saya<br />berpikir bahwa mungkin dia sibuk. Hari berganti bulan dan saya<br />melupakannya. <br/><br/><br />Suatu hari saya mendapat sebuah telepon dari Jakarta. Pengacara<br />mengatakan bahwa ia telah meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil dalam<br />perjalanan ke airport. Hati saya patah. Saya sangat terkejut akan<br />kejadian ini . Sekarang saya tahu... mengapa ia tidak muncul hari itu.<br />Saya menangis semalaman. <br/><br/><br /> Air mata kesedihan dan kepedihan. Bertanya-tanya mengapa hal ini bisa <br/><br />terjadi terhadap seseorang yang begitu baik seperti dia? <br/><br/><br />Saya mengumpulkan barang-barang saya dan pergi ke Jakarta untuk<br />pembacaan surat wasiatnya. Tentu saja semuanya diberikan kepada<br />keluarganya dan mantan istrinya. Akhirnya saya dapat bertemu dengan<br />mantan istrinya lagi setelah terakhir kali saya bertemu pada pesta<br />pernikahan. Dia menceritakan bagaimana mantan suaminya. Tapi suaminya<br />selalu tampak tidak bahagia. <br/><br/><br />Apapun yang dia kerjakan... tidak bisa membuat suaminya bahagia seperti<br />saat pesta pernikahan mereka. Ketika surat wasiat dibacakan,<br />satu-satunya yang diberikan kepada saya adalah sebuah diary. <br/><br/><br />Itu adalah diary kehidupannya. Saya menangis karena itu diberikan<br />kepada saya. Saya tak dapat berpikir... Mengapa ini diberikan kepada<br />saya? <br/><br/><br />Saya mengambilnya dan terbang kembali ke Surabaya. <br/><br /> Ketika saya di pesawat, saya teringat saat-saat indah yang kami miliki bersama. <br/><br/><br /> Saya mulai membaca diary itu. Diary dimulai ketika hari pertama kami <br/><br />berjumpa. Saya terus membaca sampai saya mulai menangis. Diary itu<br />bercerita bahwa dia jatuh cinta kepada saya di hari ketika saya patah<br />hati. Tapi dia takut untuk mengatakannya kepada saya. <br/><br/><br />Itulah sebabnya mengapa dia begitu diam dan mendengarkan segala<br />perkataan saya. Diary itu menceritakan bagaimana dia ingin<br />mengatakannya kepada saya berkali-kali, tetapi takut. Diary itu<br />bercerita ketika dia ke Jakarta dan jatuh cinta dengan yang lain.<br />Bagaimana dia begitu bahagia ketika bertemu dan berdansa dengan saya di<br />hari pernikahannya. <br/><br/><br /> Dia berkata bahwa ia membayangkan bahwa itu adalah pernikahan kami. <br/><br/><br /> Bagaimana dia selalu tidak bahagia sampai akhirnya harus menceraikan <br/><br />istrinya. Saat-saat terindah dalam kehidupannya adalah ketika membaca huruf demi huruf yang saya tulis kepadanya. <br/><br/><br /> Akhirnya diary itu berakhir dengan tulisan, "Hari ini saya akan mengatakan kepadanya kalau saya mencintainya" <br/><br/><br /> Itu adalah hari dimana dia terbunuh. Hari dimana pada akhirnya saya akan mengetahui apa yang sesungguhnya ada dalam hatinya. <br/><br/><br />Jika engkau mencintai seseorang, "JANGAN TUNGGU ESOK HARI UNTUK<br />MENGATAKAN KEPADANYA" karena esok hari itu... mungkin takkan pernah ada</font></div>Dunia Sastra Indonesiahttp://www.blogger.com/profile/01135526422163255710noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-6246472953027076215.post-87263271483623706402008-06-30T23:29:00.001-07:002008-06-30T23:29:19.310-07:00CINTA, KEKAYAAN,KECANTIKAN, KESEDIHAN, KEGEMBIRAAN<div xmlns='http://www.w3.org/1999/xhtml'><font face='Times New Roman' color='#663333'>Cinta...??<br/>Apa itu cinta...?? Q sendiri tak begitu paham dengan sebuah kata pendek ini.....<br/>Katanya cinta mampu membuat suatu kebahagiaan ....<br/>Katanya cinta juga....malah menjadi malapetaka...yang menyakitkan......<br/>Wuh ...gk tau akh..........!!!!<br/>Yang Q tau cinta adalah suatu yang kasat mata....yang dapat memberikan kebahagiaan........<br/>Pi....bener gk yach.......????<br/>ya udah lah ...gk da habisnya klo ngomongin cinta..!!!<br/><br/>????? Anwar ??????<br/><br/><br/> Q ta mulai aza nih crita........<br/><br/>Alkisah di suatu pulau kecil, tinggallah berbagai macam benda-benda<br />abstrak: ada CINTA, KEKAYAAN,KECANTIKAN, KESEDIHAN, KEGEMBIRAAN dan<br />sebagainya. Awalnya mereka hidup berdampingan dengan baik dan saling<br />melengkapi. Namun suatu ketika, datang badai menghempas pulau kecil itu<br />dan air laut tiba-tiba naik semakin tinggi dan akan menenggelamkan<br />pulau itu. Semua penghuni pulau cepat-cepat berusaha menyelamatkan<br />diri. <br/><br/><br />CINTA sangat kebingungan sebab ia tidak dapat berenang dan tak<br />mempunyai perahu. Ia berdiri di tepi pantai mencoba mencari<br />pertolongan. Sementara itu air makin naik membasahi kaki CINTA. Tak<br />lama CINTA melihat KEKAYAAN sedang mengayuh perahu. "KEKAYAAN!<br />KEKAYAAN! Tolong aku!" teriak CINTA. Lalu apa jawab KEKAYAAN<br/><br/><br />"Aduh! Maaf,CINTA!" kata KEKAYAAN. "Perahuku telah penuh dengan harta<br />bendaku. Aku tak dapat membawamu serta, nanti perahu ini tenggelam.<br />Lagipula tak ada tempat lagi bagimu di perahuku ini." Lalu KEKAYAAN<br />cepat-cepat mengayuh perahunya pergi meninggalkan CINTA tenggelam. <br/><br/><br />CINTA sedih sekali, namun kemudian dilihatnya KEGEMBIRAAN lewat dengan<br />perahunya. "KEGEMBIRAAN! Tolong aku!", teriak CINTA. Namun apa yang<br />terjadi, KEGEMBIRAAN terlalu gembira karena ia menemukan perahu<br />sehingga ia tuli tak mendengar teriakan CINTA. Air makin tinggi<br />membasahi CINTA sampai ke pinggang dan CINTA semakin panik. Tak lama<br />lewatlah KECANTIKAN. <br/><br/><br />"KECANTIKAN! Bawalah aku bersamamu!", teriak CINTA. Lalu apa jawab<br />KECANTIKAN, "Wah, CINTA, kamu basah dan kotor.Aku tak bisa membawamu<br />ikut. Nanti kamu mengotori perahuku yang indah ini." sahut KECANTIKAN.<br />CINTA sedih sekali mendengarnya. CINTA mulai menangis terisak-isak. Apa<br />kesalahanku, mengapa semua orang melupakan aku. <br/><br/><br />Saat itu lewatlah KESEDIHAN. Lalu CINTA memelas, "Oh, KESEDIHAN,<br />bawalah aku bersamamu", kata CINTA. Lalu apa kata KESEDIHAN, "Maaf,<br />CINTA. Aku sedang sedih dan aku ingin sendirian saja...", kata<br />KESEDIHAN sambil terus mengayuh perahunya. CINTA putus asa. Ia<br />merasakan air makin naik dan akan menenggelamkannya. CINTA terus<br />berharap kalau dirinya dapat diselamatlkan. Lalu ia berdoa kepada<br />Tuhannya, oh tuhan tolonglah aku, apa jadinya dunia tanpa aku, tanpa<br />CINTA? <br/><br/><br />Pada saat kritis itulah tiba-tiba terdengar suara, "CINTA! Mari cepat<br />naik ke perahuku!" CINTA menoleh ke arah suara itu dan melihat seorang<br />tua reyot berjanggut putih panjang sedang mengayuh perahunya. Lalu<br />Cepat-cepat CINTA naik ke perahu itu, tepat sebelum air<br />menenggelamkannya. <br/><br/><br />Kemudian di pulau terdekat, orang tua itu menurunkan CINTA dan segera<br />pergi lagi. Pada saat itu barulah CINTA sadar, bahwa ia sama sekali<br />tidak mengetahui siapa orang tua yang baik hati menyelamatkannya itu.<br />CINTA segera menanyakannya kepada seorang penduduk tua di pulau itu,<br />siapa sebenarnya orang tua itu. "Oh, orang tua tadi? Dia adalah<br />"WAKTU", kata orang itu. <br/><br/><br />Lalu CINTA bertanya "Tapi, mengapa ia menyelamatkanku? Aku tak<br />mengenalnya. Bahkan teman-teman yang mengenalku pun enggan menolongku",<br />tanya CINTA heran. "Sebab", kata orang itu, "hanya WAKTU lah yang tahu<br />berapa nilai sesungguhnya dari CINTA itu...</font></div>Dunia Sastra Indonesiahttp://www.blogger.com/profile/01135526422163255710noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6246472953027076215.post-24404978703879532372008-06-29T23:07:00.001-07:002008-06-29T23:07:28.637-07:00Kuatkah Kita Menahan Cobaan Ini ??<div xmlns='http://www.w3.org/1999/xhtml'><div align='center'><font face='Times New Roman' color='#663333'>Mengapa dunia tak seindah yang diangan - angankan orang yang benar merindukan kebahagiaan itu</font><font color='#663333'><br/></font><font face='Times New Roman' color='#663333'>Betapa bahagia orang yang hidupnya selalu di beri kemudahan dan kebahagiaan </font><font color='#663333'><br/></font><font face='Times New Roman' color='#663333'>Jangan pernah menyepelekan orang serasa rendah di mata kita </font><font color='#663333'><br/></font><font face='Times New Roman' color='#663333'>Karena sebenarnya orang orang itulah orang sangat kuat dalam mengarungi hidup dengan cobaan mereka </font><font color='#663333'><br/></font><font face='Times New Roman' color='#663333'>Yang kita sendiri sendiri belum temtu mampu memikulnya<br/>By Anwar<br/></font></div><font face='Times New Roman' color='#663333'><br/><br/><br/><br/><br/>Inikah nasib? Terlahir sebagai menantu bukan pilihan. Tapi aku dan Kania<br/><br/>harus tetap menikah. Itu sebabnya kami ada di Kantor Catatan Sipil. Wali<br/><br/>kami pun wali hakim. Tapi aku masih sangat bersyukur karena Lukman dan Naila mau hadir menjadi saksi. Itu 25 tahun yang lalu.<br/><br/><br/>22 tahun yang lalu,<br/><br/>Pekerjaanku tidak begitu elite, tapi cukup untuk biaya makan keluargaku.<br/><br/>aku punya momongan. Seorang putri, kunamai ia Kamila. Aku berharap ia<br/>bisa menjadi perempuan kaya akan budi baik hingga dia tampak sempurna.<br/>Kulitnya masih merah, mungkin karena ia baru berumur seminggu. Sayang,<br/>dia tak dijenguk kakek-neneknya . Orangtuaku dan orangtua Kania tak mau<br/>menerima kami. Ya sudahlah. Aku tak berhak untuk memaksa dan aku tidak<br/>membenci mereka. Aku hanya yakin, suatu saat nanti, mereka pasti akan<br/>berubah.<br/><br/><br/>19 tahun yang lalu,<br/><br/>Kamilaku gesit dan lincah. Dia sekarang sedang senang berlari-lari,<br/><br/>melompat-lompat atau meloncat kemudian berteriak "Horeee, Iya bisa<br/>terbang". Begitulah dia memanggil namanya sendiri, Iya. Dan Kania tak<br/>jarang berteriak, "Iya sayaaang," jika sudah terdengar suara "Prang".<br/>Itu artinya, ada yang pecah, bisa vas bunga, gelas, piring, atau meja<br/>kaca. Dan dia cuma bilang "Kenapa semua kaca di rumah ini selalu pecah,<br/>Ma?"<br/><br/><br/>18 tahun yang lalu,<br/><br/>Hari ini Kamila ulang tahun. Aku sengaja pulang lebih awal dari<br/>pekerjaanku agar bisa membeli hadiah dulu. Kemarin lalu dia merengek<br/>minta dibelikan bola. Makanya kubelikan ia sebuah bola. Paling tidak<br/>aku bisa punya lawan main setiap sabtu sore. Dan seperti yang sudah<br/>kuduga, dia bersorak kegirangan waktu kutunjukkan bola itu.<br/><br/>"Horee, Iya jadi pemain bola."<br/><br/><br/>17 Tahun yang lalu<br/><br/>Iya, Iya. Bapak kan sudah bilang jangan main bola di jalan. Mainnya di<br/><br/>rumah aja. Coba kalau ia nurut, Bapak kan tidak akan seperti ini. Hari<br/>itu hari Sabtu dan aku akan menjemputnya dari sekolah. Kulihat anakku<br/>sedang asyik menendang bola sepanjang jalan pulang dari sekolah dan ia<br/>semakin ketengah jalan. Aku berlari menghampirinya, rasa khawatirku<br/>mengalahkan kehati-hatianku dan "Iyaaaa..." Sebuah truk pasir telak<br/>menghantam tubuhku, lindasan ban besarnya berhenti di atas dua kakiku.<br/>Waktu aku sadar, dua kakiku sudah diamputasi. Ya Tuhan, bagaimana ini.<br/>Bayang-bayang kelam menyelimuti pikiranku, tanpa kaki, bagaimana aku<br/>bekerja. Kulihat Kania menangis sedih, bibir cuma berkata "Coba kalau<br/>kamu tak belikan ia bola!"<br/><br/><br/>15 tahun yang lalu,<br/><br/>Perekonomianku morat marit setelah kecelakaan. Uang pesangon habis<br/>untuk ke rumah sakit dan uang tabungan menguap jadi asap dapur. Kania<br/>mulai banyak mengeluh dan Iya mulai banyak dibentak. Aku hanya bisa<br/><br/>membelainya. Dan bilang kalau Mamanya sedang sakit kepala makanya cepat<br/>marah. Perabotan rumah yang bisa dijual sudah habis. Dan aku tak bisa<br/>berkata apa-apa waktu Kania hendak mencari ke luar negeri. Dia ingin<br/><br/>penghasilan yang lebih besar untuk mencukupi kebutuhan Kamila. Diizinkan<br/><br/>atau tidak diizinkan dia akan tetap pergi. Begitu katanya. Dan akhirnya<br/><br/>dia memang pergi ke Malaysia.<br/><br/><br/>13 tahun yang lalu,<br/><br/>Setahun sejak kepergian Kania, keuangan rumahku sedikit membaik tapi itu<br/><br/>hanya setahun. Setelah itu tak terdengar kabar lagi. Dengan segala<br/>keprihatinan kupaksakan agar Kamila bisa melanjutkan sekolah. Aku<br/>bekerja serabutan, mengerjakan pekerjaan yang bisa kukerjakan dengan<br/>dua tanganku. Aku miris, menghadapi kenyataan. Menyaksikan anakku yang<br/>tumbuh remaja dan aku tahu dia ingin menikmati dunianya. Tapi keadaanku<br/>mengurungnya dalam segala kekurangan. Tapi aku harus kuat. Aku harus<br/>tabah untuk mengajari Kamila hidup tegar.<br/><br/><br/>10 tahun yang lalu,<br/><br/>Aku sedih, semua tetangga sering mengejek kecacatanku. Dan Kamila hanya<br/>sanggup berlari ke dalam rumah lalu sembunyi di dalam kamar. Dia sering<br/>jadi bulan-bulanan hinaan teman sebayanya. Tapi anakku memang sabar dia<br/>tidak marah walau tak urung menangis juga. "Sabar ya, Nak!"<br/>hiburku."Pak, Iya pake ****** aja ya, biar tidak diganggu!" pintanya<br/>padaku. Dan aku menangis. Anakku maafkan bapakmu, hanya itu suara yang<br/>sanggup kupendam dalam hatiku. Sejak hari itu, anakku tak pernah lepas<br/>dari kerudungnya. Dan aku bahagia. Anakku, ternyata kamu sudah semakin<br/>dewasa. Dia selalu tersenyum padaku. Dia tidak pernah menunjukkan<br/>kekecewaannya padaku karena sekolahnya hanya terlambat di bangku SMP.<br/><br/><br/>7 tahun yang lalu,<br/><br/>Aku merenung seharian. Ingatanku tentang Kania, istriku, kembali menemui<br/><br/>pikiranku. Aku tak mungkin bohong pada diriku sendiri, jika aku masih<br/>menyimpan rindu untuknya. Dan itu pula yang membuat aku takut. Semalam<br/>Kamila bilang dia ingin menjadi TKI ke Malaysia. Sulit baginya mencari<br/>pekerjaan di sini yang cuma lulusan SMP. Haruskah aku melepasnya karena<br/>alasan ekonomi. Dia bilang aku sudah tua, tenagaku mulai habis dan dia<br/>ingin agar aku beristirahat. Dia berjanji akan rajin mengirimi aku uang<br/>dan menabung untuk modal. Setelah itu dia akan pulang, menemaniku<br/>kembali dan membuka usaha kecil-kecilan. Kali ini pun aku tak kuasa<br/>untuk menghalanginya. Aku hanya berdoa agar Kamilaku baik-baik saja.<br/><br/><br/>4 tahun lalu,<br/><br/>Kamila tak pernah telat mengirimi aku uang. Hampir tiga tahun dia di<br/><br/>sana. Dia bekerja sebagai seorang pelayan di rumah seorang nyonya. Tapi<br/><br/>Kamila tidak suka dengan laki-laki yang disebutnya datuk. Matanya tak<br/><br/>pernah siratkan sinar baik. Dia juga dikenal suka perempuan. Dan nyonya<br/><br/>itu adalah istri mudanya yang keempat. Dia bilang dia sudah ingin<br/><br/>pulang. Karena akhir-akhir ini dia sering diganggu. Lebaran tahun ini<br/>dia akan berhenti bekerja. Itu yang kubaca dari suratnya. Aku senang<br/>mengetahui itu dan selalu menunggu hingga masa itu tiba. Kamila bilang,<br/>aku jangan pernah lupa salat dan kalau kondisiku sedang baik usahakan<br/>untuk salat tahajjud. Kini anakku lebih pandai menasihati daripada aku.<br/>Dan aku bangga.<br/><br/><br/>3 tahun 6 bulan yang lalu,<br/><br/>Inikah badai? Aku mendapat surat dari kepolisian pemerintahan Malaysia,<br/><br/>kabarnya anakku ditahan. Dan dia diancam hukuman mati, karena dia<br/><br/>terbukti membunuh suami majikannya. Sesak dadaku mendapat kabar ini.<br/>Aku menangis, aku tak percaya. Kamilaku yang lemah lembut tak mungkin<br/><br/>membunuh. Lagipula kenapa dia harus membunuh. Aku meminta bantuan hukum<br/>dari Indonesia untuk menyelamatkan anakku dari maut. Hampir setahun aku<br/>gelisah menunggu kasus anakku selesai. Tenaga tuaku terkuras dan<br/>airmataku habis. Aku hanya bisa memohon agar anakku tidak dihukum mati<br/>andai dia memang bersalah.<br/><br/><br/>2 tahun 6 bulan yang lalu,<br/><br/>Akhirnya putusan itu jatuh juga, anakku terbukti bersalah. Dan dia harus<br/><br/>menjalani hukuman gantung sebagai balasannya. Aku tidak bisa apa-apa<br/><br/>selain menangis sejadinya. Andai aku tak izinkan dia pergi apakah<br/>nasibnya tak akan seburuk ini? Andai aku tak belikan ia bola apakah<br/>keadaanku pasti lebih baik? Aku kini benar-benar sendiri. Atas<br/>permintaan anakku aku dijemput terbang ke Malaysia. Anakku ingin aku<br/>ada di sisinya di saat terakhirnya. Lihatlah, dia kurus sekali. Dua<br/>matanya sembab dan bengkak. Ingin rasanya aku berlari tapi apa daya<br/>kakiku tak ada. Aku masuk ke dalam ruangan pertemuan itu, dia berhambur<br/>ke arahku, memelukku erat, seakan tak ingin melepaskan aku.<br/><br/>"Bapak, Iya Takut!" aku memeluknya lebih erat lagi. Andai bisa ditukar,<br/><br/>aku ingin menggantikannya.<br/><br/>"Kenapa, Ya, kenapa kamu membunuhnya sayang?"<br/><br/>"Lelaki tua itu ingin Iya tidur dengannya, Pak. Iya tidak mau. Iya<br/><br/>dipukulnya. Iya takut, Iya dorong dan dia jatuh dari jendela kamar. Dan<br/><br/>dia mati. Iya tidak salah kan, Pak!"<br/><br/>Aku perih mendengar itu. Aku iba dengan nasib anakku. Masa mudanya<br/><br/>hilang begitu saja. Tapi aku bisa apa, istri keempat lelaki tua itu<br/><br/>menuntut agar anakku dihukum mati. Dia kaya dan lelaki itu juga orang<br/><br/>terhormat. Aku sudah berusaha untuk memohon keringanan bagi anakku,<br/>tapi menemuiku pun ia tidak mau. Sia-sia aku tinggal di Malaysia selama<br/>enam bulan untuk memohon hukuman pada wanita itu.<br/><br/><br/>2 tahun yang lalu,<br/><br/>Hari ini, anakku akan dihukum gantung. Dan wanita itu akan hadir<br/><br/>melihatnya. Aku mendengar dari petugas jika dia sudah datang dan ada di<br/><br/>belakangku. Tapi aku tak ingin melihatnya. Aku melihat isyarat tangan<br/><br/>dari hakim di sana. Petugas itu membuka papan yang diinjak anakku. Dan<br/><br/>'blass" Kamilaku kini tergantung. Aku tak bisa lagi menangis. Aku<br/>mendengar langkah kaki menuju jenazah anakku. Dia menyibak kain<br/>penutupnya dan tersenyum sinis. Aku mendongakkan kepalaku, dan dengan<br/>mataku yang samar oleh air mata aku melihat garis wajah yang kukenal.<br/><br/>"Kania?"<br/><br/>"Mas Har, kau . !"<br/><br/>"Kau ... kau bunuh anakmu sendiri, Kania!"<br/><br/>"Iya? Dia..dia . Iya?" serunya getir menunjuk jenazah anakku.<br/><br/>"Ya, dia Iya kita. Iya yang ingin jadi pemain bola jika sudah besar."<br/><br/>"Tidak ... tidaaak ... " Kania berlari ke arah jenazah anakku. Diguncang<br/><br/>tubuh kaku itu sambil menjerit histeris. Seorang petugas menghampiri<br/><br/>Kania dan memberikan secarik kertas yang tergenggam di tangannya waktu<br/>dia diturunkan dari tiang gantungan. Bunyinya "Terima kasih Mama." Aku<br/>baru sadar, kalau dari dulu Kamila sudah tahu wanita itu ibunya.<br/><br/><br/>Setahun lalu,<br/><br/>Sejak saat itu istriku gila. Tapi apakah dia masih istriku. Yang aku<br/><br/>tahu, aku belum pernah menceraikannya. Terakhir kudengar kabarnya dia<br/><br/>mati bunuh diri. Dia ingin dikuburkan di samping kuburan anakku, Kamila.<br/><br/>Kata pembantu yang mengantarkan jenazahnya padaku, dia sering berteriak,<br/><br/>"Iya sayaaang, apalagi yang pecah, Nak." Kamu tahu Kania, kali ini yang<br/><br/>pecah adalah hatiku. Mungkin orang tua kita memang benar, tak<br/>seharusnya kita menikah. Agar tak ada kesengsaraan untuk Kamila anak<br/>kita. Benarkah begitu Iya sayang?<br/><br/><br/>Sumber <br/></font></div>Dunia Sastra Indonesiahttp://www.blogger.com/profile/01135526422163255710noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6246472953027076215.post-22598222929223628122008-06-29T00:45:00.003-07:002008-06-29T00:45:57.157-07:00Kata Kata Bijak<div xmlns='http://www.w3.org/1999/xhtml'><div align='center'><font face='Times New Roman' color='#663333'><br/><big>Percayalah dan lakukanlah sesuatu yang menurut kita benar<br/>sebuah kata yang mengandng kebenaran adalah sebuah kata yang mampu menyentuh halus hati kita dengan berkata ini benar !!!<br/>(By Anwar)<br/></big><br/><br/></font></div><font face='Times New Roman' color='#663333'><br/><br/><br/><br/>Masa depan adalah milik mereka yang percaya akan keindahan mimpi-mimpi mereka.<br/><b><br />(Eleanor Roosevelt)</b><br/><br/><br />Jangan melihat ke belakang dengan kemarahan, atau ke depan dengan ketakutan, tetapi lihatlah ke sekelilingmu dengan kewaspadaan.<br/><b><br />(James Thurber)</b><br/><br/><br />Tinggalkan kebaikan, lepaskan kebijaksanaan, orang akan menarik manfaat seribu kali<br/><br />Tinggalkan kasih sayang, lepaskan moralitas, orang akan merangkul cinta kasih dan bakti kepada orang tua<br/><br />Tinggalkan kecerdikan, lepaskan ketamakan, bandit dan pencuri akan sirna<br/><b><br />(Lao Tzu, Tao Te Ching)</b><br/><br/><br />Bilamana anda menyembunyikan kehendak anda dari orang lain, namanya Mental Baja<br/><br />Bilamana anda memaksakan kehendak anda terhadap orang lain, namanya Pantang Menyerah.<br/><b><br />(Lee Zhong Wu)</b><br/><br/><br />Menaklukkan orang lain membutuhkan paksaan<br/><br />Menaklukkan diri sebdiri membutuhkan kekuatan<br/><b><br />(Lao Tzu)</b><br/><br/><br />Hanya orang yang berada di tengah-tengah yang sanggup menjadi yang terbaik<br/><b><br />(Jean Giraudoux)</b><br/><br/><br />Jika seseorang itu kuat dan tegar, justru ia harus pandai-pandai menyamarkan diri agar terlihat lemah dan tak berdaya.<br/><b><br />(Sun Tzu)</b><br/><br/><br />Manusia sangat bersusah payah untuk mendapatkan pengetahuan tentang dunia materi<br/><br />Dipelajarinya seluruh cabang ilmu pengetahuan duniawi<br/><br />Ia menjelajahi bumi, dan bahkan berwisata ke lautan<br/><br />Namun ia tidak pernah mencoba mencari tahu apa yang ada di dalam dirinya sendiri<br/><br />Karena ia tidak menyadari kekuatan yang luar biasa, yang tersembunyi di dalam dirinya, ia mencari dukungan dari dunia luar.<br/><b><br />(Naskah Hindu Kuno)</b><br/><br/><br />Orang yang tidak mengalami kesialan berarti cukup beruntung.<br/><b><br />(Anonim)</b><br/><br/><br />Bila anda ingin melakukan sesuatu, usahakan agar lawan anda melakukannya untuk anda.<br/><b><br />(Asas Militer Cina)</b><br/><br/>Bila anda tidak mempunyai gelar yang tepat, orang tidak akan<br />mendengarkan anda; dan kalau mereka tidak mendengarkan, perintah anda<br />tidak akan dijalankan.<br/><b><br />(Kong Hu Cu)</b><br/><br/><br />Untuk membasmi rumput, cabut akarnya;<br/><br />Untuk membuat periuk berhenti mendidih, singkirkan bahan bakarnya.<br/><b><br />(Pepatah Cina)</b><br/><br/><br />Orang-orang dengan mimpi berbeda dapat tidur bersama seranjang<br/><b><br />(Pepatah Cina)</b><br/><br/><br />Jika kamu mengenali dirimu dan mengenali musuhmu, maka seratus pertempuran, seratus kemenangan.<br/><b><br />(Sun Tzu)</b><br/><br/><br />Jika perkara kecil tidak bisa ditanggulangi, rencana besar akan berakhir dengan kekecewaan.<br/><b><br />(Sam Kok)</b><br/><br/><br />Perang itu berdasarkan tipu muslihat<br/><br />Bergeraklah hanya jika ada keuntungan nyata untuk diraih dan adakanlah<br />perubahan-perubahan situasi dengan membagi atau memusatkan pasukanmu.<br/><br />Bergeraklah secepat angin, bersatulah seperti pohon-pohon di hutan<br/><br />Serbu dan jarahlah musuh laksana api dan tegaklah laksana gunung<br/><br />Biarkan rencanamu tak terhitung laksana awan yang berarak dan bergeraklah bak guntur yang menggelegar.<br/><b><br />(Sun Tzu)</b><br/><br/><br />Adalah hal yang baik bila menjadi spesialis di dalam bidangmu. Jangan<br />berlagak di luar tingkat kemampuanmu dengan melakukan hal-hal yang tak<br />kamu pahami...<br/><br />(Anonim)<br/><br/><br />Seseorang yang cerdik dapat mengambil pelajaran dari<br />kesalahan-kesalahannya sendiri; Yang paling cerdik mempelajari dari<br />kesalahan-kesalahan orang lain.<br/><b><br />(Anonim)</b><br/><br/><br />Berkat sering menimbulkan luka, jadi hati-hatilah bila semua berjalan lancar.<br/><br />Keberhasilan harus dicapai setelah kegagalan, jadi jangan menyerah bila kamu kecewa.<br/><b><br />(Huanchu Daoren)<br/><br/></b>Sumber : Forum<br/></font></div>Dunia Sastra Indonesiahttp://www.blogger.com/profile/01135526422163255710noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6246472953027076215.post-24494262499282176002008-06-29T00:45:00.001-07:002008-06-29T00:45:38.282-07:00Seribu Makna Dalam Cerita<div xmlns='http://www.w3.org/1999/xhtml'><font face='Times New Roman' color='#663333'><br/></font><div align='justify'><div align='center'><font face='Times New Roman' color='#663333'><big>Saat Belajar Di Kelas</big></font><br/><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'>Pada bulan ke-2 diawal kuliah saya, seorang Profesor memberikan quiz </font><br/><br /><font face='Times New Roman' color='#663333'>mendadak pada kami. Karena kebetulan cukup menyimak semua</font><br/><br /><font face='Times New Roman' color='#663333'>kuliah-kuliahnya, saya cukup cepat menyelesaikan soal-soal quiz,</font><br/><br /><font face='Times New Roman' color='#663333'>sampai pada soal yang terakhir. Isi Soal terakhir ini adalah : <b>Siapa</b></font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'><b>nama depan wanita yang menjadi petugas pembersih sekolah ?</b></font><font color='#663333'><br /></font><font face='Times New Roman' color='#663333'>. Saya yakin </font><br/><br /><font face='Times New Roman' color='#663333'>soal ini cuma "bercanda". Saya sering melihat perempuan ini.</font><br/><br /><font face='Times New Roman' color='#663333'>Tinggi,berambut gelap dan berusia sekitar 50-an, tapi bagaimana saya</font><br/><br /><font face='Times New Roman' color='#663333'>tahu nama depannya... ? Saya kumpulkan saja kertas ujian saya, tentu</font><br/><br /><font face='Times New Roman' color='#663333'>saja dengan jawaban soal terakhir kosong. Sebelum kelas usai, seorang</font><br/><br /><font face='Times New Roman' color='#663333'>rekan bertanya pada</font><br/><br /><font face='Times New Roman' color='#663333'>Profesor itu, mengenai soal terakhir akan "dihitung" atau tidak.</font><br/><br /><font face='Times New Roman' color='#663333'>"Tentu Saja Dihitung !!" kata si Profesor. "Pada perjalanan karirmu, </font><br/><br /><font face='Times New Roman' color='#663333'>kamu aka n ketemu banyak orang. Semuanya penting!. Semua harus kamu</font><br/><br /><font face='Times New Roman' color='#663333'>perhatikan dan pelihara, walaupun itu cuma dengan sepotong senyuman,</font><br/><br /><font face='Times New Roman' color='#663333'>atau sekilas "hallo"! Saya selalu ingat pelajaran itu. Saya kemudian </font><br/><br /><font face='Times New Roman' color='#663333'>tahu, bahwa nama depan ibu pembersih sekolah adalah "Dorothy".</font><br/><br/></div><font face='Times New Roman' color='#663333'><big/></font><font color='#663333'><br/></font><div align='center'><font face='Times New Roman' color='#663333'><big>Ibu Negro dan Seorang pemuda</big></font><br/><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'>Malam itu, pukul setengah dua belas malam. Seorang wanita negro rapi</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'>yang sudah berumur, sedang berdiri di tepi jalan tol Alabama . Ia</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'>nampak mencoba bertahan dalam hujan yang sangat deras, yang hampir</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'>seperti badai. Mobilnya kelihatannya lagi rusak, dan perempuan ini</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'>sangat ingin menumpang mobil. Dalam keadaan basah kuyup, ia mencoba</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'>menghentikan setiap mobil yang lewat. Mobil berikutnya dikendarai oleh</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'>seorang pemuda bule, dia berhenti untuk menolong ibu ini. Kelihatannya</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'>si bule ini tidak paham akan konflik etnis tahun 1960-an, yaitu pada</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'>saat itu. Pemuda ini akhirnya membawa si ibu negro selamat hingga</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'>suatu tempat, untuk menda patkan pertolongan, lalu mencarikan si ibu</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'>ini taksi. Walaupun terlihat sangat tergesa-gesa, si ibu tadi bertanya</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'>tentang alamat si pemuda itu, menulisnya, lalu mengucapkan terima</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'>kasih pada si pemuda. 7 hari berlalu, dan tiba-tiba pintu rumah pemuda</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'>bule ini diketuk Seseorang. Kejutan baginya, karena yang datang</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'>ternyata kiriman sebuah televisi set besar berwarna (1960-an !) khusus</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'>dikirim kerumahnya.Terselip surat kecil tertempel di televisi, yang</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'>isinya adalah : " Terima kasih nak, karena membantuku di jalan Tol</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'>malam itu. Hujan tidak hanya membasahi bajuku, tetapi juga jiwaku.</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'>Untung saja anda datang dan menolong saya. Karena pertolongan anda,</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'>saya masih sempat untuk hadir disisi suamiku yang sedang</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'>sekarat...hingga wafatnya. Tuhan memberkati anda,karena membantu saya</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'>dan tidak mementingkan dirimu pada saat itu" Tertanda Ny.Nat King</font><br/><font face='Times New Roman' color='#663333'>Cole.<br/><br/><br/></font></div><font face='Times New Roman' color='#663333'>Catatan : Nat King Cole, adalah penyanyi negro tenar thn. 60-an di USA<br/><br/>Sumber : Forum<br/></font><font color='#663333'><br/></font></div></div>Dunia Sastra Indonesiahttp://www.blogger.com/profile/01135526422163255710noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6246472953027076215.post-13357872737888422212008-06-23T23:49:00.001-07:002008-06-23T23:49:54.725-07:00Lelaki yang gelisah<div xmlns='http://www.w3.org/1999/xhtml'><font face='Times New Roman' color='#663333'>Laki -laki kok nangis.......????? itu adalah kata kata seorang teman yang merasa paling berani.. kepada temanya lagi yang dianggapnya cengeng....<br/>Tapi klo menurut Q...Laki - laki menangis itu gak papa ....pi..lihat nangisnya karena apa........<br/>nih ada sebuah cerita yang membuat saya sebagai laki laki yang bisa mengalirkan air mata karena...isinya yang benar - benar menyentuh...hati saya....High.........high......<br/><br/><br/><big><b>Lelaki yang gelisah (kisah yang menyentuh) </b></big><br/> <br/>Dear All,<br/>Rasanya ini baik untuk direnungkan setiap kita yang merasa "berkecukupan" dan selalu "dimanja" oleh Tuhan.<br/>--------------------------------------------------------------------------------<br/>Dari pinggir kaca nako, di antara celah kain gorden, saya melihat lelaki itu mondar-mandir di depan rumah. Matanya berkali-kali melihat ke rumah saya.Tangannya yang dimasukkan ke saku celana, sesekali mengelap keringat di keningnya.<br/><br/>Dada saya berdebar menyaksikannya. Apa maksud remaja yang bisa jadi umurnya tak jauh dengan anak sulung saya yang baru kelas 2 SMU itu? Melihat tingkah lakunya yang gelisah, tidakkah dia punya maksud buruk dengan keluarga saya? Mau merampok? Bukankah sekarang ini orang merampok tidak lagi mengenal waktu? Siang hari saat orang-orang lalu-lalang pun penodong bisa beraksi, seperti yang banyak diberitakan koran. Atau dia punya masalah dengan Yudi, anak saya?<br/><br/>Kenakalan remaja saat ini tidak lagi enteng. Tawuran telah menjadikan puluhan remaja meninggal. Saya berdoa semoga lamunan itu salah semua. Tapi mengingat peristiwa buruk itu bisa saja terjadi, saya mengunci seluruh pintu dan jendela rumah. Di rumah ini, pukul sepuluh pagi seperti ini, saya hanya seorang diri. Kang Yayan, suami saya, ke kantor. Yudi sekolah, Yuni yang sekolah sore pergi les Inggris, dan Bi Nia sudah seminggu tidak masuk.<br/><br/>Jadi kalau lelaki yang selalu memperhatikan rumah saya itu menodong, saya bisa apa? Pintu pagar rumah memang terbuka. Siapa saja bisa masuk.<br/><br/>Tapi mengapa anak muda itu tidak juga masuk? Tidakkah dia menunggu sampai tidak ada orang yang memergoki? Saya sedikit lega saat anak muda itu berdiri di samping tiang telepon. Saya punya pikiran lain. Mungkin dia sedang menunggu seseorang, pacarnya, temannya, adiknya, atau siapa saja yang janjian untuk bertemu di tiang telepon itu. Saya memang tidak mesti berburuk sangka seperti tadi. Tapi dizaman ini, dengan peristiwa-peristiwa buruk, tenggang rasa yang semakin menghilang, tidakkah rasa curiga lebih baik daripada lengah?<br/><br/>Saya masih tidak beranjak dari persembunyian, di antara kain gorden, di samping kaca nako. Saya masih was-was karena anak muda itu sesekali masih melihat ke rumah. Apa maksudnya? Ah, bukankah banyak pertanyaan di dunia ini yang tidak ada jawabannya.<br/><br/>Terlintas di pikiran saya untuk menelepon tetangga. Tapi saya takut jadi ramai. Bisa-bisa penduduk se-kompleks mendatangi anak muda itu. Iya kalau anak itu ditanya-tanya secara baik, coba kalau belum apa-apa ada yang memukul.<br/><br/>Tiba-tiba anak muda itu membalikkan badan dan masuk ke halaman rumah. Debaran jantung saya mengencang kembali. Saya memang mengidap penyakit jantung. Tekad saya untuk menelepon tetangga sudah bulat, tapi kaki saya tidak bisa melangkah. Apalagi begitu anak muda itu mendekat, saya ingat, saya pernah melihatnya dan punya pengalaman buruk dengannya. Tapi anak muda itu tidak lama di teras rumah. Dia hanya memasukkan sesuatu ke celah di atas pintu dan bergegas pergi. Saya masih belum bisa mengambil benda itu karena kaki saya masih lemas.<br/><br/>* * *<br/><br/>Saya pernah melihat anak muda yang gelisah itu di jembatan penyeberangan, entah seminggu atau dua minggu yang lalu. Saya pulang membeli bumbu kue waktu itu. Tiba-tiba di atas jembatan penyeberangan, saya ada yang menabrak, saya hampir jatuh. Si penabrak yang tidak lain adalah anak muda yang gelisah dan mondar-mandir di depan rumah itu, meminta maaf dan bergegas mendahului saya. Saya jengkel, apalagi begitu sampai di rumah saya tahu dompet yang disimpan di kantong plastik, disatukan dengan bumbu kue, telah raib.<br/><br/>Dan hari ini, lelaki yang gelisah dan si penabrak yang mencopet itu, mengembalikan dompet saya lewat celah di atas pintu. Setelah saya periksa, uang tiga ratus ribu lebih, cincin emas yang selalu saya simpan di dompet bila bepergian, dan surat-surat penting, tidak ada yang berkurang.<br/><br/>Lama saya melihat dompet itu dan melamun. Seperti dalam dongeng. Seorang anak muda yang gelisah, yang siapa pun saya pikir akan mencurigainya, dalam situasi perekonomian yang morat-marit seperti ini, mengembalikan uang yang telah digenggamnya. Bukankah itu ajaib, seperti dalam dongeng. Atau hidup ini memang tak lebih dari sebuah dongengan?<br/><br/>Bersama dompet yang dimasukkan ke kantong plastik hitam itu saya menemukan surat yang dilipat tidak rapi. Saya baca surat yang berhari-hari kemudian tidak lepas dari pikiran dan hati saya itu. Isinya seperti ini: "Ibu yang baik, maafkan saya telah mengambil dompet Ibu. Tadinya saya mau mengembalikan dompet Ibu saja, tapi saya tidak punya tempat untuk mengadu, maka saya tulis surat ini, semoga Ibu mau membacanya. Sudah tiga bulan saya berhenti sekolah. Bapak saya di-PHK dan tidak mampu membayar uang SPP yang berbulan-bulan sudah nunggak, membeli alat-alat sekolah dan memberi ongkos. Karena kemampuan keluarga yang minim itu saya berpikir tidak apa-apa saya sekolah sampai kelas 2 STM saja. Tapi yang membuat saya sakit hati, Bapak kemudian sering mabuk dan judi buntut yang beredar sembunyi-sembunyi itu.<br/><br/>Adik saya yang tiga orang, semuanya keluar sekolah. Emak berjualan goreng-gorengan yang dititipkan di warung-warung. Adik-adik saya membantu mengantarkannya. Saya berjualan koran, membantu-bantu untuk beli beras.<br/><br/>Saya sadar, kalau keadaan seperti ini, saya harus berjuang lebih keras. Saya mau melakukannya. Dari pagi sampai malam saya bekerja. Tidak saja jualan koran, saya juga membantu nyuci piring di warung nasi dan kadang (sambil hiburan) saya ngamen. Tapi uang yang pas-pasan itu (Emak sering gagal belajar menabung dan saya maklum), masih juga diminta Bapak untuk memasang judi kupon gelap. Bilangnya nanti juga diganti kalau angka tebakannya tepat. Selama ini belum pernah tebakan Bapak tepat. Lagi pula Emak yang taat beribadah itu tidak akan mau menerima uang dari hasil judi, saya yakin itu.<br/><br/>Ketika Bapak semakin sering meminta uang kepada Emak, kadang sambil marah-marah dan memukul, saya tidak kuat untuk diam. Saya mengusir Bapak. Dan begitu Bapak memukul, saya membalasnya sampai Bapak terjatuh-jatuh. Emak memarahi saya sebagai anak laknat. Saya sakit hati. Saya bingung. Mesti bagaimana saya?<br/><br/>Saat Emak sakit dan Bapak semakin menjadi dengan judi buntutnya, sakit hati saya semakin menggumpal, tapi saya tidak tahu sakit hati oleh siapa. Hanya untuk membawa Emak ke dokter saja saya tidak sanggup. Bapak yang semakin sering tidur entah di mana, tidak perduli. Hampir saya memukulnya lagi.<br/><br/>Di jalan, saat saya jualan koran, saya sering merasa punya dendam yang besar tapi tidak tahu dendam oleh siapa dan karena apa. Emak tidak bisa ke dokter. Tapi orang lain bisa dengan mobil mewah melenggang begitu saja di depan saya, sesekali bertelepon dengan handphone. Dan di seberang stopan itu, di warung jajan bertingkat, orang-orang mengeluarkan ratusan ribu untuk sekali makan.<br/><br/>Maka tekad saya, Emak harus ke dokter. Karena dari jualan koran tidak cukup, saya merencanakan untuk mencopet. Berhari-hari saya mengikuti bus kota, tapi saya tidak pernah berani menggerayangi saku orang. Keringat dingin malah membasahi baju. Saya gagal jadi pencopet.<br/><br/>Dan begitu saya melihat orang-orang belanja di toko, saya melihat Ibu memasukkan dompet ke kantong plastik. Maka saya ikuti Ibu. Di atas jembatan penyeberangan, saya pura-pura menabrak Ibu dan cepat mengambil dompet. Saya gembira ketika mendapatkan uang 300 ribu lebih.<br/><br/>Saya segera mendatangi Emak dan mengajaknya ke dokter. Tapi Ibu, Emak malah menatap saya tajam. Dia menanyakan, dari mana saya dapat uang. Saya sebenarnya ingin mengatakan bahwa itu tabungan saya, atau meminjam dari teman. Tapi saya tidak bisa berbohong. Saya mengatakan sejujurnya, Emak mengalihkan pandangannya begitu saya selesai bercerita.<br/><br/>Di pipi keriputnya mengalir butir-butir air. Emak menangis. Ibu, tidak pernah saya merasakan kebingungan seperti ini. Saya ingin berteriak. Sekeras-kerasnya. Sepuas-puasnya. Dengan uang 300 ribu lebih sebenarnya saya bisa makan-makan, mabuk, hura-hura. Tidak apa saya jadi pencuri. Tidak perduli dengan Ibu, dengan orang-orang yang kehilangan. Karena orang-orang pun tidak perduli kepada saya. Tapi saya tidak bisa melakukannya. Saya harus mengembalikan dompet Ibu. Maaf."<br/> <br/>Surat tanpa tanda tangan itu berulang kali saya baca. Berhari-hari saya mencari-cari anak muda yang bingung dan gelisah itu. Di setiap stopan tempat puluhan anak-anak berdagang dan mengamen. Dalam bus-bus kota. Di taman-taman. Tapi anak muda itu tidak pernah kelihatan lagi. Siapapun yang berada di stopan, tidak mengenal anak muda itu ketika saya menanyakannya.<br/><br/>Lelah mencari, di bawah pohon rindang, saya membaca dan membaca lagi surat dari pencopet itu. Surat sederhana itu membuat saya tidak tenang. Ada sesuatu yang mempengaruhi pikiran dan perasaan saya. Saya tidak lagi silau dengan segala kemewahan. Ketika Kang Yayan membawa hadiah-hadiah istimewa sepulang kunjungannya ke luar kota, saya tidak segembira biasanya.Saya malah mengusulkan oleh-oleh yang biasa saja.<br/><br/>Kang Yayan dan kedua anak saya mungkin aneh dengan sikap saya akhir-akhir ini. Tapi mau bagaimana, hati saya tidak bisa lagi menikmati kemewahan. Tidak ada lagi keinginan saya untuk makan di tempat-tempat yang harganya ratusan ribu sekali makan, baju-baju merk terkenal seharga jutaan, dan sebagainya.<br/><br/>Saya menolaknya meski Kang Yayan bilang tidak apa sekali-sekali. Saat saya ulang tahun, Kang Yayan menawarkan untuk merayakan di mana saja. Tapi saya ingin memasak di rumah, membuat makanan, dengan tangan saya sendiri. Dan siangnya, dengan dibantu Bi Nia, lebih seratus bungkus nasi saya bikin. Diantar Kang Yayan dan kedua anak saya, nasi-nasi bungkus dibagikan kepada para pengemis, para pedagang asongan dan pengamen yang banyak di setiap stopan.<br/><br/>Di stopan terakhir yang kami kunjungi, saya mengajak Kang Yayan dan kedua anak saya untuk makan bersama. Diam-diam air mata mengalir dimata saya.<br/><br/>Yuni menghampiri saya dan bilang, "Mama, saya bangga jadi anak Mama." Dan saya ingin menjadi Mama bagi ribuan anak-anak lainnya. <br/>--------------------------------------------------------------------------------<br/></font></div>Dunia Sastra Indonesiahttp://www.blogger.com/profile/01135526422163255710noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-6246472953027076215.post-77871986539420788162008-06-23T02:23:00.001-07:002008-06-23T02:23:32.424-07:00Laki-Laki Sejati<div xmlns='http://www.w3.org/1999/xhtml'><div align='justify'><font color='#663333'><small><big><font face='Times New Roman'><big><big><big><span class='xbig'/></big></big></big><br/>Cerpen<br /> <a href='http://sriti.com/story.php?writer=124'>Putu Wijaya </a><br/><span class='medium-color'>Dimuat di<br /> <a href='http://sriti.com/story.php?media=12'>Jawa Pos </a><br /> 07/10/2005</span> Telah Disimak 804 kali<br/><br/><br/><br/>Seorang perempuan muda bertanya kepada ibunya.<br/>Ibu, lelaki sejati itu seperti apa?<br/><br/>Ibunya<br />terkejut. Ia memandang takjub pada anak yang di luar pengamatannya<br />sudah menjadi gadis jelita itu. Terpesona, karena waktu tak mau<br />menunggu. Rasanya baru kemarin anak itu masih ngompol di sampingnya<br />sehingga kasur berbau pesing. Tiba-tiba saja kini ia sudah menjadi<br />perempuan yang punya banyak pertanyaan.<br/><br/>Sepasang matanya yang<br />dulu sering belekan itu, sekarang bagai sorot lampu mobil pada malam<br />gelap. Sinarnya begitu tajam. Sekelilingnya jadi ikut memantulkan<br />cahaya. Namun jalan yang ada di depan hidungnya sendiri, yang sedang ia<br />tempuh, nampak masih berkabut. Hidup memang sebuah rahasia besar yang<br />tak hanya dialami dalam cerita di dalam pengalaman orang lain, karena<br />harus ditempuh sendiri.<br/><br/>Kenapa kamu menanyakan itu, anakku?<br/>Sebab aku ingin tahu.<br/>Dan sesudah tahu?<br/>Aku tak tahu.<br/><br/>Wajah<br />gadis itu menjadi merah. Ibunya paham, karena ia pun pernah muda dan<br />ingin menanyakan hal yang sama kepada ibunya, tetapi tidak berani.<br />Waktu itu perasaan tidak pernah dibicarakan, apalagi yang menyangkut<br />cinta. Kalaupun dicoba, jawaban yang muncul sering menyesatkan. Karena<br />orang tua cenderung menyembunyikan rahasia kehidupan dari anak-anaknya<br />yang dianggapnya belum cukup siap untuk mengalami. Kini segalanya sudah<br />berubah. Anak-anak ingin tahu tak hanya yang harus mereka ketahui,<br />tetapi semuanya. Termasuk yang dulu tabu. Mereka senang pada bahaya.<br/>Setelah menarik napas, ibu itu mengusap kepala putrinya dan berbisik.<br/><br/>Jangan<br />malu, anakku. Sebuah rahasia tak akan menguraikan dirinya, kalau kau<br />sendiri tak penasaran untuk membukanya. Sebuah rahasia dimulai dengan<br />rasa ingin tahu, meskipun sebenarnya kamu sudah tahu. Hanya karena kamu<br />tidak pernah mengalami sendiri, pengetahuanmu hanya menjadi potret<br />asing yang kamu baca dari buku. Banyak orang tua menyembunyikannya,<br />karena pengetahuan yang tidak perlu akan membuat hidupmu berat dan<br />mungkin sekali patah lalu berbelok sehingga kamu tidak akan pernah<br />sampai ke tujuan. Tapi ibu tidak seperti itu. Ibu percaya zaman<br />memberikan kamu kemampuan lain untuk menghadapi bahaya-bahaya yang juga<br />sudah berbeda. Jadi ibu akan bercerita. Tetapi apa kamu siap menerima<br />kebenaran walaupun itu tidak menyenangkan?<br/>Maksud Ibu?<br/>Lelaki sejati anakku, mungkin tidak seperti yang kamu bayangkan.<br/>Kenapa tidak?<br/><br/>Sebab<br />di dalam mimpi, kamu sudah dikacaukan oleh bermacam-macam harapan yang<br />meluap dari berbagai kekecewaan terhadap laki-laki yang tak pernah<br />memenuhi harapan perempuan. Di situ yang ada hanya perasaan keki.<br/>Apakah itu salah?<br/><br/>Ibu<br />tidak akan bicara tentang salah atau benar. Ibu hanya ingin kamu<br />memisahkan antara perasaan dan pikiran. Antara harapan dan kenyataan. <br/><br/>Aku<br />selalu memisahkan itu. Harapan adalah sesuatu yang kita inginkan<br />terjadi yang seringkali bertentangan dengan apa yang kemudian ada di<br />depan mata. Harapan menjadi ilusi, ia hanya bayang-bayang dari hati.<br />Itu aku mengerti sekali. Tetapi apa salahnya bayang-bayang? Karena<br />dengan bayang-bayang itulah kita tahu ada sinar matahari yang menyorot,<br />sehingga berkat kegelapan, kita bisa melihat bagian-bagian yang<br />diterangi cahaya, hal-hal yang nyata yang harus kita terima, meskipun<br />itu bertentangan dengan harapan.<br/>Ibunya tersenyum.<br/>Jadi kamu masih ingat semua yang ibu katakan?<br/>Kenapa tidak?<br/>Berarti kamu sudah siap untuk melihat kenyataan?<br/>Aku siap. Aku tak sabar lagi untuk mendengar. Tunjukkan padaku bagaimana laki-laki sejati itu.<br/><br/>Ibu<br />memejamkan matanya. Ia seakan-akan mengumpulkan seluruh unsur yang<br />berserakan di mana-mana, untuk membangun sebuah sosok yang jelas dan<br />nyata.<br/><br/>Laki-laki yang sejati, anakku katanya kemudian, adalah… tetapi ia tak melanjutkan.<br/>Adalah?<br/>Adalah seorang laki-laki yang sejati.<br/>Ah, Ibu jangan ngeledek begitu, aku serius, aku tak sabar.<br/><br/>Bagus,<br />Ibu hanya berusaha agar kamu benar-benar mendengar setiap kata yang<br />akan ibu sampaikan. Jadi perhatikan dengan sungguh-sungguh dan jangan<br />memotong, karena laki-laki sejati tak bisa diucapkan hanya dengan satu<br />kalimat. Laki-laki sejati anakku, lanjut ibu sambil memandang ke depan,<br />seakan-akan ia melihat laki-laki sejati itu sedang melangkah di udara<br />menghampiri penjelmaannya dalam kata-kata.<br/>Laki-laki sejati adalah…<br/>Laki-laki yang perkasa?!<br/><br/>Salah!<br />Kan barusan Ibu bilang, jangan menyela! Laki-laki disebut laki-laki<br />sejati, bukan hanya karena dia perkasa! Tembok beton juga perkasa,<br />tetapi bukan laki-laki sejati hanya karena dia tidak tembus oleh peluru<br />tidak goyah oleh gempa tidak tembus oleh garukan tsunami, tetapi dia<br />harus lentur dan berjiwa. Tumbuh, berkembang bahkan berubah, seperti<br />juga kamu.<br/>O ya?<br/><br/>Bukan karena ampuh, bukan juga karena tampan<br />laki-laki menjadi sejati. Seorang lelaki tidak menjadi laki-laki sejati<br />hanya karena tubuhnya tahan banting, karena bentuknya indah dan<br />proporsinya ideal. Seorang laki-laki tidak dengan sendirinya menjadi<br />laki-laki sejati karena dia hebat, unggul, selalu menjadi pemenang,<br />berani dan rela berkorban. Seorang laki-laki belum menjadi laki-laki<br />sejati hanya karena dia kaya-raya, baik, bijaksana, pintar bicara,<br />beriman, menarik, rajin sembahyang, ramah, tidak sombong, tidak suka<br />memfitnah, rendah hati, penuh pengertian, berwibawa, jago bercinta,<br />pintar mengalah, penuh dengan toleransi, selalu menghargai orang lain,<br />punya kedudukan, tinggi pangkat atau punya karisma serta banyak akal.<br />Seorang laki-laki tidak menjadi laki-laki sejati hanya karena dia<br />berjasa, berguna, bermanfaat, jujur, lihai, pintar atau jenius. Seorang<br />laki-laki meskipun dia seorang idola yang kamu kagumi, seorang<br />pemimpin, seorang pahlawan, seorang perintis, pemberontak dan pembaru,<br />bahkan seorang yang arif-bijaksana, tidak membuat dia otomatis menjadi<br />laki-laki sejati!<br/>Kalau begitu apa dong?<br/><br/>Seorang laki-laki<br />sejati adalah seorang yang melihat yang pantas dilihat, mendengar yang<br />pantas didengar, merasa yang pantas dirasa, berpikir yang pantas<br />dipikir, membaca yang pantas dibaca, dan berbuat yang pantas dibuat,<br />karena itu dia berpikir yang pantas dipikir, berkelakuan yang pantas<br />dilakukan dan hidup yang sepantasnya dijadikan kehidupan.<br/>Perempuan muda itu tercengang.<br/>Hanya itu?<br/>Seorang laki-laki sejati adalah seorang laki-laki yang satu kata dengan perbuatan!<br/>Orang yang konsekuen?<br/>Lebih dari itu!<br/>Seorang yang bisa dipercaya?<br/>Semuanya!<br/>Perempuan muda itu terpesona.<br/><br/>Apa<br />yang lebih dari yang satu kata dan perbuatan? Tulus dan semuanya?<br />Ahhhhh! Perempuan muda itu memejamkan matanya, seakan-akan mencoba<br />membayangkan seluruh sifat itu mengkristal menjadi sosok manusia dan<br />kemudian memeluknya. Ia menikmati lamunannya sampai tak sanggup<br />melanjutkan lagi ngomong. Dari mulutnya terdengar erangan kecil, kagum,<br />memuja dan rindu. Ia mengalami orgasme batin.<br/><br/>Ahhhhhhh, gumannya<br />terus seperti mendapat tusukan nikmat. Aku jatuh cinta kepadanya dalam<br />penggambaran yang pertama. Aku ingin berjumpa dengan laki-laki seperti<br />itu. Katakan di mana aku bisa menjumpai laki-laki sejati seperti itu,<br />Ibu?<br/><br/>Ibu tidak menjawab. Dia hanya memandang anak gadisnya seperti kasihan. Perempuan muda itu jadi bertambah penasaran.<br/>Di mana aku bisa berkenalan dengan dia?<br/>Untuk apa?<br/><br/>Karena<br />aku akan berkata terus-terang, bahwa aku mencintainya. Aku tidak akan<br />malu-malu untuk menyatakan, aku ingin dia menjadi pacarku, mempelaiku,<br />menjadi bapak dari anak-anakku, cucu-cucu Ibu. Biar dia menjadi teman<br />hidupku, menjadi tongkatku kalau nanti aku sudah tua. Menjadi orang<br />yang akan memijit kakiku kalau semutan, menjadi orang yang membesarkan<br />hatiku kalau sedang remuk dan ciut. Membangunkan aku pagi-pagi kalau<br />aku malas dan tak mampu lagi bergerak. Aku akan meminangnya untuk<br />menjadi suamiku, ya aku tak akan ragu-ragu untuk merayunya menjadi<br />menantu Ibu, penerus generasi kita, kenapa tidak, aku akan merebutnya,<br />aku akan berjuang untuk memilikinya.<br/>Dada perempuan muda itu turun naik.<br/><br/>Apa<br />salahnya sekarang wanita memilih laki-laki untuk jadi suami, setelah<br />selama berabad-abad kami perempuan hanya menjadi orang yang menunggu<br />giliran dipilih?<br/>Perempuan muda itu membuka matanya. Bola mata itu berkilat-kilat. Ia memegang tangan ibunya.<br/>Katakan cepat Ibu, di mana aku bisa menjumpai laki-laki itu?<br/>Bunda menarik nafas panjang. Gadis itu terkejut.<br/>Kenapa Ibu menghela nafas sepanjang itu?<br/>Karena kamu menanyakan sesuatu yang sudah tidak mungkin, sayang.<br/>Apa? Tidak mungkin?<br/>Ya.<br/>Kenapa?<br/>Karena laki-laki sejati seperti itu sudah tidak ada lagi di atas dunia.<br/>Oh, perempuan muda itu terkejut.<br/>Sudah tidak ada lagi?<br/>Sudah habis.<br/>Ya Tuhan, habis? Kenapa?<br/>Laki-laki sejati seperti itu semuanya sudah amblas, sejak ayahmu meninggal dunia.<br/>Perempuan muda itu menutup mulutnya yang terpekik karena kecewa.<br/>Sudah amblas?<br/><br/>Ya.<br />Sekarang yang ada hanya laki-laki yang tak bisa lagi dipegang mulutnya.<br />Semuanya hanya pembual. Aktor-aktor kelas tiga. Cap tempe semua. Banyak<br />laki-laki yang kuat, pintar, kaya, punya kekuasaan dan bisa berbuat apa<br />saja, tapi semuanya tidak bisa dipercaya. Tidak ada lagi laki-laki<br />sejati anakku. Mereka tukang kawin, tukang ngibul, semuanya bakul jamu,<br />tidak mau mengurus anak, apalagi mencuci celana dalammu, mereka buas<br />dan jadi macan kalau sudah dapat apa yang diinginkan. Kalau kamu sudah<br />tua dan tidak rajin lagi meladeni, mereka tidak segan-segan menyiksa<br />menggebuki kaum perempuan yang pernah menjadi ibunya. Tidak ada lagi<br />laki-laki sejati lagi, anakku. Jadi kalau kamu masih merindukan<br />laki-laki sejati, kamu akan menjadi perawan tua. Lebih baik hentikan<br />mimpi yang tak berguna itu.<br/>Gadis itu termenung. Mukanya nampak sangat murung.<br/>Jadi tak ada harapan lagi, gumamnya dengan suara tercekik putus asa. Tak ada harapan lagi. Kalau begitu aku patah hati.<br/>Patah hati?<br/>Ya. Aku putus asa.<br/>Kenapa mesti putus asa?<br/>Karena apa gunanya lagi aku hidup, kalau tidak ada laki-laki sejati?<br/>Ibunya kembali mengusap kepala anak perempuan itu, lalu tersenyum.<br/><br/>Kamu<br />terlalu muda, terlalu banyak membaca buku dan duduk di belakang meja.<br />Tutup buku itu sekarang dan berdiri dari kursi yang sudah memenjarakan<br />kamu itu. Keluar, hirup udara segar, pandang lagit biru dan daun-daun<br />hijau. Ada bunga bakung putih sedang mekar beramai-ramai di pagar,<br />dunia tidak seburuk seperti yang kamu bayangkan di dalam kamarmu. Hidup<br />tidak sekotor yang diceritakan oleh buku-buku dalam perpustakaanmu<br />meskipun memang tidak seindah mimpi-mimpimu. Keluarlah anakku, cari<br />seseorang di sana, lalu tegur dan bicara! Jangan ngumpet di sini!<br/>Aku tidak ngumpet!<br/>Jangan lari!<br/>Siapa yang lari?<br/>Mengurung diri itu lari atau ngumpet. Ayo keluar! <br/>Keluar ke mana?<br/>Ke jalan! Ibu menunjuk ke arah pintu yang terbuka. Bergaul dengan masyarakat banyak.<br/>Gadis itu termangu. <br/>Untuk apa? Dalam rumah kan lebih nyaman?<br/>Kalau begitu kamu mau jadi kodok kuper!<br/>Tapi aku kan banyak membaca? Aku hapal di luar kepala sajak-sajak Kahlil Gibran!<br/><br/>Tidak<br />cukup! Kamu harus pasang omong dengan mereka, berdialog akan membuat<br />hatimu terbuka, matamu melihat lebih banyak dan mengerti pada<br />kelebihan-kelebihan orang lain.<br/>Perempuan muda itu menggeleng.<br/>Tidak ada gunanya, karena mereka bukan laki-laki sejati.<br/>Makanya keluar. Keluar sekarang juga!<br/>Keluar?<br/>Ya.<br/><br/>Perempuan<br />muda itu tercengang, suara ibunya menjadi keras dan memerintah. Ia<br />terpaksa meletakkan buku, membuka earphone yang sejak tadi<br />menyemprotkan musik R & B ke dalam kedua telinganya, lalu keluar<br />kamar.<br/><br/>Matahari sore terhalang oleh awan tipis yang berasal dari<br />polusi udara. Tetapi itu justru menolong matahari tropis yang garang<br />itu untuk menjadi bola api yang indah. Dalam bulatan yang hampir<br />sempurna, merahnya menyala namun lembut menggelincir ke kaki langit.<br />Silhuet seekor burung elang nampak jauh tinggi melayang-layang<br />mengincer sasaran. Wajah perempuan muda itu tetap kosong.<br/>Aku tidak memerlukan matahari, aku memerlukan seorang laki-laki sejati, bisiknya.<br/>Makanya keluar dari rumah dan lihat ke jalanan!<br/>Untuk apa?<br/><br/>Banyak<br />laki-laki di jalanan. Tangkap salah satu. Ambil yang mana saja,<br />sembarangan dengan mata terpejam juga tidak apa-apa. Tak peduli siapa<br />namanya, bagaimana tampangnya, apa pendidikannya, bagaimana otaknya dan<br />tak peduli seperti apa perasaannya. Gaet sembarang laki-laki yang mana<br />saja yang tergapai oleh tanganmu dan jadikan ia teman hidupmu!<br/><br/>Perempuan<br />muda itu tecengang. Hampir saja ia mau memprotes. Tapi ibunya keburu<br />memotong. Asal, lanjut ibunya dengan suara lirih namun tegas, asal, ini<br />yang terpenting anakku, asal dia benar-benar mencintaimu dan kamu<br />sendiri juga sungguh-sungguh mencintainya. Karena cinta, anakku, karena<br />cinta dapat mengubah segala-galanya.<br/>Perempuan muda itu tercengang.<br/><br/>Dan<br />lebih dari itu, lanjut ibu sebelum anaknya sempat membantah, lebih dari<br />itu anakku, katanya dengan suara yang lebih lembut lagi namun semakin<br />tegas, karena seorang perempuan, anakku, siapa pun dia, dari mana pun<br />dia, bagaimana pun dia, setiap perempuan, setiap perempuan anakku,<br />dapat membuat seorang lelaki, siapa pun dia, bagaimana pun dia, apa pun<br />pekerjaannya bahkan bagaimana pun kalibernya, seorang perempuan dapat<br />membuat setiap lelaki menjadi seorang laki-laki yang sejati! ***<br/><br/>Denpasar, akhir 2004 sumber <a href='http://sriti.com/story_view.php?key=1513' target='_blank'>http://sriti.com</a><br/></font> <br /> <br /> <br /> <br /> </big></small></font></div><p align='justify'><font color='#663333'><small><big><font face='Times New Roman'> </font></big></small></font></p><div align='justify'><font color='#663333'><small><big><font face='Times New Roman'><br/></font></big></small></font></div></div>Dunia Sastra Indonesiahttp://www.blogger.com/profile/01135526422163255710noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6246472953027076215.post-82297749054310044922008-06-23T02:20:00.001-07:002008-06-23T02:20:27.255-07:00Menunggu saat Bintang Jatuh<div xmlns='http://www.w3.org/1999/xhtml'><p align='justify'><br/></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman'><br /> Cerpen<br /> <a href='http://sriti.com/story.php?writer=885'>Emi Teja K.D. </a><br/><span class='medium-color'>Dimuat di<br /> <a href='http://sriti.com/story.php?media=38'>Pontianak Post </a><br /> 06/08/2008</span> Telah Disimak 21 kali </font> <br /> <br /> <br /> <br /> </big></p><p><big><font face='Times New Roman'> </font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'><br/></font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'>LANGIT indah bertabur temaram bintang malam ini. Sang dewi malam<br />dengan anggun menebar senyumnya yang merekah. Seperti bibir bidadari<br />surga. Lama rasanya aku melupakan atap dunia itu. Aku terlalu sibuk<br />berada di bumi hingga tak sempat menengok langit. Bintang, benda langit<br />itu berkerlap-kerlip seakan menggodaku. Bagai tangan malaikat yang<br />melambai agar aku menghampirinya. Ia mengingatkanku pada mitos bintang<br />jatuh. </font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'>Kata orang, bintang jatuh dapat mengabulkan permintaan<br />manusia. Benarkah? Jika iya, aku rela menunggu benda langit itu<br />tertarik gravitasi bumi, meski harus menantinya tiap malam, hanya untuk<br />satu permintaan. Ah, kenapa pula aku jadi seperti bocah. Mana mungkin<br />benda langit yang tak mampu melawan takdir untuk dirinya sendiri<br />tersebut mampu mengabulkan keinginan makhuk lain? </font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'>Seandainya<br />bintang jatuh mampu mengabulkan keinginan, pasti dia akan meminta<br />sendiri kepada Tuhan agar kontraknya di atap dunia diperpanjang.<br />Buktinya, ia memilih menuruti kehendak alam. </font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'>Sayang, saat ini,<br />aku yang sedang sentimentil merasa bintang yang menggoda itu seakan<br />seperti pantulan cermin atas diriku sendiri. Awalnya begitu indah,<br />tinggi di awang-awang namun tak terjamah, jauh, dan jika Tuhan<br />menghendakinya jatuh, ia tak mampu melawan.</font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'>Aku terlahir sebagai<br />bocah desa biasa, anak buruh tani. Kedua orang tuaku tak lulus SD,<br />begitu juga kedua kakak perempuanku. Mereka menikah di usia yang masih<br />sangat belia, menjadi ibu rumah tangga, mengurusi anak, suami, dan<br />dapur.</font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'>Status yang menurutku benar-benar rendah dan aku tak mau<br />seperti mereka. Adalah Pak Ahmad, kepala desaku yang menjadi<br />kepanjangan tangan Tuhan mengubah seluruh duniaku. Beliau mengangkatku<br />menjadi anak asuhnya sejak aku SD karena terkesan dengan prestasi<br />belajarku saat aku menjadi juara 1 lomba cerdas cermat se-kecamatan. </font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'>Sejak<br />saat itu, beliau menanggung semua biaya pendidikan, termasuk semua<br />keperluanku. Aku tak pernah kekurangan apa pun. Semua yang aku mau,<br />sekarang aku minta, esok pagi saat aku baru membuka mata, pasti aku<br />telah mendapatkannya. Aku cantik, setidaknya aku primadona desa. Aku<br />juga sudah memiliki belahan hati yang telah kuyakini adalah jodohku.<br />Laki-laki tersebut bernama Awan. Itu yang dulu aku namai keberuntungan.<br /></font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'>Aku menikmati semua anugerah Tuhan tersebut. Tapi, saat ini<br />tidak demikian, aku berharap ada bintang jatuh, berharap mitos<br />tentangnya benar. Satu keinginan yang ingin aku minta adalah aku tak<br />ingin jadi diriku sekarang. Aku ingin menjadi Sekar, gadis desa anak<br />Pak Kardi dan Ibu Karmi, buruh tani yang tak lulus SD. Aku ingin<br />seperti Mbak Gendis dan Mbak Elok. </font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'>Semua masih biasa saja<br />sampai kemarin, namun sebuah kejadian tadi siang benar-benar menjungkir<br />balik duniaku. Seharusnya, siang ini menjadi saat paling indah dalam<br />hidupku. Sebulan yang lalu, Awan mengungkapkan niat untuk melamarku dan<br />aku setuju. Aku telah merangkai jutaan angan tentang masa depan kami,<br />tentang rumah mungil yang hangat. Tentang bayi-bayi lucu yang kelak<br />menjadi calon profesor. </font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'>Sebuah hal yang tak aku duga, ternyata,<br />merusak segalanya. Kedatangan Awan hari ini tak kunyana tak mendapatkan<br />sambutan baik dari bapak angkatku. Beliau menolak mentah-mentah niat<br />Awan untuk meminangku. Bahkan, beliau bersumpah tidak akan menyetujui<br />hubungan kami sampai kapan pun. Aku tak pernah melihat bapak semarah<br />itu, tidak sama sekali sejak 11 tahun aku mengenal beliau. </font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'>Tapi,<br />hari ini malaikat itu berubah menjadi monster paling menakutkan. Semua<br />tak seperti kemarin lagi. Dunia tak lagi indah bagiku, meski langit<br />sedang berpesta di atas sana. Hatiku terasa jauh lebih sakit saat tadi<br />sore, setelah bencana itu, aku pulang ke rumah orang tua kandungku. Aku<br />menceritakan semuanya, namun tak memperoleh pembelaan di sana. Di rumah<br />orang tua yang telah melahirkanku. </font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'>"Kamu sudah dewasa, kamu<br />sudah jadi wong pinter nduk, dan semua itu karena jasa Pak Ahmad, bapak<br />angkatmu. Jangan jadi anak durhaka Sekar, mintalah maaf kepadanya dan<br />turuti apa yang beliau minta." Hatiku sakit mendengar kalimat itu,<br />ringan keluar dari bibir ibu, wanita yang mengandung dan melahirkanku.<br />Meski tanpa melihat wajah beliau, aku tahu tak ada beban dari nada<br />suaranya. Ah ibu, apa benar tak ada lagi cintamu untukku? </font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'>Langit<br />masih bertabur bintang di atas sana, masih menyiratkan keindahan alam<br />awang-awang nun tak terjamah. Angin malam mulai membuatku menggigil.<br />Aku baru sadar, aku tidak sedang di rumah Pak Kepala Desa yang megah<br />dan hangat. Namun, aku sedang meringkuk di sudut balai desa tak<br />berdinding, tanpa alas, dan tanpa teman. </font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'>Aku tak tau apakah<br />bapak angkatku saat ini sedang sibuk mencariku atau hanya diam di rumah<br />menungguku pulang sendiri. Meminta maaf kepadanya, lalu dengan santun<br />mengatakan bahwa aku akan ikhlas menerima apa pun yang beliau mau. </font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'>Baru<br />kali ini aku tahu betapa berharga sebuah kemerdekaan dan kebebasan<br />menentukan pilihan sendiri. Andai aku bisa, aku ingin kembali ke masa<br />lalu, aku tak ingin mengenal seseorang yang pernah aku anggap malaikat<br />itu. Tak apalah aku hanya menjadi gadis desa yang bodoh, seperti yang<br />lain, hidup bersama Awan. </font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'>Awan, mengingatnya kembali membuat<br />dadaku sesak. Aku bodoh, aku lemah, dan aku tak mampu melawan. Kuintip<br />lagi langit yang tampak jelas dari tempatku menyudut, tetap semarak<br />meski sangat sepi. Pasti sudah lewat dini hari, kelengangan meraja. </font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'>**** </font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'>Silau<br />mentari menerpa wajahku, aku menyipitkan mata karenanya. Hari sudah<br />terang. Aku tersentak kaget saat menyadari ada seseorang di dekatku.<br />Bapak? Bagaimana bisa orang yang kuhujat semalaman itu tiba-tiba duduk<br />di dekatku. Sebuah sarung kotak-kotak warna hijau menyelimuti tubuhku. </font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'>Aku<br />kenal betul benda itu, sarung yang sengaja aku beli untuk Bapak saat<br />aku liburan ke Jogja dulu. Bapak selalu mengenakannya. Air mataku<br />meleleh melihat malaikat itu tertidur dalam posisi duduk. Pastilah<br />tulang-tulang tua tersebut memberinya rasa pegal dan sakit yang<br />menyiksa. Tiba-tiba aku merasa sangat berdosa kepadanya. Bapak, maafkan<br />aku. </font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'>"Jangan menangis cah ayu,...jangan cengeng.." Rupanya,<br />isak tangisku mengusik tidur beliau. Tangan tuanya yang keriput<br />mengusap air mata di pipiku. Aku makin tersedu. </font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'>"Bapak tahu kamu sangat marah sama Bapak karena kejadian kemarin...." Suara datar penuh wibawa itu terdengar sangat halus. </font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'>"Bapak<br />tak akan melarangmu menikah dengan siapa pun. Kamu bebas memilih, kamu<br />telah dewasa, bahkan sebentar lagi kamu akan sah jadi sarjana, yang<br />pertama dan satu-satunya di desa ini. Tapi, jangan dengan anak bajingan<br />itu, sampai mati pun bapak tak rela.." Aku memilih diam, aku hanya<br />terisak dan semakin terisak. Aku pasrah saja saat bapak angkatku itu<br />menuntunku pulang. </font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'>**** </font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'>Seminggu sudah bencana itu<br />berlalu, aku memilih patuh kepada Bapak. Sudah seminggu pula, aku<br />menghabiskan malam tanpa menutup mata. Berdiam diri di balkon kamarku<br />sambil menatap langit berharap dapat menemukan bintang jatuh. Malam<br />ini, kupastikan tak ada bintang jatuh, hujan sudah mengguyur bumi mulai<br />sore tadi. Tapi, aku tetap seperti hari-hari sebelumnya. </font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'>"Nduk Sekar, dipanggil Bapak," suara Mbok Jah terdengar dari balik pintu kamarku. </font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'>"Ya Mbok, terima kasih," jawabku acuh tanpa membuka pintu </font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'>"Nduk, dipanggil Bapak," Mbok jah mengulangi panggilannya. </font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'>"Iya..iya.., bentar!!!" sambil membuka pintu kubentak wanita sepuh itu. </font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'>"Maaf nduk, tapi Bapak sedang sakit. Beliau ingin bertemu dengan Nduk Sekar." </font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'>"Sakit?<br />Sakit apa? Sejak kapan Mbok? Sepertinya, kemarin-kemarin aku melihat<br />Bapak sehat-sehat saja?" aku menghujani pertanyaan kepada Mbok Jah<br />sambil melangkah menuju kamar Bapak. Pintu kamar itu terbuka sebagian,<br />dari luar aku sudah dapat melihat wajah Bapak. Pucat dan lemah. </font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'>"Bapak kenapa?? Bapak...." aku menjerit histeris sambil memegangi tangan Bapak. </font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'>"Jangan<br />menikah dengan anak Surya, Sekar. Berjanjilah pada Bapakmu<br />ini,....berjanjilah," suara itu samar, hampir tak terdengar tapi sangat<br />menghujam jantungku. Refleks aku mengangguk. </font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'>"Aku berjanji Bapak, aku berjanji,...." </font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'>**** </font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'>Hari<br />ini aku terpaku menatap gundukan tanah yang masih basah. Semerbak bau<br />kembang terbawa angin bersama debu dan daun kering. Di bawah sana,<br />malaikat sekaligus monster itu terbaring untuk selamanya meninggalkan<br />janji yang sangat berat di pundakku. </font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'>Di seberang sana, aku<br />melihat sosok yang sangat aku kenal. Awan terpaku di bawah pohon<br />kamboja. Seakan memintaku untuk mendekatinya. Aku ingin berlari ke<br />arahnya menumpahkan kerinduanku. Tapi, janji yang aku ucap semalam<br />kepada jasad yang tertidur di bawah nisan ini merantai kakiku. Aku<br />memilih untuk meninggalkan tempat itu, tanpa menegur atau sekadar<br />membalas tatapannya. </font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'>Nyawaku tak utuh lagi. Mungkin pergi<br />bersama Bapak atau tinggal bersama Awan yang masih terpaku di bawah<br />pohon kamboja. Janji adalah utang. Kepada beliau, aku tak hanya utang<br />janji, tapi juga utang budi. Selalu ada harga yang harus dibayar untuk<br />segala sesuatu, meski untuk sebutir pasir sekalipun. Jika itu harga<br />yang harus aku bayar, akan aku lakukan. Aku memang tak yakin bisa hidup<br />tanpa Awan. </font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'>Tapi, aku telah memilih untuk menepati janjiku<br />kepada Bapak. Biarlah takdir sendiri yang menentukan jalan kami.<br />Seperti bintang yang patuh untuk turun ke bumi saat Sang Mahakuasa<br />menghendakinya demikian. </font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'>Dendamlah yang membuat Bapak sangat<br />membenci Pak Surya, orang tua Awan. Bapak sangat meyakini bahwa<br />kematian istri dan putri tunggalnya, Mbak Lastri, adalah karena teluh<br />yang dikirim Pak Surya yang kala itu kalah pemilihan kepala desa. </font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'>Bapak<br />sangat meyakini itu benar. Meski diagnosis dokter mengatakan bahwa<br />mereka meninggal karena DBD. Saat itu, memang desa ini sedang diserang<br />wabah DBD. Namun, karena kejadian tersebut hanya berselang satu hari<br />setelah kemenangan Bapak, beliau meyakini ada kekuatan lain yang<br />merenggut nyawa dua orang keluarganya itu hingga meninggal secara<br />bersamaan.***</font></big></p><p align='justify'><big><font face='Times New Roman' color='#663300'>Sumber:<font color='#3333ff'><a href='http://sriti.com/story_view.php?key=2780' target='_blank'>http://sriti.com</a></font><br/> </font></big></p></div>Dunia Sastra Indonesiahttp://www.blogger.com/profile/01135526422163255710noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6246472953027076215.post-89516025616616145292008-06-11T10:12:00.001-07:002008-06-11T10:12:21.095-07:00Kumpulan Cerpen Adi Toha "Kala Rupa"<div xmlns='http://www.w3.org/1999/xhtml'><font face='georgia' color='#663300'><br/><br/>Sebuh cerpen karya Adi Toha <br/>Dia membuat karya cerpenya ini dalam satu kepala judul yaitu " Kala Rupa"<br/><br/>Ini merupakan file Htm versi pdf sehingga kita tidak hanya bisa membukanya tapi juga kita bisa untuk mendownloadnya (save)<br/><br/>Novel "Kala Rupa" ini berisi 16 cerpen <br/>diantaranya:<br/><br/> 1. Kawah<br/> 2. Bencana Langit<br/> 3. Pasar Malam , Perempuan Tua dan Sepasang Sepatu<br/> 4. Pelacur dan semut<br/> 5. Rumah Kosong dan Patung kayu<br/> 6. Lelaki dengan Bekas Luka di Punggungnya<br/> 7. Namira<br/> 8. Kereta<br/> 9. Ada Pantai di Kamarku<br/> 10. Kalarupa<br/> 11. Lubang<br/> 12. Jalur Sodrun<br/> 13. Kisah Kematian Pengarang Muda<br/> 14. Selimut Jingga untuk Kekasihku <br/> 15. Gadis Kecil dan Penjaga Makam <br/> 16. Angira<br/><br/>Untuk membaca atau mengambilnya <a href='http://jalaindra.files.wordpress.com/2007/11/kalarupa-kumpulan-cerpen.pdf'>tengok disini</a><br/>Met membaca.....!!!<br/><br/></font></div>Dunia Sastra Indonesiahttp://www.blogger.com/profile/01135526422163255710noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6246472953027076215.post-38997051252681965322008-06-11T09:37:00.001-07:002008-06-11T09:37:50.046-07:00Kumpulan Cepen By Retno Wi<div xmlns='http://www.w3.org/1999/xhtml'><font face='georgia' color='#663300'><br/></font><h1 id='post-8'><a href='http://spiritskul.blogspot.com/2008/06/selembar-uang-5000.html'><font face='georgia' color='#663300'><a title='Permanent Link: Selembar Uang 5000' rel='bookmark'>Selembar Uang 5000</a></font></a></h1><font face='georgia' color='#663300'><br/><br/>Anak dalam gendongan Sri belum diam. Semakin Sri berusaha<br />menenangkannya, tangis anak itu semakin pecah. Sri mulai kuwalahan<br />untuk membujuknya.<br/><br />“Cup-cup, Nak. Sebentar lagi Bapak datang.” Bujuk Sri sambil menimang-nimang dalam gendongan.<br/><br />“Mungkin dia lapar, Sri.”<br/><br />“Mungkin iya, Mbak.”<br/><br />“Tadi anakmu sudah makan belum ?”<br/><br />“Belum.”<br/><br />“Kalau begitu cepat kasih dia makan.”<br/><br />Sri tersenyum. Menelan ludah yang terasa kian hambar di lidah yang<br />sejak kemarin belum kemasukan makanan. Tawar dan getir adalah hiasan<br />hidupnya.<br/><br/><br/></font><h1 id='post-7'><a href='http://spiritskul.blogspot.com/2008/06/hadiah-kejujuran.html'><font face='georgia' color='#663300'><a title='Permanent Link: Hadiah Kejujuran' rel='bookmark'>Hadiah Kejujuran</a></font></a></h1><font face='georgia' color='#663300'><br/><br/>Firman masih terjaga. Ditemani jam weker dan segelas susu hangat yang<br />baru diantar ibunya. Mulutnya komat-kamit menghafal rumus matematika.<br />Kadang matanya terpejam, berharap rumus yang dihafal dapat melekat di<br />otak. Namun rasa kantuk yang kuat, sering mnghapus hafalannya. Harus<br />bisa! Tekadnya dalam hati. Firman tak rela gelar juara pertamanya<br />direbut oleh Andi untuk yang kedua kali. Apalagi ayahnya sudah berjanji<br />akan membelikan sepeda baru kalau ia berhasil merebut kembali juara<br />pertama.<br/><br/><br/></font><h1 id='post-14'><a href='http://spiritskul.blogspot.com/2008/06/si-hitam-pemalas.html'><font face='georgia' color='#663300'><a title='Permanent Link: Si Hitam Pemalas' rel='bookmark'>Si Hitam Pemalas</a></font></a></h1><font face='georgia' color='#663300'><br/><br/><br />Kukuruyuuu…uk!<br/><br />Kukuruyuuu…uk!</font><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>Si Jago Putih berkokok keras. Suaranya memanjang, menembus butanya<br />pagi yang dingin. Gaungnya memanggil fajar yang sebentar lagi muncul<br />menggantikan gelap. Ini adalah tugasnya sehari-hari sebagai pimpinan<br />kandang. Berkokok menjelang fajar untuk membangunkan semua penghuni.<br />Suasana kandang yang senyap langsung riuh. Beberapa induk ayam mulai<br />membangunkan anak-anaknya.</font></p><font face='georgia' color='#663300'><br/><br/></font><h1 id='post-12'><a href='http://spiritskul.blogspot.com/2008/06/suatu-siang-di-bungurasih.html'><font face='georgia' color='#663300'><a title='Permanent Link: Suatu Siang di Bungurasih' rel='bookmark'>Suatu Siang di Bunguras</a></font></a></h1><font face='georgia' color='#663300'><br/>Alhamdulillah, sampai juga di Bungurasih. Berarti sudah separo<br />perjalanan yang kutempuh. Bis yang kutumpangi berhenti di jalur dua<br />pemberhentian bis. Uff…hh!! Surabaya yang panas, sepanas orang-orang<br />yang mengerubutiku.<br/><br />“Perlu tenaga, Mbak?” seorang penyedia jasa angkutan barang menawarkan<br />bantuan. Aku tolak dengan sopan sambil tersenyum. Aku tak ingin<br />penolakanku menimbulkan reaksi yang tidak menyenangkan darinya.<br />Ah,Surabaya tak pernah berubah. Bungurasih tak pernah sepi dari<br />manusia. Kupercepat langkah kakiku untuk menghindari buruan para calo<br />yang mencari penumpang. Sekaligus memperkecil resiko kecopetan.<br />Kabarnya terminal terbesar di Jawa Timur ini menjadi sarang para<br />pencopet.<br/><br/><br/></font><h1 id='post-15'><a href='http://spiritskul.blogspot.com/2008/06/tabungan-rossi.html'><font face='georgia' color='#663300'><a title='Permanent Link: Tabungan Rossi' rel='bookmark'>Tabungan Rossi</a></font></a></h1><font face='georgia' color='#663300'><br/><br/></font><p><font face='georgia' color='#663300'>Cring!<br/><br />Cring!<br/><br />Dua keping uang logam ditelan ayam.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>Rosi mengangkat celengan ayamnya dengan sayang.<br/><br />“Wah, sudah semakin berat. Berarti isinya semakin banyak. Ternyata<br />menabung itu benar-benar menyenangkan. Sebentar lagi aku bisa membeli<br />apa saja yang kuinginkan dengan uangku sendiri.” Rosi tersenyum senang.</font></p><font face='georgia' color='#663300'><br/>Sumber :<a href='http://feeds.feedburner.com/co/fvzz'>http://feeds.feedburner.com/co/fvzz </a><br/><br/></font></div>Dunia Sastra Indonesiahttp://www.blogger.com/profile/01135526422163255710noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6246472953027076215.post-68851614786440790062008-06-11T09:31:00.003-07:002008-06-11T09:31:50.981-07:00Suatu Siang di Bungurasih<div xmlns='http://www.w3.org/1999/xhtml'><font face='georgia' color='#663300'><b>By RetnoWi</b> | May 4, 2008</font><p><font face='georgia' color='#663300'>***</font></p><br /><font face='georgia' color='#663300'>Alhamdulillah, sampai juga di Bungurasih. Berarti sudah separo<br />perjalanan yang kutempuh. Bis yang kutumpangi berhenti di jalur dua<br />pemberhentian bis. Uff…hh!! Surabaya yang panas, sepanas orang-orang<br />yang mengerubutiku.<br/><br />“Perlu tenaga, Mbak?” seorang penyedia jasa angkutan barang menawarkan<br />bantuan. Aku tolak dengan sopan sambil tersenyum. Aku tak ingin<br />penolakanku menimbulkan reaksi yang tidak menyenangkan darinya.<br />Ah,Surabaya tak pernah berubah. Bungurasih tak pernah sepi dari<br />manusia. Kupercepat langkah kakiku untuk menghindari buruan para calo<br />yang mencari penumpang. Sekaligus memperkecil resiko kecopetan.<br />Kabarnya terminal terbesar di Jawa Timur ini menjadi sarang para<br />pencopet.<br/><br />Ya, maklum. Inilah Surabaya. Penduduknya padat, lapangan pekerjaan<br />sempit. Sebagian orang akan melakukan apapun untuk bisa bertahan hidup.<br />Setelah antri sebentar akhirnya tiba juga giliranku untuk membayar<br />peron. Kuangsurkan recehan perak kepada petugas. Setelah menerima<br />karcis, aku bergegas memburu diantara arus manusia menuju ruang tunggu.</font><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>Suasana ruang tunggu tak kalah bising. Langkah tergesa kaki manusia<br />dengan membawa tas-tas besar saling berebut untuk mendahului. Apalagi<br />ditambah klakson bis yang sahut-menyahut. Untunglah ada peraturan yang<br />melarang awak bis mencari penumpang di ruang tunggu. Jam di tengah<br />ruang tunggu menunjuk angka 12.15. Berarti kemungkinan sampai di Jember<br />jam 16.00. Masih bisa untuk menjamak sholat. Aku memang tidak terbiasa<br />sholat di terminal ini. Selain musholanya jauh aku juga tidak berani<br />sendirian. Entahlah, mungkin karena dari kecil aku tidak pernah pergi<br />sendirian.<br/><br />Maklum, aku adalah si bungsu yang hanya mempunyai kakak laki-laki. Jadi<br />kemanapun pergi selalu ada yang mengantar. Tapi sayang sekarang kakakku<br />mulai sibuk jadi aku harus mulai belajar pergi sendirian.</font></p><p><font face='georgia' color='#663300'>“Assalamu’alaikum.” Sebuah salam terdengar nyaring disela-sela klakson bis yang terus bersahutan. Tak<br/><br />kuhiraukan suara itu, karena aku yakin tidak ditujukan untukku. Aku masih terus berjalan menuju tempat<br/><br />pemberangkatan bis. Aku harus cepat agar bisa mendapat kursi paling<br />depan. “Assalamu’alaikum.” Siapa, sih. Aku mulai penasaran. Aku semakin<br />kaget ketika sebuah tangan menarik lenganku.<br/><br />“Assalamu’alaikum” Untuk kesekian kalinya ia mengucap salam. Sangat sopan.<br/><br />“Wa’alaikumsalam” Agak gugup aku menjawab salamnya.<br/><br />“Ukh, dari tadi ana panggil sejak anti membayar peron. Kok nggak menjawab.” Aku hanya tersenyum.<br/><br />“Maaf, Mbak. Soalnya ………. Saya kira Mbak bukan memanggil saya.” Aku<br />masih belum mengerti siapa perempuan di depanku ini. Kuteliti dengan<br />seksama, jangan-jangan aku pernah bertemu tapi lupa. Jilbab putih<br />lebarnya, gamisnya yang bermotif bunga-bunga kecil, lengkap dengan kaos<br />kaki dan sepatu hitam. Anehnya ia tidak membawa apa-apa. Memoriku<br />buntu. Aku memang belum pernah melihat dia sebelumnya.</font></p><font face='georgia' color='#663300'>“Afwan, Ukh bisa duduk sebentar.” Pintanya menyadarkan lamunanku. Kami<br />pun mencari kursi yang agak kosong. Meskipun sulit akhirnya dapat juga.<br />Kalau semula aku hanya pasif, kini aku yang duluan bertanya. “Maaf,<br />Mbak ini siapa, ya. Sepertinya baru sekarang kita bertemu.” Kupanggil<br />dia Mbak karena dari wajahnya aku yakin ia lebih tua dariku.<br/><br />Bibirnya tersenyum sebelum menjawab. “Ana Rina, kalau Anti?”<br/><br />“Saya Lilik.” Jawabku singkat.<br/><br />“Begini, ehm…” Ia tampak kebingungan. Aku masih diam menunggu sambil<br />sesekali memperhatikan jam dinding di tengah ruang tunggu. Apa sih<br />maunya.<br/><br />“Aduh, ana jadi nggak enak.” Kebingungannya semakin kentara. “Sebenarnya ana baru kena musibah.” Ucapnya dengan nada sedih.<br/><br />“Innalillahi..” Aku mencoba berempati dengan kondisinya.<br/><br />“Ana tadi ke Malang. Rencananya mau mengambil baju walimah yang<br />dipinjam teman.” Mendengar nama Malang disebut, aku langsung tertarik.<br />Karena sebelum di Jember aku pernah kuliah di Malang.<br/><br />“Malang mana, Mbak? Tanyaku antusias.<br/><br />“Daerah Dinoyo.” Orang di sekitar tidak lagi memperhatikan kami. Semua kembali sibuk dengan urusan<br/><br />masing-masing. “Karena nggak ketemu, akhirnya ana pulang lagi. Tapi saat menempuh perjalanan ke<br/><br />Surabaya, ana kecopetan. Dompet dan tas ana hilang. “Dengan tawa hambar ia mengakhiri ceritanya.<br/><br />Aku mulai mengerti kalau sebenarnya Rina butuh uang. Tapi sampai ceritanya usai aku belum berinisiatif<br/><br />untuk menawarkan bantuan. Kulihat lagi jam dinding. Aku masih bingung<br />antara percaya atau tidak dengan kisahnya. Logikaku mengatakan agar<br />waspada. Ini adalah Surabaya. Semua modus penipuan bisa saja terjadi.<br/><br/></font><p><font face='georgia' color='#663300'>Ah, waktuku semakin pendek. Kuinggat-ingat uang yang aku bawa saat<br />ini. Aku hanya membawa uang pas-pasan. Meskipun masih ada di tabungan,<br />tapi semua telah kuanggarkan untuk membayar hutang. Motorku baru rusak<br />berat dan untuk minta orang tua aku tidak berani. Untunglah ada teman<br />yang memberi pinjaman. Konsekuensinya anggaranku bulan ini terpotong<br />untuk membayar hutang.<br/><br />Untuk kesekian kalinya kutatap wajah bulat yang ada di depanku. Kucoba<br />mencari kebenaran di sana. Ya Allah kalau dia benar-benar membutuhkan<br />pasti aku akan sangat berdosa. Tapi kalau ternyata dia menipuku? Tak<br />tahulah. Aku masih bingung. Apalagi jam di dinding terus bergerak.<br />Sekilas aku teringat temanku yang pernah kehabisan ongkos saat menempuh<br />perjalanan Surabaya – Jakarta. Uangnya tinggal 200 perak. Untunglah ada<br />orang yang bersedia menolong. </font></p><br /><font face='georgia' color='#663300'>“Afwan, Ukh. Kalau boleh ana minta diongkosi untuk pulang.” Aku<br />tidak kaget dengan ucapannya karena dari awal aku sudah menduga. Tapi….<br />Gimana, ya. Uangku hanya 50.000, itupun sudah terpakai untuk ongkos<br />Kediri-Surabaya. Ya Allah, jawaban apa yang harus kuberikan? Antara<br />rasa takut mendzolimi orang yang kesusahan dan khawatir tertipu<br />bercampur menjadi satu. Terus terang, yang membuatku heran adalah<br />sikapnya yang mudah meminta kepada orang yang belum kenal. Terdesak<br />apapun, seorang akhwat tidak akan mudah meminta. Maksimal ia akan<br />meminjam, bukan meminta. Tapi bisa jadi dia benar-benar terpaksa<br />melakukannya. Setelah agak lama, kuberanikan bertanya tentang tujuannya.<br/><br />“Rumah Mbak Rina dimana?” Bagaimanapun aku harus segera mengambil keputusan.<br/><br />“Banyuwangi.”<br/><br />“Banyuwangi mana?”<br/><br />“Ana di jalan Bratang nomor 120 Banyuwangi.”<br/><br />“Kalau begitu bareng saja. Saya juga mau ke Jember. Kita kan satu<br />jalur.” Di benakku langsung terbayang aku akan naik bis ekonomi dalam<br />cuaca yang sepanas ini. Tapi tak apalah, kan ada teman ngobrol. “Tapi<br />ana baru berangkat jam 2 nanti karena harus memblokir ATM yang juga<br />kecopetan.<br/><br />“Kan bisa telepon ke kantor pusat layanan sekarang?”<br/><br />“Tapi ana harus menghubungi suami dulu. Suami saya baru pulang kantor sekitar jam 2 siang.” Kilahnya<br/><br />halus. Sebenarnya keraguanku semakin bertambah mendengar alasannya.<br />Atau, jangan-jangan aku yang terlalu paranoid. Ah, sudahlah. Aku<br />semakin kesal dengan diriku sendiri. Kalaupun tertipu aku masih ada<br />uang di tabungan, daripada bersuudhon, padahal dia benar-benar<br />membutuhkan. Otakku sudah capek berpikir lagi.</font><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>Aku juga tak mau tersiksa antara rasa kasihan dan suudhon. “Berapa,<br />ongkos ke Banyuwangi?” Akhirnya kalimat itu muncul dari mulutku.<br />Wajahnya tampak meunjukkkan rasa lega. “Biasanya Rp. 18000.” Segera<br />kusodorkan selembar duapuluh ribuan karena aku harus segera berangkat.<br />Aku tak ingin sampai di Jember maghrib. “Jazakillah, Ukh. Afwan ana<br />ngrepotin.”<br/><br />“Nggak apa-apa, kok Mbak. Saya pergi dulu ya, Mbak. Assalamu’alaikum.”<br />Kutinggalkan bangku menuju tempat pemberangkatan bis diiringi tatapan<br />aneh dari puluhan pasang mata di sekitarku. Masa bodoh dengan mereka.<br />Segera kunaiki bis patas jurusan Jember. Sepanjang perjalanan aku masih<br />memikirkan peristiwa yang baru kualami. Ah, biarlah pasti ada hikmahnya.</font></p><p><font face='georgia' color='#663300'>* * * *<br/><br />“Hati-hati, lho mulai sekarang.” Mbak Atik berkata sambil menghitung sisa Tarbawi di etalase. “Sekarang<br/><br />susah membedakan antara orang yang benar-benar membutuhkan dengan penipu.” Sambungnya.<br/><br />“Iya, lho. Pas aku pulang dari Nganjuk ketemu dengan orang seperti itu.<br />Katanya kesusahan, eh ternyata penipu.” Mbak Ros yang sedang menyapu<br />ikut bicara juga.<br/><br />“Eh, Mbak Ros ketemu di mana?” Sambungku cepat.<br/><br />“Di Bungurasih. Orangnya pake kostum persis akhwat.”<br/><br />“Waduh! Jangan-jangan sama, Mbak.” Selaku cepat teringat kejadian dua hari yang lalu.<br/><br />“Dek, Lilik ketemu juga?” “Iya. Kemarin pas mau ke Jember aku juga<br />ketemu di Surabaya. Katanya sih rumahnya Banyuwangi.” “Eh, rumahnya di<br />Jalan Bratang bukan?” “Iya.”<br/><br />“Eh..eh. Kalian kok memalukan, sih. Masa satu rumah tertipu oleh orang<br />yang sama.” Sambung Mbak Atik geli. “Dia cerita gimana, Dek?” “Katanya<br />kecopetan sewaktu naik bis dari Malang ke Surabaya.”<br/><br />“Kok, sama ya ceritanya.” “Berarti dia tergolong penipu yang nggak kreatif.”<br/><br />“Sebenarnya yang menjadi masalah bukan uangnya. Tapi modus yang dipakai itu bisa merusak citra akhwat.”</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>Aku setuju dengan pendapat Mbak Ros. “Iya-ya. Aku jadi gemes juga.<br />Kayaknya yang menjadi sasaran memang akhwat. Bahasa yang dipakai<br />meyakinkan banget.” “Kira-kira apa yang harus kita lakukan, ya.<br />Kasihan, kan akhwat lain. Maunya membantu eh, malah tertipu.” Mbak Ros<br />tampak berpikir keras, sampai tidak sadar kalau menyapunya salah arah.<br />“Apalagi kalau yang menjadi sasaran orang umum. Benar-benar merusak<br />izzah kita.” “Kalau kita membuat tulisan di koran gimana? Paling tidak<br />memberi tahu agar para akhwat waspada.” Usulku memecah kesunyian.<br/><br />“Bisa juga, sih.” Sambung Mbak Atik. Tapi sesaat kemudian. “Tapi apa nanti orang nggak salah paham?”<br/><br />“Maksud Mbak Atik?” Kuperdekat kursiku ke arah meja.<br/><br />“Takutnya pembaca akan mengira semua akhwat seperti itu. Penipu.”<br/><br />“Benar juga, ya. Trus gimana?” Aku manyun sesaat. “Mbak Ros kasih<br />usulan, dong!” Kulihat Mbak Ros masih serius berpikir. Aku dan Mbak<br />Atik menunggu dengan sabar usulan Mbak Ros.<br/><br />“Cepetan Mbak mikirnya.” Giliran Mbak Atik yang menjadi tidak sabar.<br/><br />“Oh, ya. Aku ingat sekarang.” Wajah Mbak Ros tampak berbinar. Aku dan<br />Mbak Atik menatap penuh harap. “Sekarang aku ada jadwal mengajar.”<br />Lanjutnya tanpa bersalah. Waaa..aaa Mbak Ros jelek. Dikira mencari<br />solusi, eh malah mikir yang lain. Aku dan Mbak langsung memburu Mbak<br />Ros yang lari kebelakang.<br/><br />* * * *<br/><br />Kugeser tasku agar lebih dekat. Siang ini terminal Bungurasih agak<br />sepi, sehingga banyak kursi kosong di ruang tunggu. Aku harus menunggu<br />kakakku yang masih ke toilet. Seorang laki-laki duduk di bangku yang<br />sederet denganku. Aku hanya melihatnya sekilas, selanjutnya aku<br />teruskan membaca novel islam terbaruku. “Assalamu’alaikum.” Sebuah<br />suara menghentikan bacaanku. Reflek mataku menoleh ke sumber suara<br />tadi. Deg!! Jantung serasa berhenti berdetak. Kutatap lekat wajah di<br />depanku. Ia adalah orang yang telah menipu aku dan Mbak Ros. Ternyata<br />aku bertemu lagi dengannya di sini. Sepertinya terminal ini memang<br />menjadi daerah operasinya. Tapi kenapa dia seperti tidak mengenaliku?<br />Apa karena terlalu banyak akhwat yang menjadi korbannya? Atau karena<br />wajahku yang agak berubah akibat cacarku yang belum sembuh?</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>“Wa..alaikum salam.” Kuatur nafasku agar tetap tenang. Otakku segera berpikir keras untuk menyusun<br/><br />strategi dalam menghadapinya. “Duduk, Mbak.” Ajakku ramah. Setelah<br />suasana agak cair, mulailah orang yang sekarang bernama Mia itu<br />bercerita. Persis yang pernah dia ceritakan sebulan lalu. Benar-benar<br />tidak kreatif, pikirku.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>“Afwan.” Sambungku setelah ceritanya selesai. “Mbak lupa dengan<br />saya?” Kutatap wajahnya tajam. “Sebulan yang lalu kita pernah ketemu di<br />sini, kan?” Kulihat ekspresi wajahnya yang langsung berubah pias. “Dan<br />Mbak juga mengarang cerita yang sama. Maskudnya apa?!” Aku semakin<br />mendesaknya karena merasa berada di posisi yang menang. Ia hanya diam<br />membisu. “Dengar, Mbak. Gara-gara perbuatan Mbak, nama jilbab jadi<br />tercemar dan banyak akhwat yang menjadi korban. Kasihan, kan mereka.<br />Belum tentu mereka punya kelebihan uang. Kalau Mbak memang mau menipu<br />nggak usahlah berdandan seperti ini.” Dia hanya menatap sinis mendengar<br />ucapanku. “Dan afwan. Sekarang saya nggak bawa uang karena sedang<br />diantar kakak.”</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>Aku hampir melanjutkan kalimatku ketika terdengar suara yang cukup jelas di telingaku.<br/><br />“Diam!! ..” Nafasku berhenti seketika saat laki-laki yang di sebelahku telah mendekat dengan sebuah<br/><br />pisau kecil di tangan. Aku mendelik karena tidak menyangka kalau Rina<br />atau entah siapa namanya…mempunyai sindikat yang tidak main-main.<br />“Cepat beri yang dia minta,….atau kau ingin pilihan yang lebih buruk<br />lagi, hah ..h!!” “Ee…e. Iya … , iya Pak. Sebentar. Sebenarnya saya<br />tidak membawa….”<br/><br />“Cepat!!” Aduh, aku semakin gugup. Tremorku pun mendadak kambuh. Kakak, kenapa ke toiletnya lama sekali.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>Aku hampir menangis karenanya. Segera kuaduk isi tasku dan kutemukan<br />satu-satunya lembaran lima puluh ribuan di sana. Disambarnya uang<br />tersebut dengan kasar oleh Rina. “Jazakillah, Ukhti.” Ucapnya dengan<br />nada penuh kemenangan. Aku benar-benar marah dan jengkel dibuatnya.<br/><br />Tapi apa dayaku melihat mata laki-laki yang mendelik penuh ancaman<br />terus mengawasi. Aku benar-benar lemas. Dari sela-sela hilir mudik<br />manusia tampak kakakku datang dengan membawa botol minuman.<br />“Kakaaa..kk.!” Jeritku spontan. Yang kupanggil hanya bengong melihat,<br />karena memang Rina dan temannya telah pergi. Uhh… dasar nggak peka!</font></p><br /><font face='georgia' color='#663300'><span id='more-12'/>Sumber:<a href='http://feeds.feedburner.com/co/fvzz'>http://feeds.feedburner.com/co/fvzz</a><br/></font></div>Dunia Sastra Indonesiahttp://www.blogger.com/profile/01135526422163255710noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6246472953027076215.post-63832600986476100542008-06-11T09:31:00.001-07:002008-06-11T09:31:21.561-07:00Tabungan Rossi<div xmlns='http://www.w3.org/1999/xhtml'><p><b>By RetnoWi</b> | May 9, 2008</p><p><font face='georgia' color='#663300'>Cring!<br/><br />Cring!<br/><br />Dua keping uang logam ditelan ayam.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>Rosi mengangkat celengan ayamnya dengan sayang.<br/><br />“Wah, sudah semakin berat. Berarti isinya semakin banyak. Ternyata<br />menabung itu benar-benar menyenangkan. Sebentar lagi aku bisa membeli<br />apa saja yang kuinginkan dengan uangku sendiri.” Rosi tersenyum senang.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>“Rosi! Makan dulu, Nak.” Suara Mama memanggilnya dari ruang makan.<br />Dengan hati-hati Rosi menaruh lagi celengan ayamnya ke meja belajar.<br/><br />Di meja makan Mama dan Papa sudah duduk di kursi. Rosi pun bergegas menuju kursi yang berada di sebelah Mama.<br/><span id='more-15'/><br/><br />“Wah, sepertinya sayurnya seger banget.” Rosi tidak tahan melihat sayur<br />bayam yang tampak segar. Tangannya segera mengambil piring dan<br />menyendok nasi.<br/><br />“Makanya makan yang banyak. Tadi kenapa Mama panggil kok, nggak jawab?” Tanya Mama sambil menaruh nasi ke piring.</font><br /></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>“Tadi Rosi sedang asyik dengan celengan, Ma. Sudah hampir penuh, lo!<br />Paling seminggu lagi bisa di buka.” Rosi bercerita dengan bangga.<br/><br />“Terus uangnya mau diapakan?” Tanya Mama.<br/><br />“Ehm…Rosi pengen beli sepatu. tapi kira-kira cukup nggak, ya?” Rosi tak yakin dengan jumlah uang dalam celengannya.<br/><br />“Nanti kalau kurang, biar Papa yang tambah. Sekalian nanti Papa antar.” Kata Papa.<br/><br />“Wah, benar, Pa? Alhamdulillah, akhirnya aku bisa membeli sepatu dari uangku sendiri.”</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>Keesokan harinya di sekolah, Rosi segera mencari Fitri sahabatnya.<br />Rosi tahu kebiasaan sahabatnya, makanya ia segera menuju perpustakaan.<br />Dan benar, di sana Fitri sedang serius dengan bukunya.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>“Assalamu’alaikum, Fitri.” Sapa Rosi sambil duduk menjajari Fitri.<br/><br />“Wa’alaikum salam.” Jawab Fitri yang masih terus menunduk memandangi bukunya.<br/><br />“Fit, nanti sepulang sekolah anterin aku, ya? Aku pengen lihat-lihat sepatu.”<br/><br />Fitri hanya diam. Rosi pun jadi bingung dibuatnya. Kemudian Rosi<br />memperhatikan wajah Fitri yang masih menunduk. Oh, ternyata Fitri<br />menangis.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>“Fitri, kamu kenapa? Sakit?” Tanya Rosi sambil memegang bahu sahabatnya itu.<br/><br />Fitri tidak menjawab. Ia hanya menggelengkan kepalanya dengan pelan.<br/><br />“Lalu kenapa?”<br/><br />Fitri tetap diam. Menggelengpun tidak. Hanya isaknya yang terdengar agak keras.<br/><br />“Ayolah, Fit. Ceritakan apa yang terjadi. Aku kan sahabatmu.” Bujuk Rosi.<br/><br />Fitri mendongak. Dengan bibir bergetar ia pun bercerita.<br/><br />“Ibuku sakit dan harus dibawa ke dokter. Tapi abangku belum mengirim<br />uang bulan ini.Hari ini sakit ibuku bertambah parah. Aku takut terjadi<br />apa-apa dengan ibu. Hik…hik…hik.”</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>Rosi tertegun. Iba dia melihat keadaan sahabatnya. Ia pun terbayang<br />dengan celengan ayam dan sepatu baru yang ingin dibelinya. Kepala Rosi<br />menunduk, memandangi sepatu yang sedang dipakainya. Sepatunya masih<br />tampak baru. Warnanya masih mengkilat karena setiap hari disemir oleh<br />mamanya.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>Kemudian mata Rosi melirik sepatu milik Fitri. Warnanya telah kusam.<br />Di bagian ujungnya juga mulai koyak. Rosi semakin sedih melihat<br />sahabatnya.<br/><br />“Mungkin aku bisa membantu.” Suara Rosi membuat wajah Fitri yang semula<br />menunduk menjadi tegak. “Aku mempunyai celengan. Insyaallah cukup untuk<br />membawa ibumu ke dokter.”<br/><br />Mata Fitri langsung berbinar. Harapannya untuk bisa membuat ibunya sembuh semakin besar.<br/><br />“Terimakasih Rosi. Engkau memang sangat baik. Aku janji, kalau abangku<br />mengirim uang pasti akan kukembalikan uangmu.” Ucap Fitri tulus.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>* * *<br/><br />Malam minggu tiba. Papa keluar dari kamar dengan baju yang sudah rapi. Hari ini Papa akan memenuhi janjinya pada Rosi.<br/><br />“Rosi kok belum siap? Katanya mau membeli sepatu?” Kata Papa ketika melihat Rosi masih membaca buku di ruang tamu.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>“Ehm… sepertinya nggak jadi, Pa.” Jawab Rosi pelan.<br/><br />“Kenapa nggak jadi? Celenganmu belum penuh?”<br/><br />“Sebenarnya sudah. Tapi uang itu tidak ada sekarang.” Wajah Rosi menunduk dalam-dalam.<br/><br />“Uangmu hilang?” Tanya Papa lagi. Rosi hanya menggeleng.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>“Maaf, Pa. Uang celengan itu saya pinjamkan ke Fitri. Ibunya sakit.<br />Abangnya yang di luar kota belum mengirim uang. Padahal ibunya harus<br />segera dibawa ke dokter. Akhirnya uang Rosi saya berikan. Kata Fitri,<br />kalau abangnya mengirim uanmg, ia akan mengembalikan uang itu. Lagian,<br />sepatu Rosi masih bagus.” Rosi mengakhiri ceritanya.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>Papa duduk disebelah Rosi. Tangannya merangkul bah Rosi dengan erat.<br/><br />“Subhanallah! Papa bangga punya anak seperti Rosi. Karena Rosi bisa<br />membuat keputusan yang baik untuk membantu orang lain dan tidak<br />mementingkan diri sendiri.” Kata Papa sambil tersenyum.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>“Sekarang Rosi segera ganti baju dan ikut keluar bersama Papa.” Lanjut Papa.<br/><br />“Ke mana, Pa?” Tanya Rosi.<br/><br />“Tentu saja ke toko sepatu. Papa akan membelikan sepatu baru untuk<br />Rosi, sebagai hadiah kebaikanmu membantu teman yang kesusahan.” Jawab<br />Papa.<br/><br />“ Benar, Pa? Tanya Rosi tak percaya.<br/><br />“Tentu saja.” Papa mengangguk mantap.</font></p><br /><font face='georgia' color='#663300'>“Terimakasih, Pa. Aku akan segera ganti baju sekarang.”Rosi gembira<br />luar biasa. Ia berjanji dalam hati kalau Firimengembalikan uangnya, ia akan membeli sepatu lagi. Tapi bukan untuknya, melainkan untuk Fitri sahabatnya.<br/><br/><br/>Sumber:<a name='bookmarkify' href='http://feeds.feedburner.com/co/fvzz'>http://feeds.feedburner.com/co/fvzz</a></font></div>Dunia Sastra Indonesiahttp://www.blogger.com/profile/01135526422163255710noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6246472953027076215.post-26337073990211931462008-06-11T09:29:00.001-07:002008-06-11T09:29:25.203-07:00Si Hitam Pemalas<div xmlns='http://www.w3.org/1999/xhtml'><font face='georgia' color='#663300'><b>By RetnoWi</b> | May 6, 2008<br/><br/><br/>Bisa Didownload <a href='http://www.ziddu.com/download.php?uid=aqyfmpmlaq2fm5qtsayZlJyiY66WlZ2t3'>Cerpen Versi Pdf </a><br/></font><br /><div class='postspace2'><br /></div> <br /><br /><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>***<br/><br />Kukuruyuuu…uk!<br/><br />Kukuruyuuu…uk!</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>Si Jago Putih berkokok keras. Suaranya memanjang, menembus butanya<br />pagi yang dingin. Gaungnya memanggil fajar yang sebentar lagi muncul<br />menggantikan gelap. Ini adalah tugasnya sehari-hari sebagai pimpinan<br />kandang. Berkokok menjelang fajar untuk membangunkan semua penghuni.<br />Suasana kandang yang senyap langsung riuh. Beberapa induk ayam mulai<br />membangunkan anak-anaknya.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>Kukuruyuuu….uk!<br/><br />Kukuruyuuu…uk!</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'><span id='more-14'/></font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>“Ayo, Bangun! Bangun!” Si Lurik berkokok, membangunkan anak-anaknya yang pulas terlelap.<br/><br />“Aahh…! Sudah pagi ya?” dengan mata setengah terpejam, anak Si Lurik menguap lebar.<br/><br />“Sebentar lagi fajar akan datang dan cakrawala muncul dari timur. Artinya rejeki kita juga akan datang.”<br/><br />Beberapa anak ayam itu pun menggeliat dan memicingkan mata.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>Kukuruyuuu….uk!<br/><br />Kukuruyuuu….uk!</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>Si Jago Putih berkokok lagi. Kali ini anak-anak si Lurik berdiri.<br/><br />“Ayo cepat. Jangan sampai kita bangun setelah terbit matahari.” Si Lurik berkeliling kandang membangunkan ayam-ayam yang lain.<br/><br />Satu per satu ayam-ayam mulai keluar, meninggalkan kandang yang pengap,<br />menyambut fajar yang belum muncul. Si Lurik memperhatikan semua<br />ayam-ayam yang keluar.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>“Uugh!… Selalu dia telat. Dasar pemalas.” Si Lurik menggerutu ketika<br />melihat sesekor ayam hitam yang masih tenang mendengkur di sudut<br />kandang.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>“Ayo, bangun Hitam. Semua ayam sudah keluar kandang.” Si Hitam tetap pulas. Seolah tak ada siapapun di dekatnya.<br/><br />Dengan sedikit jengkel Si Lurik menarik-narik sayap Si Hitam.<br/><br />“Ayo, Hitam. Subuh sudah lewat. Ayo bangun.”.<br/><br />“Uaa…aghh! Ada apa sih?” Tanya Si Hitam dengan mata masih terpejam.<br/><br />“Hari sudah pagi. Kau bisa kehabisan makanan nanti .”<br/><br />“Aah… malas. Aku masih ngantuk. Lagian aku tidak akan kehabisan<br />makanan. Pak Tani sedang panen, pasti akan menjemur padi-padinya hari<br />ini.” Kembali Si Hitam meletakkan kepalanya ke tumpukan jerami.<br />Zzz….zzz…..zzz…. Si Lurik yang benar-benar sebal langsung keluar<br />meninggalkan Si Hitam yang memang pemalas.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>Di luar kandang kabut masuh tebal. Udara terasa begitu dingin. Tidak seperti pagi-pagi sebelumnya.<br/><br />“Bu, kenapa pagi ini dingin sekali?” Tanya anak Si Lurik.<br/><br />”Iya, kata Ibu kalau Si Putih berkokok, matahari akan muncul. Tapi<br />mana? Sampai sekarang di langit tidak ada matahari?” Tanya anak ayam<br />yang lain.<br/><br />“Kalau Si Putih berkokok artinya fajar sudah menjelang. Kalau ternyata<br />sampai sekarang matahari belum muncul itu bukan karena matahari tidak<br />terbit. Matahari tetap terbit, tapi karena langit mendung, maka<br />cahayanya tidak sampai ke bumi.” Jawab Lurik dengan sabar. “Makanya<br />kalian jangan hanya diam. Kalian berolah raga, agar badan terasa<br />hangat.”</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>Anak-anak ayam itu menurut. Mereka mnarik-narik kakai dan<br />mengepakkan sayap. Ketika melihat seekor belalang melompat segera<br />mereka mengejar. Mereka telah lupa dengan pagi yang dingin dan kabut<br />yang tebal.<br/><br />“Wah, lihat! Itu Pak Tani datang.” Seru seekor anak ayam dengan girang.<br />Bersama ayam-ayam lain ia segera berlari kecil-kecil mengikuti langkah<br />lebar kaki pak Tani.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>“Ayo, semua makan. Jangan rebutan, ya.” Kata Pak Tani pada mereka.<br />Dengan tenang Pak Tani segera menyendokkan campuran bekatul dan air ke<br />dalam belahan tempurung kelapa. Serentak, ayam-ayam itu langsung<br />mengerumuni tempurung kelapa dan mematuki bekatul dengan riang. Setelah<br />semua tempat makanan penuh, Pak Tani kembali masuk ke rumah.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>Sepi. Semua ayam sedang sibuk menikmati makanan pagi itu.<br />Mematuk-matuk bekatul hingga habis. Mereka tak peduli dengan langit<br />yang semakin mendung.<br/><br />“Aahh!…aku benar-benar kenyang.” Kata seekor ayam gendut yang berekor<br />panjang. “Lihat, perutku sudah penuh.” Katanya sambil menonjolkan<br />perutnya yang gemuk dengan lucu.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>“Meskipun tidak makan seminggu, perutmu akan tetap gendut.” Goda ayam yang lain.<br/><br />“Sepertinya sudah gerimis. Ayo semua masuk kandang. Jangan sampai<br />kehujanan. Nanti bisa sakit.” Teriak Si Putih mmemberi komando.<br/><br />“Tapi makananku belum habis.” Kata seekor ayam yang kurus.<br/><br />“Kau ini selalu lambat soal makanan. Di keroyok ayam tetangga baru tahu rasa, lho.” Gerutu Si Gendut saat melintas.<br/><br />“Dasar gendut! Selalu cerewet.”<br/><br />“Sudah-sudah. Gendut, ayo segera masuk. Biar ayam ini menyelesaikan makannya.” Perintah si Putih.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>Ayam-ayam lain segera berjalan menuju kandang. Sementara Si Putih<br />terus mengawasi langit. Berharap hujan tidak turun dengan deras.<br/><br />“Ayo, cepat sedikit makanmu.”<br/><br />“Iya, ini tinggal sedikit.” Dengan sedikit tergesa ayam malang itu<br />menghabiskan makannya. Setelah selesai, ia langsung berlari menuju<br />kandang sambil terbatuk-batuk karena tersedak. Di belakangnya, Si Putih<br />mengikuti.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>Suasana kandang kembali ramai. Ayam-ayam berceloteh dengan gembira.<br />Mereka bercanda dan tertawa. Namun keramaian itu membuat tidur Si Hitam<br />terganggu. Dengan mata sedikit terbuka, ia mencoba menyaksikan apa yang<br />terjadi. Ia masih belum mengerti kenapa ayam-ayam sudah kembali kandang<br />sepagi ini. Biasanya mereka berkeliaran sampai siang.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>“Ada apa, sih? Ribut sekali?”<br/><br />“Wah, Si Hitam sudah bangun rupanya.”<br/><br />“Kenapa kalian sudah kembali ke kandang pagi-pagi begini?” selidik Si<br />Hitam penuh tanya. “mengganggu tidurku biar aku terbangun, ya?!”<br/><br />“Hitam, di luar sedang hujan, makanya kami semua sudah kembali ke kandang.” Jawab Si Putih.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>“Apa? Hujan?” Mata Si hitam membesar seketika. Ia segera berlari<br />melongok keluar kandang. Benar apa yang dikatakan Si Putih! Hujan<br />sedang turun dengan deras. Kepalanya mendongak, dilihatnya langit<br />begitu gelap. Mendung masih tebal, itu tandanya hujan masih lama<br />turunnya. Dengan langkah lemas. Si Hitam kembali ke kandang. Ia mulai<br />menyesal kenapa tidak menuruti ajakan si Lurik untuk bangun pagi. Kalau<br />hujan begini, tidak mungkin Pak Tani menjemur padinya. Perutnya sudah<br />mulai merasa lapar. Ia hanya bisa berdoa agar hujan segera berhenti.<br />Sejak saat itu Si Hitam selalu bangun pagi-pagi. Ia tak ingin kelaparan<br />gara-gara terlambat bangun.</font></p><br /><div class='bookmarkify'><font face='georgia' color='#663300'><a name='bookmarkify'/></font></div><font face='georgia' color='#663300'>Sumber:<a href='http://feeds.feedburner.com/co/fvzz'>http://feeds.feedburner.com/co/fvzz</a><br/></font></div>Dunia Sastra Indonesiahttp://www.blogger.com/profile/01135526422163255710noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6246472953027076215.post-54606629130063701122008-06-11T09:26:00.001-07:002008-06-11T09:26:34.191-07:00Hadiah Kejujuran<div xmlns='http://www.w3.org/1999/xhtml'><font face='georgia' color='#663300'><br/></font><p><font face='georgia' color='#663300'><b>By RetnoWi</b> | May 3, 2008</font></p><p><font face='georgia' color='#663300'>Langsung <a href='http://www.ziddu.com/download.php?uid=brKilJmna66anJSts6yZlJyiZa6WlZ2n5'>download disini<br/></a></font></p><br /><div class='postspace2'><br /></div> <br /><br /><p><font face='georgia' color='#663300'><a onclick='javascript:pageTracker._trackPageview ('/outbound/www.ziddu.com');' href='http://www.ziddu.com/download.php?uid=brKilJmna66anJSts6yZlJyiZa6WlZ2n5'><br/></a></font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>Firman masih terjaga. Ditemani jam weker dan segelas susu hangat<br />yang baru diantar ibunya. Mulutnya komat-kamit menghafal rumus<br />matematika. Kadang matanya terpejam, berharap rumus yang dihafal dapat<br />melekat di otak. Namun rasa kantuk yang kuat, sering mnghapus<br />hafalannya. Harus bisa! Tekadnya dalam hati. Firman tak rela gelar<br />juara pertamanya direbut oleh Andi untuk yang kedua kali. Apalagi<br />ayahnya sudah berjanji akan membelikan sepeda baru kalau ia berhasil<br />merebut kembali juara pertama.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>“Luas kerucut adalah…, adalah… aahhh…! Lupa lagi!” Keluhnya kesal.<br />Matanya kembali melihat buku diktatnya. Memandangnya dengan alis<br />bertaut, bibir terkatup. Menutupnya lagi. Menghafal lagi. Dan… lupa<br />lagi! Matanya hampir tertutup karena kantuk. Tapi Firman belum<br />menyerah. Ia paksa matanya tetap terjaga. Seteguk susu diharapkan mampu<br />menahan kantuk yang sering menyerang tiba-tiba.<br/><br />Ia buka lembar yang lain. Matanya kembali memejam…</font></p><p><font face='georgia' color='#663300'><br />“Luas kubus adalah 6 X sisi X sisi. Luas tabung …, luas tabung …, tuh,<br />kan. Lupa lagi!” Dengusnya sedikit keras. Tangan kanannya dengan malas<br />membuka-buka lagi bukunya. Betapa terkejutnya saat Firman sadar kalau<br />banyak sekali rumus yang belum dihafalnya. Sementara detik demi detik<br />terus berlalu dan hampir menunjuk jam sebelas malam.</font><br /></p><p><font face='georgia' color='#663300'>“Tak ada cara lain.” Desisnya hampir tak terdengar. Tangannya segera<br />menyobek kertas. Kemudian dengan cepat ia menyalin rumus-rumus yang<br />belum dihafalnya. Dengan tulisan yang acak-acakan, akhirnya Firman pun<br />selesai. Segera ia menuju kasur empuknya. Kertas yang berisi rumus pun<br />di bawanya. Hatinya gelisah. Bagaimana kalau besok Bu Guru tahu saat<br />aku nyontek? Tanyanya dalam hati. Tapi kalau nggak nyontek, pasti aku<br />tidak bisa. Tapi kalau nyontek, berarti aku curang. Tapi kalau tidak<br />nyontek aku tidak jadi punya sepeda baru. Tapi…. tapi… Sebelum sempat<br />melanjutkan kegelisahannya, Firman tertidur.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>* * *<br/><br />“Firman.” Suara itu mengagetkan Firman. Tangannya gemetar, tubuhnya berkeringat.<br/><br />“Serahkan kertas itu!” Pinta Bu Guru tegas. Tangannya yang masih<br />gemetar memberikan sesobek kertas yang berisi salinan rumus matematika.<br/><br />“Karena menyontek, semua nilaimu akan dikurangi.” Kata Bu Guru sambil<br />mengambil lembar jawabnnya. Wajahnya menunduk. Lemas. Malu. Semua<br />teman-temannya melihat ke arahnya.<br/><br />“Huu… ternyata Firman pinter karena nyontek! Pantes jadi juara.”<br/><br />“Firman, curang!”<br/><br />“Firman pembohong!”<br/><br />“Juara nyontek!”<br/><br />“Huu…!”</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>Suara teman-temannya mencibir, mengolok dan mencemooh. Firman tidak tahan lagi. Ia pun berdiri.<br/><br />“Aku tidak pernah menyontek! Tidak pernah!” Teriaknya keras-keras.<br/><br />“Firman. Firman. Ayo bangun. Sholat subuh dulu.” Suara Ibu terdengar. Pipinya ditepuk berkali-kali.<br/><br />“Kamu kenapa? Mimpi buruk ya?” Firman tergagap. Tubuhnya masih berkeringat. Mimpinya benar-benar seperti nyata.<br/><br />“Ayo, Ayah sudah menunggu untuk sholat.” “Iya, Bu.” Dengan perasaan<br />yang masih takut Firman pergi meninggalkan kamarnya. Setelah berwudhu,<br />ia bergabung dengan ayah dan ibunya untuk sholat. Setelah sholat,<br />Firman merenungi mimpinya. Ia pandangi kertasnya.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>“Aku tidak boleh melakukannya.” Tekadnya dalam hati. Firman pun<br />melanjutkan belajarnya. Ia tetap berusaha menghafalkan rumus-rumus<br />matmatika. Ia tidak lagi berpikir untuk menyontek. Ia terus komat-kamit<br />dengan mata terpejam. Sesekali matanya membuka untuk memstikan bahwa<br />yang hafalannya benar. Kemudian memejam lagi. Komat-kamit lagi. Sampai<br />ibunya masuk dan mengingatkannya untuk segera mandi dan bersiap-siap<br />sekolah.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>“Ayo, Firman. Nanti telat. Ayah sudah mandi, lho.”<br/><br />Firman bergegas mandi dan bersiap-siap. Dengan sedikit tergesa ia<br />memakai seragamnya. Memakai sepatunya. Menyambar tasnya. Dan berlari<br />menuju halaman di mana ayah telah siap menunggu. Tak lupa ia<br />meremas-remas dan membuang contekannya ke tempat sampah di halaman.<br />Setelah mencium tangan ibunya, ia masuk ke dalam mobil ayah.<br/><br />“Bu, berangkat dulu. Assalamu’alaikum.” Teriaknya sambil berlalu.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>* * *<br/><br />Dua minggu berlalu. Hari ini adalah pembagian rapot. Ayahnya yang<br />mengambil, sedang firman menunggu di rumah dengan persaan was-was. Ia<br />murung. Sejak ayahnya berangkat sampai sekarang Firman belum ingin<br />makan. Ia yakin akan gagal merebut juara pertama lagi. Tapi Firman<br />pasrah. Toh memang Firman memang sering sakit sehingga tidak masuk<br />sekolah. Di lihatnya jam dinding dengan gelisah.Entah mengapa ia merasa<br />jarum jam itu jadi lambat jalannya. Dengan malas, ia pun melanjutkan<br />membaca buku ceritanya.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>“Assalamu’alaikum,” Suara ayah terdengar dari depan bersama mobilnya.<br/><br />“Wa’alikum salam.” Firman melonjak, menaruh buku ceritanya dan berlari ke halaman.<br/><br />Ayah berjalan sambil membawa rapot di tangan kanan. Jantung Firman semakin deg-degan. Ia remas-remas tangannya.<br/><br />“Bagaimana, Ayah?” Tanya Firman cemas. Ayah diam. Firman semakin yakin,<br />kalau ayah marah. Ia pun menunduk, tak berrani menatap wajah ayahnya.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>“Sini, Firman. Lihat rapotmu.” ajaak ayah yang telah duduk di teras.<br />Firman mendekat, dan duduk di sebelahnya. Matanya melihat halaman yang<br />ditunjukkan ayah. Ia menelan ludah saat mengetahui kalau ia hanya<br />mendapat peringkat dua.<br/><br />“Kamu kecewa?” Tanya ayah.<br/><br />“Iya, Yah.”<br/><br />“Kenapa?”<br/><br />“Karena aku hanya peringkat dua.”<br/><br />“Tapi Ayah tidak kecewa. Ayah bangga.” Firman kaget. Ia tak mengerti<br />kenapa Ayah bisa bangga padanya. Padahal ia gagal merebut juara pertama.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>“Kamu ingin tahu kenapa Ayah bangga?” Firman mengangguk.<br/><br />“Karena anak Ayah jujur, itu yang membuat bangga.” Kening Firman berkerut tak mengerti.<br/><br />“Saat hari terakhir ujian, Firman berniat menyontek, kan?” Firman pun<br />teringat dengan salinan rumus yang dibuatnya. Denga malu-malu Firman<br />mengangguk. “Kertas contekan yang kamu buang ditemukan Ibu.” “Ini, kan<br />kertasnya?” Tiba-tiba Ibu datang dengan membawa kertas yang sudah lecek<br />bekas diremas-remas. “Ibu menemukan di tempat sampah.” Lanjut Ibunya.<br/><br />“Karena Firman jujur, Ayah punya hadiah untuk Firman.” Kata Ibu.<br/><br />“Benar, Yah?” Tanya Firman dengan mata berbinar gembira.<br/><br />“Tentu saja. Ayo ikut Ayah.” Firman mengikuti langkah Ayah menuju mobil.<br/><br />Tangan Ayah membuka pintu tengah mobil. “Wah, sepeda baru! Aku punya<br />sepeda baru! Terimaksih, Ayah.” “Ini hadiah kejujuran untuk Firman.”<br/><br />Firman tidak jadi menyesal karena gagal menjadi juara pertama. Ia<br />gembira karena kejujurannya membawa berkah. Ia berjanji tidak akan<br />menyontek selamanya.</font></p><br /><font face='georgia' color='#663300'><a name='bookmarkify'/><span id='more-7'/>Sumber:<a href='http://feeds.feedburner.com/co/fvzz'>http://feeds.feedburner.com/co/fvzz</a><br/></font></div>Dunia Sastra Indonesiahttp://www.blogger.com/profile/01135526422163255710noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6246472953027076215.post-60975270456303885392008-06-11T09:24:00.001-07:002008-06-11T09:24:09.823-07:00Selembar Uang 5000<div xmlns='http://www.w3.org/1999/xhtml'><font face='georgia' color='#663300'><b>By RetnoWi</b> | May 4, 2008<br/><br/>Mo ambil nieh <a href='http://www.ziddu.com/download.php?uid=b6%2BfmpStaqyimJmlt6yZlJyiaa%2BWlJin9'>cerpenya</a><br/><br/>***</font><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>Anak dalam gendongan Sri belum diam. Semakin Sri berusaha<br />menenangkannya, tangis anak itu semakin pecah. Sri mulai kuwalahan<br />untuk membujuknya.<br/><br />“Cup-cup, Nak. Sebentar lagi Bapak datang.” Bujuk Sri sambil menimang-nimang dalam gendongan.<br/><br />“Mungkin dia lapar, Sri.”<br/><br />“Mungkin iya, Mbak.”<br/><br />“Tadi anakmu sudah makan belum ?”<br/><br />“Belum.”<br/><br />“Kalau begitu cepat kasih dia makan.”<br/><br />Sri tersenyum. Menelan ludah yang terasa kian hambar di lidah yang<br />sejak kemarin belum kemasukan makanan. Tawar dan getir adalah hiasan<br />hidupnya.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'><span id='more-8'/></font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>“Kok malah senyam-senyum. Wong anak sedang rewel kok dibiarkan.”<br/><br />“Anu, Mbak. Saya belum masak hari ini.” Jawab Sri dengan suara tercekat.<br/><br />Kening Wati berlipat seketika. Matanya menatap jam dinding yang sedang bergerak menunju angka sepuluh.<br/><br />“Sampai siang begini belum masak? Kenapa?”<br/><br />“Ehm… “ Sri agak canggug meneruskan kalimatnya. “Beras kami habis.”<br/><br />Wati mulai menangkap permasalahan Sri, yang sudah dianggapnya sebagai adik sendiri. Nasibnya<br/><br />dengan Sri tidak jauh berbeda. Hanya saja Wati belum dikaruniai anak meskipun telah menikah hampir lima<br/><br />tahun.<br/><br />“Kalau habis, kenapa tidak beli Sri?” Pancing Wati.<br/><br />“Sebenarnya pengen beli, Mbak. Tapi… kami sedang tidak punya uang.” Wajah Sri menunduk,<br/><br />menyembunyikan rasa sedih yang telah menjadi teman dalam kesehariannya. Sri tahu, tak ada gunanya<br/><br />berpura-pura di depan Wati. Wanita itu tahu persis bagaimana kehidupannya. Hanya saja Sri tidak enak<br/><br />hati kalau dengan keterusterangannya membuat Wati iba dan ikut bingung mencari jalan keluarnya.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>Bagaimanapun Sri juga menyadari kalau nasib Wati juga tidak lebih baik darinya. Mereka sama-sama<br/><br />perantau dari kampung yang ingin merubah nasib di kota seperti Surabaya. Hanya saja rumah petak mereka<br/><br />letaknya agak berjauhan.<br/><br />“Kami menunggu Bapaknya Dian pulang.” Ucapnya lirih. Tangan kusamnya mengelus kening Dian, anak<br/><br />semata wayangnya yang telah tenang. Sebenarnya Sri tak yakin dengan<br />ucapannya. Pekerjaan suaminya yang hanya penarik becak tidak bisa<br />diharapkan setiap saat. Padahal tiap hari mereka harus memberi setoran<br/><br />kepada juragan becak. Sejak kemarin ia dan suaminya belum makan. Hanya minum air putih yang diberi<br/><br />sedikit gula. Segenggam beras yang tersisa dia buat bubur untuk anaknya. Dan hari ini Sri benar-benar<br/><br />tidak memliki apa-apa. Hanya beberapa sendok gula di toples. Sri dan suaminya memilih mengalah. Air<br/><br />gula yang ada mereka berikan untuk Dian.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>“Sri.” Sapa Wati lembut. “Kamu tidak biasa hutang?”<br/><br />Sri menggeleng lemah. Ia begitu memegang erat wejangan suaminya agar tidak membiasakan<br/><br />berhutang. Hutang hanyalah jerat yang bisa mencekik setiap saat. Apalagi tak ada yang bisa dijadikan<br/><br />jaminan untuk membayar jika si peminjam suatu saat datang menagih. Itulah prinsip yang ditekankan<br/><br />suaminya.<br/><br />Wati trenyuh. Perasaan iba muncul tanpa bisa dicegahnya. Apalagi saat matanya menatap Dian yang<br/><br />telah pulas dalam gendongan Sri. Dian begitu pucat. Wajahnya tirus dengan perut yang agak membuncit.<br/><br />Kulitnya bersisik kasar karena kurang vitamin. Tanda-tanda kekurangan gizi tampak jelas di tubuhnya.<br/><br />Hening. Semua tenggelam dalam angan masing-masing.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>“Aku ada uang lima ribu.” Wati menyodorkan selembar lima ribuan kepada Sri. “Pakailah.”<br/><br />Sri terkejut. Ia pandangi wajah Wati dan uang yang berada di tangannya bergantian. Ia yakin<br/><br />tetangganya dari kampug itu juga sedang membutuhkan uang. Suami Wati baru saja sakit. Pasti belum bisa<br/><br />menarik becak seperti suaminya. Apalagi saat ia teringat dengan pesan suaminya.<br/><br />“Jangan, Mbak. Pasti Mbak Wati juga membutuhkannya. Insyaalah saya masih bisa bertahan sampai<br/><br />bapaknya Dian pulang.”<br/><br />“Aku percaya kalian masih bisa bertahan. Tapi bagaimana dengan Dian? Dia sudah begitu kurus. Dia<br/><br />bisa sakit Sri. Kalau sampai itu terjadi pasti biayanya akan lebih mahal. Aku yakin kamu juga tidak tahu kapan suamimu pulang.”<br/><br />Sri mendesah. ibu mana yang tega anaknya sampai kekurangan gizi. Ia pun sebenarnya iba melihat<br/><br />nasib Dian. Ditatapnya wajah Dian yang begitu tenang. Sebutir cairan bening mengumpul memenuhi sudut-sudut matanya.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>“Tapi kalau uang ini aku pinjam, bagaimana dengan Mbak Wati?”<br/><br />“Tenang Sri. Aku biasa pinjam ke warung dekat rumah. Mas Darmin juga sudah sembuh. Insyaalah<br/><br />besok sudah bisa narik lagi.” Jawaban Wati tidak membuat Sri lega. Tapi Sri benar-benar tidak punya<br/><br />pilihan saat itu.<br/><br />“Terimaksih, Mbak. Nanti kalau bapaknya Dian dapat uang pasti segera kukembalikan.”<br/><br />“Ya sudah, cepet belanja. Aku pamit dulu. Nanti Mas Darmin bingung kalau aku tidak segera<br/><br />pulang.”<br/><br />“Iya, iya Mbak. Sekali lagi terimaksih, Mbak.”</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>* * *<br/><br />Derit roda sayup terdengar. Roda yang selalu berputar meyusuri setiap jengkal jalan hidupnya.<br/><br />Setiap deritnya selalu meberikan harapan bagi Sri dan Yanto. Harapan<br />itulah yang membuat mereka sanggup bertahan hidup. Ia yakin nasibnya<br />berjalan seperti roda. Kadang dibawah, namun suatu saat roda itu pasti<br/><br />akan bergerak ke atas. Meskipun putaran roda kehidupan itu dirasanya berjalan sangat lambat untuk bisa<br/><br />mencapai puncak.. Tapi roda itu tidak boleh berhenti. Harapan dan impian telah membuat roda itu tetap<br/><br />berputar. Bergerak. Menggelinding. Meski perlahan.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>“Assalamualaikum.” Suara yang begitu dikenal muncul dari arah pintu triplek.<br/><br />“Wa’alikum salam.” Sri segera menyambut dan mencium tangan si empunya suara.<br/><br />Sri menatap wajah suaminya dengan mata berbinar. Yanto dibuat tak enak hati karenanya. Wajahnya<br/><br />pias melihat tatapan isrtinya.<br/><br />“Maafkan aku, ya.” Suara Yanto tedengar berat. “Ternyata hari ini pun aku gagal mendapatkan uang<br/><br />lima ribu yang kujanjikan pagi tadi.” Wajahnya menunduk, takut melihat reaksi istri tercintanya.<br/><br />Sri tak kaget. Ia sudah menduganya. Tangannya menggandeng tangan suaminya menuju ruang tengah<br/><br />yang berfungsi sebagai tempat makan sekaligus ruang tidur.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>“Mas yanto pasti capek dan lapar. Sekarang, Mas makan dulu.” Ajak Sri lembut sambil membuka<br/><br />tudung nasi..<br/><br />Yanto terlonjak. Ia tak percaya melihat hidangan istimewa di depannya. Sebakul nasi putih yang<br/><br />megepul hangat, semangkuk sayur bayam dan beberapa potong tempe telah tersaji rapi di atas meja kayu<br/><br />yang kakinya telah lapuk.<br/><br />“Dari mana semua makanan ini, Sri?” Tanya yanto dengan suara gagap.<br/><br />“Sudahlah, Mas Yanto makan dulu. Dari kemarin sampeyan belum makan. Kalau sampe Mas Yanto sakit,<br/><br />kita semua akan semakin repot.” Tangan Sri telah menyendok nasi ke piring untuk Yanto. Dengan cekatan,<br/><br />Sri menambahkan sepotong tempe dan sesendok sayur di atasnya.<br/><br />“Tapi semua ini dari mana, Sri?” Tanya Yanto sekali lagi.<br/><br />“Saya akan cerita kalau Mas Yanto mau makan.”<br/><br />Yanto menurut. Dengan ragu tangannya menyendok nasi dari piring. Setelah yakin suaminya<br/><br />menikmati makanannya, barulah Sri bercerita.<br/><br />“Mas, tadi Mbak Wati sepulang mencuci dari Bu Handoyo mampir.” Sri diam sejenak. Melihat reaksi<br/><br />suaminya. Kemudian mengalirlah kisah hidupnya sepagi tadi sampai<br />akhirnya semua hidangan istimewa dapat tersaji di meja makan mereka.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>Uhuk!Uhuk!<br/><br />Yanto tersedak. Buru-buru Sri menuangkan air putih ke gelas plastik yang di dekatnya.<br/><br />“Pelan, Mas. Nggak usah buru-buru.”<br/><br />Yanto diam. Menatap wajah istrinya dalam-dalam. Begitu banyak kalimat yang ingin ia ucapkan<br/><br />kepada istrinya. Tapi mulutnya tetap terkunci. Ia tidak pernah tega menyakiti wanita yang begitu rela<br/><br />menemaninya hidup menderita. Tapi Yanto sangat gusar mengingat kejadian<br />yang dialaminya sebelum pulang ke rumah. Rasa nikmat yang baru<br />didapatnya lenyap seketika. Menu istimewa yang ada di depannya tidak<br />lagi menggoda selera makannya. Hambar. Itulah yang dirasakan lidahnya<br />saat ini.<br/><br />“Kenapa kamu mau menerima uang dari Mbak Wati?” Jelas terdengar suara Yanto begitu berat.<br/><br />“Sebenarnya sudah kutolak, Mas. Tapi Mbak Wati memaksa. Ia tidak tega melihat Dian, anak kita.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>Aku juga tidak tega kalau sampai Dian jatuh sakit karena tidak makan apa-apa. Pasti nanti kita akan<br/><br />butuh uang lebih banyak untuk mengobati Dian. Akhirnya aku pun menerima<br />uang lima ribu itu. Maafkan aku, Mas. Aku tahu Mas tidak suka hutang.<br />Tapi kita sedang tidak punya pilihan.” Ada rasa bersalah dalam nada<br />bicara Sri. Wajahnya menunduk. Ia pun tidak berselera untuk melanjutkan<br />sarapan yang sekaligus juga<br/><br />makan siang.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>“Sri, sebelum pulang aku tadi mampir menjenguk Mas Darmin.Tak kulihat makanan di rumahnya. Ia<br/><br />sedang menunggu Mbak Wati yang meminjam uang pada Bu Handoyo setelah<br />mencuci.” Yanto diam sejenak. Mengatur nafas yang semakin tidak<br />teratur. “Aku semakin tidak tega saat melihat Mbak Wati diomeli pemilik<br />warung ketika akan berhutang lagi. Apa kamu tega makan semua ini, Sri?”<br />Yanto berdiri. Tangannya<br/><br />menyambar topi lusuh yang tergeletak di kursi.</font></p><br /><p><font face='georgia' color='#663300'>“Mas Yanto mau kemana?”<br/><br />“Keluar. Mencari uang untuk mengganti uang Mbak Wati.” Yanto melangkah tanpa menoleh ke<br/><br />belakang.<br/><br />Sri terpaku. Memandangi punggung suaminya yang basah oleh keringat. Ada perih di hatinya. Ada<br/><br />rasa bersalah yang begitu desak-mendesak dadanya. Sebutir bening telah menggantung di kedua sudut<br/><br />matanya.<br/><br />Ia segera bergegas membungkus semua makannnya. Tak ada cara lain. Ia harus mengantarkan makanan<br/><br />itu untuk Wati.<br/><br />“Mbak Wati, maafkan aku.” Ucap Sri hampir tak terdengar.</font></p><br /><div class='bookmarkify'><font face='georgia' color='#663300'><a name='bookmarkify'/></font></div><font face='georgia' color='#663300'>kalau suka bisa diambil lo <a href='http://www.ziddu.com/download.php?uid=b6%2BfmpStaqyimJmlt6yZlJyiaa%2BWlJin9'>cerpenya disini</a><br/><br/><br/>Sumber:<a href='http://feeds.feedburner.com/co/fvzz'>http://feeds.feedburner.com/co/fvzz</a><br/></font></div>Dunia Sastra Indonesiahttp://www.blogger.com/profile/01135526422163255710noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6246472953027076215.post-43147518193012501582008-06-06T02:27:00.001-07:002008-06-06T19:29:40.016-07:00Download Novel dan E book<div xmlns='http://www.w3.org/1999/xhtml'><font face='Courier New'><br/><br/><br/><br/><br/></font><div align='center'><font color='#663333'><big><font face='Comic Sans MS'>Ilmu datang tidak karena suatu kebetulan , yang tiba tiba datang dengan sendirinya. Yang kita hanya menunggunya , terus nanti kita akan di hampirinya. Itu adalah pikiran orang yang yang hidupnya dalam berada dalam angan - angan. dia tidak tau kalau sebenarnya yang mereka cari sudah ada di depanya tapi mereka tak mengetahuinya. Tinggal melakukan sebuah langkah yang nantinya membuat kebaikan pada dirinya dari pada hidup diangan - angan tampa kepastian. Sebenarnya tak ada ungkapan "Bagai Punguk Merindukan Rembulan" karena sebenarnya semua yang nyata dapat didapatkan bahkan ada di depan kita cuma kita saja yang menutup mata. Dan lebih parahnya kita enggan untuk membuka mata itu.<br/><br/></font><font face='Comic Sans MS'>Para sastrawan baik dari pelosok penjuru dunia baik dari taun sebelum masehi atau sastrawan pada masa kita masih bisa bernafas atau bahkan pada masa buyut keturunan kita tak lepas dari mengorek - orekan ilmu. Sama dengan kita , mereka dulunya adalah orang yang nol tak tau apa - apa. Tapi dengan kesungguhan mereka dan semangat yang membakar dirinya dia berhasil menjadi seorang yang tidak dianggap remeh dimassanya.<br/><br/></font><font face='Comic Sans MS'>Banyak diantara mereka yang saling bertukar karya satu sama lain. Sama sama ikut merasakan bak saling tukar makanan yang telah mereka buat untuk berbagi rasa sesama mereka. <br/></font><font face='Comic Sans MS'>karena mereka tau bahwa dengan begini mereka akan menjadi lebih merasa mendapat sebuah barang yang tak ternilai harganya.<br/><br/></font><font face='Comic Sans MS'>Sebenarnya pembelajaran mereka untuk menghapus angka nol (baca :Tak tau apa -apa)tentang sesuatu tentunya sastra adalah hanya dengan keseringan membaca karya - karya sastra yan menurut mereka denganya akan sangat membantu bagi pengalaman sastra mereka.<br/><br/></font><font face='Comic Sans MS'>Mulai hari ini detik ini kita mulai menjalankan kali kita dengan mantap di dunia perasaan , nurani dalam kesastraan. <br/></font></big></font><font face='Courier New'><font color='#663333'><big><font face='Comic Sans MS'>kita mulai membaca karya karya mereka yang telah hadir di depan kita.</font><br/></big></font><br/><br/><br/></font></div><font face='Courier New'><br/><font color='#cc0000'><big><font face='Monotype Corsiva'>*Langit Kresna Hariadi - Candi Murca <br/>*Jakarta Under Cover I ,II ,III - </font></big></font></font><font color='#cc0000'><big><font face='Monotype Corsiva'>Muammar Emmca</font><font face='Monotype Corsiva'><br/>*Setelah kau menikahiku </font><font face='Monotype Corsiva'><br/>*Satu Kata Maaf dari ku - Rudi Raharj<br/>*La Tahzan(jangan Bersedih)_Aid-Qarni<br/>*Edensor_Adrea Hirata<br/>*Laskar Pelangi_Adrea Hirata<br/>*Sang Pemimpi_Adrea Hirata<br/>*Api Bukit Menoreh<br/>*Lintang Kemukus Dini Hari<br/>*Ronggeng Dukuh Paruk<br/>*Dan Brown_deception point (Titik Muslihat(indonesia))<br/></font><font face='Monotype Corsiva'>*Episode petir_</font><font face='Monotype Corsiva'>Dee supernova-<br/>*Simulakrum cinta_Dessy Yasmita <br/>*Musahi(Indonesia)_Eiji Yoshikawa<br/>*Ayat - Ayat Cinta_Habbiburrahman El Shirazy<br/>*Dalam Mihrab Cinta_Habbiburrahman El Shirazy<br/>*Mahkota Cinta_Habbiburrahman El Shirazy<br/>*Pudarnya Pesona Cleopatra_Habbiburrahman El Shirazy<br/>*Harry Potter(indonesia)<br/>*Hingga Batu Bicara_Helvy Tiana Rosa<br/>*IPDN Undercover_Inu Kencana Safiie<br/>*Kisah 47 Ronin - Jaohn Allyn<br/>*Kumpulan Cerpen Isbedy Stiawan<br/>*Laki - Laki Sejati_Putu Wijaya<br/>*Tersipu Merah<br/></font><font face='Monotype Corsiva'>*The Lord of The Ring 1 Sembilan Pembawa Cincin<br/></font></big></font><font face='Courier New'><font color='#cc0000'><big><font face='Monotype Corsiva'>*The Lord of The Ring 2 Dua Menara<br/>*The Lord of The Ring 3 Kembalinya Sang Raja<br/>*The secret(indonesia)</font></big></font><br/><br/><big><big><font face='Times New Roman'><big><a target='_blank' href='http://www.box.net/shared/k15mlg7sws#2:12600455'>Download Disini</a><br/></big></font></big></big><br/></font></div>Dunia Sastra Indonesiahttp://www.blogger.com/profile/01135526422163255710noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6246472953027076215.post-1464241079786440922008-06-04T07:41:00.001-07:002008-06-04T07:58:40.182-07:00Tokoh Tokoh karya Sastra dan Karyanya Bagian II<div xmlns='http://www.w3.org/1999/xhtml'><font face='georgia'><br/></font><div align='justify'><br/></div><div align='left'><font face='georgia' color='#663333'><big><big><b><small>Tokoh Tokoh Karya Sastra</small> </b></big></big></font><font color='#663333'><br/></font></div><div align='justify'><font color='#663333'><br/></font></div><div align='center'><font face='georgia' color='#663333'><big><big><b><br/><br/><br/><br/><br/><small><small>Hakikat hidup adalah keberanian<br/><br/>keberanianlah yang menuntun kita agar tetap hidup<br/><br/>hidup tampa keberanian <br/><br/>bagaikan mahluk yang terlunta - lunta <br/><br/>tak ada upaya karena tak ada daya <br/><br/>hingga maut pun menghampirinya<br/></small><br/></small><br/><br/></b></big></big></font></div><div align='justify'><font color='#663333'><br/></font><br/><font face='georgia'><big><big><b>Asmarani Rosalba</b></big></big></font><br/><br/><br/><font face='georgia'><big><big><b><img style='max-width: 800px;' src='http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/b/b4/Asma_Nadia.JPG/150px-Asma_Nadia.JPG'/></b></big></big></font><br/><br/><font face='georgia'>Asmarani Rosalba adalah seorang sastrawan yang lahir di Jakarta tahun 1972</font><br/><font face='georgia'>dalam keterjunanya di dunia sastra ia berhasil menmbuat buah karya yaitu:</font><br/><br/><font face='georgia'><b>Buku</b></font><br/><font face='georgia'> * Derai Sunyi, novel, mendapat penghargaan Majelis Sastra Asia Tenggara (MASTERA)</font><br/><font face='georgia'> * Preh (A Waiting), naskah drama dua bahasa, diterbitkan oleh Dewan Kesenian Jakarta</font><br/><font face='georgia'> * Cinta Tak Pernah Menar, kumpulan cerpen, meraih Pena Award</font><br/><font face='georgia'> * Rembulan di Mata Ibu (2001), novel, memenangkan penghargaan Adikarya IKAPI sebagai buku remaja terbaik nasional</font><br/><font face='georgia'> * Dialog Dua Layar, memenangkan penghargaan Adikarya IKAPI, 2002</font><br/><font face='georgia'> * 101 Dating meraih penghargaan Adikarya IKAPI, 2005</font><br/><font face='georgia'> * Jangan Jadi Muslimah Nyebelin!, nonfiksi, best seller.</font><br/><font face='georgia'> </font><br/><font face='georgia'>Hubungan baik dengan teman sedunianya sering kali membuatnya lebih dekat sehinga dalam </font><br/><font face='georgia'><b>karya -</b> <b>karyanya dia juga berkolaborasi dengan sastrawan lain</b> yaitu:</font><br/><br/><font face='georgia'> * Ketika Penulis Jatuh Cinta, Penerbit Lingkar Pena, 2005</font><br/><font face='georgia'> * Kisah Kasih dari Negeri Pengantin, Penerbit Lingkar Pena, 2005</font><br/><font face='georgia'> * Jilbab Pertamaku, Penerbit Lingkar Pena, 2005</font><br/><font face='georgia'> * Miss Right Where R U? Suka Duka dan Tips Jadi Jomblo Beriman, Penerbit Lingkar Pena, 2005</font><br/><font face='georgia'> * Jatuh Bangun Cintaku, Penerbit Lingkar Pena, 2005</font><br/><font face='georgia'> * Gara-gara Jilbabku, Penerbit Lingkar Pena, 2006</font><br/><font face='georgia'> * Galz Please Don’t Cry, Penerbit Lingkar Pena, 2006</font><br/><font face='georgia'> * The Real Dezperate Housewives, Penerbit Lingkar Pena, 2006</font><br/><font face='georgia'> * Ketika Aa Menikah Lagi, Penerbit Lingkar Pena, 2007</font><br/><font face='georgia'> * Karenamu Aku Cemburu, Penerbit Lingkar Pena, 2007</font><br/><font face='georgia'> * Catatan Hati di Setiap Sujudku, Penerbit Lingkar Pena, 2007.</font><br/><font face='georgia'> * Badman: Bidin</font><br/><font face='georgia'> * Suparman Pulang Kampung</font><br/><font face='georgia'> * Pura-Pura Ninja</font><br/><font face='georgia'> * Catatan Hati di Setiap Sujudku (kumpulan tulisan dari mailing list).</font><br/><br/><br/><font face='georgia'><big><big><b>Arifin Chairin Noer</b></big></big></font><br/><br/><br/><font face='georgia'>Arifin Chairin Noer sastrawan indonesia yang lahir 10 Maret 1941 - 28 Mei 1995</font><br/><font face='georgia'>dalam karyanya ia lebih banyak terjun dalam dunia perfilman tentunya menjadi sutradara film. </font><br/><br/><font face='georgia'> Film yang di sutradarainya</font><br/><br/><font face='georgia'> * Melawan Badai 1974</font><br/><font face='georgia'> * Taksi 1990</font><br/><font face='georgia'> * Petualang petualang 1978</font><br/><font face='georgia'> * Pengkhianatan G.30.S/PKI 1984</font><br/><font face='georgia'> * Biarkan Bulan Itu 1986</font><br/><font face='georgia'> * Djakarta 1966 1982</font><br/><font face='georgia'> * Pengkhianatan G-30-S P.K.I. 1982</font><br/><font face='georgia'> * Rio Anaku 1973</font><br/><font face='georgia'> * Bibir Mer 1991</font><br/><font face='georgia'> * Suci Sang Primadona 1977</font><br/><font face='georgia'> * Tasi oh Tasi 1992</font><br/><font face='georgia'> * Cas Cis Cus 1989</font><br/><font face='georgia'> * Harmonikaku 1979</font><br/><font face='georgia'> * Serangan Fajar 1981</font><br/><font face='georgia'> * Matahari Matahari 1985</font><br/><font face='georgia'> * Yuyun Pasien Rumah Sakit Jiwa 1979</font><br/><font face='georgia'> * Ari Setya Ardhi (Jakarta, 31 Mei 1967–Jambi, 17 Februari 2006)</font><br/><font face='georgia'> * buku puisi, di antaranya Kelabu I-II (1986-1987), <br/> * Sajak Matahari (1991), <br/> * Etude (1993), <br/> * Opus (1996), <br/> * Metro (1998) <br/> * Tembang Antar Benua (Manuskrip, 1998). </font><br/><br/><font face='georgia'>Ada karyanya yang berbentuk buku cerita yang umumya ia buat dengan penyair lain meliputi:</font><br/><br/><font face='georgia'>* Dari Hutan Bakau, </font><br/><font face='georgia'>* Batu Beramal I</font><br/><font face='georgia'>* Dari Negeri Poci 3,</font><br/><font face='georgia'>* Mimbar Penyair Abad 21 </font><br/><font face='georgia'>* Zamrud Khatulistiwa</font><br/><br/><br/><font face='georgia'><big><big><b>Arswendo Atmowiloto</b></big></big></font><br/><br/><br/><font face='georgia'><big><big><b><img style='max-width: 800px;' src='http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/f/fc/Aswendo.jpg'/></b></big></big></font><br/><br/><br/><font face='georgia'>Arswendo Atmowiloto seorang sastrawan yang lahir Solo, Jawa Tengah, 26 November 1948dan sebenarnya mempunyai nama asli Sarwendo</font><br/><br/><font face='georgia'><b>Dalam dunia tulis - menulis banyak buku yang merupakan hasil karyanya yaitu:</b></font><br/><br/><font face='georgia'> 1. Abal-abal (1994)</font><br/><font face='georgia'> 2. Airlangga (1985)</font><br/><font face='georgia'> 3. Akar Asap Neraka (1986)</font><br/><font face='georgia'> 4. Anak Ratapan Insan (1985)</font><br/><font face='georgia'> 5. Auk (1994)</font><br/><font face='georgia'> 6. Bayiku yang Pertama: Sandiwara Komedi dalam 3 Babak (1974)</font><br/><font face='georgia'> 7. Berserah itu Indah: kesaksian pribadi (1994)</font><br/><font face='georgia'> 8. Canting: sebuah roman keluarga (1986)</font><br/><font face='georgia'> 9. Darah Nelayan (2001)</font><br/><font face='georgia'> 10. Dewa Mabuk (2001)</font><br/><font face='georgia'> 11. Dua Ibu (1981)</font><br/><font face='georgia'> 12. Dukun Tanpa Kemenyan (1986)</font><br/><font face='georgia'> 13. Dusun Tantangan (2002)</font><br/><font face='georgia'> 14. Fotobiografi Djoenaedi Joesoef: Senyum, Sederhana, Sukses (2005)</font><br/><font face='georgia'> 15. Garem Koki (1986)</font><br/><font face='georgia'> 16. Imung</font><br/><font face='georgia'> 17. Indonesia from the Air (1986)</font><br/><font face='georgia'> 18. Kadir (2001)</font><br/><font face='georgia'> 19. Keluarga Bahagia (2001)</font><br/><font face='georgia'> 20. Keluarga Cemara 1</font><br/><font face='georgia'> 21. Keluarga Cemara 2 (2001)</font><br/><font face='georgia'> 22. Keluarga Cemara 3 (2001)</font><br/><font face='georgia'> 23. Khotbah di Penjara (1994)</font><br/><font face='georgia'> 24. Kiki</font><br/><font face='georgia'> 25. Kisah Para Ratib (1996)</font><br/><font face='georgia'> 26. Lukisan Setangkai Mawar: 17 cerita pendek pengarang Aksara (1986)</font><br/><font face='georgia'> 27. Mencari Ayah Ibu (2002)</font><br/><font face='georgia'> 28. Mengapa Bibi Tak ke Dokter? (2002)</font><br/><font face='georgia'> 29. Mengarang Itu Gampang</font><br/><font face='georgia'> 30. Menghitung Hari (1993)</font><br/><font face='georgia'> 31. Oskep (1994)</font><br/><font face='georgia'> 32. Pacar Ketinggalan Kereta (skenario dari novel "Kawinnya Juminten" (1985)</font><br/><font face='georgia'> 33. Pengkhianatan G30S/PKI (1986)</font><br/><font face='georgia'> 34. Pesta Jangkrik (2001)</font><br/><font face='georgia'> 35. Projo &amp; Brojo (1994)</font><br/><font face='georgia'> 36. Saat-saat Kau Berbaring di Dadaku (1980)</font><br/><font face='georgia'> 37. Sang Pangeran (1975)</font><br/><font face='georgia'> 38. Sang Pemahat (1976)</font><br/><font face='georgia'> 39. Sebutir Mangga di Halaman Gereja: Paduan Puisi (1994)</font><br/><font face='georgia'> 40. Senja yang Paling Tidak Menarik (2001)</font><br/><font face='georgia'> 41. Senopati Pamungkas (1986/2003)</font><br/><font face='georgia'> 42. Serangan Fajar: diangkat dari film yang memenangkan 6 piala Citra pada Festival Film Indonesia (1982)</font><br/><font face='georgia'> 43. Sudesi: Sukses dengan Satu Istri (1994)</font><br/><font face='georgia'> 44. Suksma Sejati (1994)</font><br/><font face='georgia'> 45. Surkumur, Mudukur dan Plekenyun (1995)</font><br/><font face='georgia'> 46. Telaah tentang Televisi (1986)</font><br/><font face='georgia'> 47. Tembang Tanah Air (1989)</font><br/><font face='georgia'> 48. The Circus (1977)</font><br/><br/><br/><font face='georgia'><big><big><b>Armijn Pane</b></big></big></font><br/><br/><br/><font face='georgia'><big><big><b><img style='max-width: 800px;' src='http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/d/da/Armijn_p.jpg'/></b></big></big></font><br/><br/><br/><font face='georgia'>Armijn Pane terlahir kedunia di Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, 18 Agustus 1908 - Jakarta, 16 Februari 1970</font><br/><br/><font face='georgia'>Banyak sunbangsihnya dalam bidang sastra meliputi: </font><br/><br/><font face='georgia'><b> * Puisi</b></font><br/><br/><font face='georgia'> o Gamelan Djiwa. Jakarta: Bagian Bahasa Djawa. Kebudayaan Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. 1960</font><br/><font face='georgia'> o Djiwa Berdjiwa, Jakarta: Balai Pustaka. 1939.</font><br/><br/><font face='georgia'><b> * Novel</b></font><br/><br/><font face='georgia'> o Belenggu, Jakarta: Dian Rakyat. Cet. I 1940, IV 1954, Cet. IX 1977, Cet. XIV 1991</font><br/><br/><font face='georgia'><b> * Kumpulan Cerpen</b></font><br/><br/><font face='georgia'> o Djinak-Djinak Merpati. Jakarta: Balai Pustaka, Cet. I 1940</font><br/><font face='georgia'> o Kisah Antara Manusia. Jakarta; Balai Pustaka, Cet I 1953, II 1979</font><br/><br/><font face='georgia'><b> * Drama</b></font><br/><br/><font face='georgia'> o Antara Bumi dan Langit”. 1951. Dalam Pedoman, 27 Februari 1951</font><br/><br/><br/><font face='georgia'><big><big><b>A.S. Dharta</b></big></big></font><br/><br/><br/><font face='georgia'>A.S. Dharta adalah sastrawan yang lahir di Cibeber, Cianjur, 7 Maret 1924,dan menutup matanya di Cibeber, Cianjur, 7 Februari 2007</font><br/><br/><font face='georgia'><b>Karya dalam bidang sastra meliputi:</b></font><br/><br/><font face='georgia'> * Saidjah dan Adinda (naskah drama, adaptasi novel karya Multatuli yang diterjemahkah Bakri Siregar)</font><br/><font face='georgia'> * Rangsang Detik (kumpulan sajak, 1957)</font><br/><br/><font face='georgia'><b>Asep S. Sambodja</b></font><br/><br/><font face='georgia'>Asep S. Sambodja Sastrawan yang lahir di Solo, 15 September 1967</font><br/><br/><font face='georgia'>Dalam dunia sastra ia banyak membuahkan karya :</font><br/><br/><font face='georgia'><b>Buku puisinya: </b></font><br/><br/><font face='georgia'> * Menjelma Rahwana (1999)</font><br/><font face='georgia'> * Kusampirkan Cintaku di Jemuran (2006) </font><br/><font face='georgia'> * Ballada Para Nabi (2007). </font><br/><br/><font face='georgia'><b>Sajak yang termuat dalam antologi bersama: Graffiti Gratitude (2001), Cyberpuitika: </b></font><br/><font face='georgia'> </font><br/><font face='georgia'> * Antologi Puisi Digital (2002)</font><br/><font face='georgia'> * Bisikan Kata </font><br/><font face='georgia'> * Teriakan Kota (2003) </font><br/><font face='georgia'> * Dian Sastro for President! (2005),</font><br/><font face='georgia'> * Les Cyberlettres: Antologi Puisi Cyberpunk (2005) </font><br/><font face='georgia'> * Nubuat Labirin Luka</font><br/><font face='georgia'> * Antologi Puisi untuk Munir (2006)</font><br/><font face='georgia'> * Mekar di Bumi (2006)</font><br/><font face='georgia'> * Jogja 5,9 Skala Richter (2006)</font><br/><font face='georgia'> * Legasi: Antologi Puisi ASEAN (2006) </font><br/><br/><font face='georgia'><b>Esai-esainya masuk dalam Cyber Graffiti: </b></font><br/><br/><font face='georgia'> </font><br/><font face='georgia'> * Polemik Sastra Cyberpunk (2004) </font><br/><font face='georgia'> * Dari Kampus ke Kamus (2005)</font><br/><br/><br/><font face='georgia'><big><big><b>Asrul Sani</b></big></big></font><br/><br/><br/><font face='georgia'><big><big><b><img style='max-width: 800px;' src='http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/2/27/Asrul_Sani.jpg'/></b></big></big></font><br/><br/><br/><font face='georgia'>Asrul Sani Terahir di Rao, Sumatra Barat, 10 Juni 1926, meninggal di Jakarta, 11 Januari 2004) adalah seorang sastrawan dan sutradara film asal Indonesia</font><br/><br/><font face='georgia'><b>Karyanya meliputi:</b></font><br/><font face='georgia'> </font><br/><font face='georgia'> * Tiga Menguak Takdir (kumpulan sajak bersama Chairil Anwar dan Rivai Avin, 1950) <br/> * Dari Suatu Masa dari Suatu Tempat (kumpulan cerpen, 1972)</font><br/><font face='georgia'> * Mantera (kumpulan sajak, 1975), Mahkamah (drama, 1988) </font><br/><font face='georgia'> * Jenderal Nagabonar (skenario film, 1988)</font><br/><font face='georgia'> * Surat-Surat Kepercayaan (kumpulan esai, 1997)</font><br/><br/><font face='georgia'><b>Bukan hanya itu dia juga aktif dalam terjemahan diantara karyanya:</b></font><br/><br/><font face='georgia'> * Laut Membisu (karya Vercors, 1949) </font><br/><font face='georgia'> * Pangeran Muda (terjemahan bersama Siti Nuraini; karya Antoine de St-Exupery, 1952) </font><br/><font face='georgia'> * Enam Pelajaran bagi Calon Aktor (karya Ricard Boleslavsky, 1960)</font><br/><font face='georgia'> * Rumah Perawan (novel Yasunari Kawabata, 1977) </font><br/><font face='georgia'> * Villa des Roses (novel Willem Elschot, 1977)</font><br/><font face='georgia'> * Puteri Pulau (novel Maria Dermount, 1977) </font><br/><font face='georgia'> * Kuil Kencana (novel Yukio Mishima, 1978) </font><br/><font face='georgia'> * Pintu Tertutup (drama Jean Paul Sartre, 1979) </font><br/><font face='georgia'> * Julius Caesar (drama William Shakespeare, 1979) </font><br/><font face='georgia'> * Sang Anak (karya Rabindranath Tagore, 1979) </font><br/><font face='georgia'> * Catatan dari Bawah Tanah (novel Fyodor Dostoyeski, 1979) </font><br/><font face='georgia'> * Keindahan dan Kepiluan (novel Yasunari Kawabata, 1980)</font><br/><font face='georgia'> * Inspektur Jenderal (drama Nicolai Gogol, 1986)</font><br/><font face='georgia'> </font><br/><font face='georgia'>Selain menerjemah dia juga sebagai <b>sutradara film</b></font><br/><br/><font face='georgia'><b>Film yang disutradarainya:</b></font><br/><br/><font face='georgia'> * "Pagar Kawat Berduri" (1963)</font><br/><font face='georgia'> * "Apa yang Kau Cari, Palupi" (1970) </font><br/><font face='georgia'> * "Salah Asuhan" (1974) </font><br/><font face='georgia'> * "Bulan di Atas Kuburan" (1976) </font><br/><font face='georgia'> * "Kemelut Hidup" (1978) </font><br/><font face='georgia'> * "Di Bawah Lindungan Kaabah" (1978)</font><br/><font face='georgia'> </font><br/><br/><font face='georgia'><big><big><b>Ayatrohaedi</b></big></big></font><br/><br/><br/><font face='georgia'>Ayatrohaedi Sastrawan yang terlahir di Jatiwangi, Majalengka, 5 Desember 1939–Sukabumi, 18 Februari 2006)</font><br/><br/><font face='georgia'><b>Karya yang pernah ditorehkankanya:</b></font><br/><br/><font face='georgia'> * Hujan Munggaran (1960) </font><br/><font face='georgia'> * Kabogoh Téré (1967) </font><br/><font face='georgia'> * Pamapag (1972)</font><br/><br/><font face='georgia'><b>Karyanya dalam bahasa Indonesia antara lain </b></font><br/><br/><font face='georgia'> * Panji Segala Raja (1974) </font><br/><font face='georgia'> * Pabila dan di mana (1976) </font><br/><font face='georgia'> * Senandung Ombak (terjemahan, 1976) </font><br/><font face='georgia'> * Kacamata Sang Singa (terjemahan, 1977) </font><br/><br/><br/></div></div>Dunia Sastra Indonesiahttp://www.blogger.com/profile/01135526422163255710noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6246472953027076215.post-50948818503998946152008-06-02T21:03:00.000-07:002008-06-02T22:05:06.460-07:00Tokoh - Tokoh Sastra Indonesia dan Karyanya Bagian I<div style="text-align: justify;"><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;"><span style="font-weight: bold;"></span>Tokoh Sastra<br /><br /><br /><br /></span></span><div style="text-align: center;"><span style="font-size:130%;">Kulihat sungai<br /> mengalir begitu deras tampa ada putusnya </span><br /><span style="font-size:130%;">terus dan terus mengalir seolah menggambarkan perjalanan yang saling bersambungan dari generasi ke generasi yang bentuk rupa awal tak jauh daribentuk rupa pengakhirnya<br /><span style="font-weight: bold;"></span></span><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;"></span></span></div><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;"><br />A.A. Navis</span></span><br /><br />Ia adalah seorang sastrawan dari Kampung Jawa, Padang Panjang, dan mulai membuka mata di dunia 17 November 1924'<br /> * Antologi Lengkap Cerpen A.A. Navis (2005)<br /> * Gerhana: novel (2004)<br /> * Bertanya Kerbau Pada Pedati: kumpulan cerpen (2002)<br /> * Cerita Rakyat dari Sumatra Barat 3 (2001)<br /> * Kabut Negeri si Dali: Kumpulan Cerpen (2001)<br /> * Dermaga Lima Sekoci (2000)<br /> * Jodoh: Kumpulan Cerpen (1999)<br /> * Yang Berjalan Sepanjang Jalan (1999)<br /> * Cerita Rakyat dari Sumatra Barat 2 (1998)<br /> * Filsafat dan Strategi Pendidikan M. Sjafei: Ruang Pendidik INS Kayutanam (1996)<br /> * Otobiografi A.A. Navis: Satiris dan Suara Kritis dari Daerah (1994)<br /> * Surat dan Kenangan Haji (1994)<br /> * Cerita Rakyat dari Sumatra Barat (1994)<br /> * Hujan Panas dan Kabut Musim: Kumpulan Cerita Pendek (1990)<br /> * Pasang Surut Pengusaha Pejuang: Otobiografi Hasjim Ning (1986)<br /> * Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau (1984)<br /> * Di Lintasan Mendung (1983)<br /> * Dialektika Minangkabau (editor) (1983)<br /> * Dermaga dengan Empat Sekoci: Kumpulan Puisi (1975)<br /> * Saraswati: Si Gadis dalam Sunyi: sebuah novel (1970)<br /> * Kemarau (1967)<br /> * Bianglala: Kumpulan Cerita Pendek (1963)<br /> * Hudjan Panas (1963)<br /> * Robohnya Surau Kami (1955)<br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">Abdul Hadi WM</span></span><br /><br /> Sastrawan indonesia ,Ia dilahirkan di Sumenep, Madura, Jawa Timur, 24 Juni 1948<br /> Ia membuat suatu buah karya berupa puisi diantara puisi - puisinya :<br /><br /> * Meditasi (1976)<br /> * Laut Belum Pasang (1971)<br /> * Cermin (1975)<br /> * Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (1975)<br /> * Tergantung Pada Angin (1977)<br /> * Anak Laut, Anak Angin (1983)<br /><br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">Abdul Muis</span></span><br /><br />Ia dilahirkan (Solok, Sumatera Barat, 3 Juli 1883 - Bandung, Jawa Barat, 17 Juni 1959)<br /><br /> * Salah Asuhan(novel, 1928, difilmkan Asrul Sani, 1972)<br /> * Pertemuan Jodoh (novel, 1933)<br /> * Surapati (novel, 1950)<br /> * Robert Anak Surapati(novel, 1953)<br /><br /><br /> Acep Zamzam Noor<br /><br /> Ia seorang sastrawan muada lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 28 Februari 1960<br /><br /> * Tamparlah Mukaku! (kumpulan sajak, 1982)<br /> * Aku Kini Doa (kumpulan sajak, 1986)<br /> * Kasidah Sunyi (kumpulan sajak, 1989)<br /> * Di Luar Kata (kumpulan sajak, 1996)<br /> * Dari Kota Hujan (kumpulan sajak, 1996)<br /> * Di Atas Umbria (kumpulan sajak, 1999)<br /> * Jalan Menuju Rumahmu (kumpulan sajak, 2004)<br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">Achdiat K. Mihardja</span></span><br /><br /> Keretakan dan Ketegangan (1956) mendapat Hadiah Sastra BMKN tahun 1957 dan novelnya, Atheis (1949) memperoleh Hadiah Tahunan Pemerintah RI tahun 1969 (R.J. Maguire menerjemahkan novel ini ke bahasa Inggris tahun 1972) dan Sjuman Djaya mengangkatnya pula ke layar perak tahun 1974).<br /><br /> * Polemik Kebudayaan (editor, 1948)<br /> * Bentrokan dalam Asrama (drama, 1952)<br /> * Keretakan dan Ketegangan (kumpulan cerpen)<br /> * Kesan dan Kenangan (1960)<br /> * Debu Cinta Berterbangan (novel, Singapura, 1973)<br /> * Belitan Nasib (kumpulan cerpen, 1975)<br /> * Pembunuhan dan Anjing Hitam (kumpulan cerpen, 1975)<br /> * Pak Dullah in Extrimis (drama, 1977)<br /> * Si Kabayan, Manusia Lucu (1997).<br /> * Manifesto Khalifatullah (novel, 2006).<br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;"> Adinegoro</span></span><br /><br /> Sastrawan lahir 14 Agustus 1904 di Talawi, Sumatera Barat, meninggal 8 Januari 1967<br />di Jakarta<br /><br />Karya - karyanya :<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Buku</span><br /><br /> * Revolusi dan Kebudayaan (1954)<br /> * Ensiklopedi Umum dalam Bahasa Indonesia (1954),<br /> * Ilmu Karang-mengarang<br /> * Falsafah Ratu Dunia<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Novel</span><br /><br /> * Darah Muda. Batavia Centrum : Balai Pustaka. 1931<br /> * Asmara Jaya. Batavia Centrum : Balai Pustaka. 1932.<br /> * Melawat ke Barat. Jakarta : Balai Pustaka. 1950.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Cerita pendek</span><br /><br /> * Bayati es Kopyor. Varia. No. 278. Th. Ke-6. 1961, hlm. 3—4, 32.<br /> * Etsuko. Varia. No. 278. Th. Ke-6. 1961. hlm. 2—3, 31<br /> * Lukisan Rumah Kami. Djaja. No. 83. Th. Ke-2. 1963. hlm. 17—18.<br /> * Nyanyian Bulan April. Varia. No. 293. Th. Ke-6. 1963. hlm. 2-3 dan 31—32.<br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">Ahmad Tohari</span></span><br /><br /> Sastrawan lahir di Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah, 13 Juni 1948)<br /><br />Banyak karya - karya hasil dari gerak khusuk tangannya seperti:<br /><br /> * Kubah (novel, 1980)<br /> * Ronggeng Dukuh Paruk (novel, 1982)<br /> * Lintang Kemukus Dini Hari (novel, 1985)<br /> * Jantera Bianglala (novel, 1986)<br /> * Di Kaki Bukit Cibalak (novel, 1986)<br /> * Senyum Karyamin (kumpulan cerpen, 1989)<br /> * Bekisar Merah (novel, 1993)<br /> * Lingkar Tanah Lingkar Air (novel, 1995)<br /> * Nyanyian Malam (kumpulan cerpen, 2000)<br /> * Belantik (novel, 2001)<br /> * Orang Orang Proyek (novel, 2002)<br /> * Rusmi Ingin Pulang (kumpulan cerpen, 2004)<br /> * Ronggeng Dukuh Paruk Banyumasan (novel bahasa Jawa, 2006) meraih Hadiah Sastera Rancagé 2007<br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">Ahmadun Yosi Herfanda</span></span><br /> <br /> Mulai membuka indranya nya didunia di Kaliwungu, Kendal, 17 Januari 1958<br /><br />Karya - Karyanya:<br /><br /> * Ladang Hijau (Eska Publishing, 1980)<br /> * Sang Matahari (kumpulan puisi, bersama Ragil Suwarna Pragolapati, Nusa Indah, Ende, 1984),<br /> * Syair Istirah (bersama Emha Ainun Nadjib dan Suminto A. Sayuti, Masyarakat Poetika Indonesia, 1986),<br /> * Sajak Penari (kumpulan puisi, Masyarakat Poetika Indonesia, 1990),<br /> * Sebelum Tertawa Dilarang (kumpulan cerpen, Balai Pustaka, 1997),<br /> * Fragmen-fragmen Kekalahan (kumpulan sajak, Forum Sastra Bandung, 1997),<br /> * Sembahyang Rumputan (kumpulan puisi, Bentang Budaya, 1997),<br /> * Ciuman Pertama untuk Tuhan (kumpulan puisi, bilingual, Logung Pustaka, 2004),<br /> * Sebutir Kepala dan Seekor Kucing (kumpulan cerpen, Bening Publishing, 2004),<br /> * Badai Laut Biru (kumpulan cerpen, Senayan Abadi Publishing, 2004),<br /> * The Warshipping Grass (kumpulan puisi bilingual, Bening Publishing, 2005),<br /> * Resonansi Indonesia (kumpulan sajak sosial, Jakarta Publishing House, 2006),<br /> * Koridor yang Terbelah (kumpulan esei sastra, Jakarta Publishing House, 2006).<br /><br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">Ajip Rosidi</span></span><br /><br />Seorang sastrawan lahir di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, 31 Januari 1938<br /> <br /> * Tahun-tahun Kematian (kumpulan cerpen, 1955)<br /> * Ketemu di Jalan (kumpulan sajak bersama SM Ardan dan Sobron Aidit, 1956)<br /> * Pesta (kumpulan sajak, 1956)<br /> * Di Tengah Keluarga (kumpulan cerpen, 1956)<br /> * Sebuah Rumah buat Haritua (kumpulan cerpen, 1957)<br /> * Perjalanan Penganten (roman, 1958, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis oleh H. Chambert-Loir, 1976; Kroatia, 1978, dan Jepang oleh T. Kasuya, 1991)<br /> * Cari Muatan (kumpulan sajak, 1959)<br /> * Membicarakan Cerita Pendek Indonesia (1959)<br /> * Surat Cinta Enday Rasidin (kumpulan sajak, 1960);<br /> * Pertemuan Kembali (kumpulan cerpen, 1961)<br /> * Kapankah Kesusasteraan Indonesia lahir? (1964; cetak ulang yang direvisi, 1985)<br /> * Jante Arkidam jeung salikur sajak lianna (kumpulan sajak, bahasa Sunda, 1967);<br /> * Jeram (kumpulan sajak, 1970);<br /> * Jante Arkidam jeung salikur sajak lianna (kumpulan sajak, bahasa Sunda, 1967)<br /> * Ikhtisar Sejarah Sastera Indonesia (1969)<br /> * Ular dan Kabut (kumpulan sajak, 1973);<br /> * sajak Anak Matahari (kumpulan sajak, 1979, <br /> seluruhnya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang oleh T. Indoh, dan dimuat dalam majalah Fune dan<br /> * Shin Nihon Bungaku (1981)<br /> * Manusia Sunda (1984)<br /> * Anak Tanahair (novel, 1985, terjemahkan ke dalam bahasa Jepang<br /> oleh Funachi Megumi, 1989.<br /> * Nama dan Makna (kumpulan sajak, 1988)<br /> * Sunda Shigishi hi no yume (terjemahan bahasa Jepang<br /> dari pilihan keempat kumpulan cerita pendek oleh T. Kasuya 1988)<br /> * Puisi Indonesia Modern, Sebuah Pengantar (1988)<br /> * Terkenang Topeng Cirebon (kumpulan sajak, 1993)<br /> * Sastera dan Budaya: Kedaerahan dalam 1995)<br /> * Mimpi Masasilam (kumpulan cerpen, 2000,<br /> sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang)<br /> * Masa Depan Budaya Daerah (2004)<br /> * Pantun Anak Ayam (kumpulan sajak, 2006)<br /> * Korupsi dan Kebudayaan (2006)<br /> * Hidup Tanpa Ijazah, Yang Terekam dalam Kenangan (otobiografi, 2008)<br /><br /> Ajip juga menulis drama, cerita rakyat, cerita wayang, bacaan anak-anak, lelucon, dan memoar serta mengeditori beberapa bunga rampai.<br /><br /> * Akmal Nasery Basral<br /> * Seputar Pembaruan Tentang Islam, co-editor (non-fiksi, 1990).<br /> * Andai Ia Tahu: Kupas Tuntas Proses Pembuatan Film, penyunting pendamping<br /> (co-editor) (non-fiksi, 2003)<br /> * Kisah Kasih Negeri Pengantin, co-writer (non-fiksi, 2005)<br /> * Imperia, novel (2005)<br /> * Ada Seseorang di Kepalaku Yang Bukan Aku, kumpulan cerpen (2006)<br /> * Melodi Tanpa Do, skenario Film Televisi (FTV), <br /> ditayangkan Indosiar (2006)<br /> * Selasar Kenangan, penyunting penyelia, kumpulan cerpen <br /> mailing list Apresiasi Sastra (2006)<br /> * Nagabonar Jadi 2, novel adaptasi (2007)<br /><br /><span style="font-size:130%;"><span style="font-weight: bold;">Andrea Hirata</span></span><br /><br />Ia lahir di pulau Belitong, propinsi Bangka Belitung 24 Oktober<br /> <br /> 1. Laskar Pelangi<br /> 2. Sang Pemimpi<br /> 3. Edensor<br /> 4. Maryamah Karpov<br /><br /> Laskar Pelangi termasuk novel yang ada di jajaran best seller untuk tahun 2006 - 2007.<br /><br /><br /><br /><br /><br /> <br /><br /><br /></div>Dunia Sastra Indonesiahttp://www.blogger.com/profile/01135526422163255710noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6246472953027076215.post-45544793891141446042008-06-02T05:43:00.001-07:002008-06-02T05:46:43.800-07:00Sastra Periode 1961- Sekarang<div style="text-align: justify;"><span style="font-weight: bold;"> Tentang Sastra</span><br /><br /><br /><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-size:130%;">SASTRA PERIODE 1961-Sekarang</span><br /></div><br /><br />1. Sastra dan Politik<br /><br />Merupakan suatu kenyataan sejarah bahwa sudah sejak awal pertumbuhan sastrawan-sastrawan Indonesia menunjukkan perhatian yang serius kepada politik. Bahkan ada di antaranya yang kemudian lebih terkenal sebagai politikus daripada pengarang seperti Muh. Yamin dan Roestam Effendi. Demikian juga para pengarang pujangga baru ialah orang-orang yang aktif dalam dunia pergerakan nasional. Para pengarang pada awal revolusi bukanlah orang-orang yang bersifat a-politis. Chairil Anwar, Pramaedya Ananta Toer, Achdiat K. Mihardja, Mochtar Lubis merupakan orang-orang yang mempunyai pandangan dan kesadaran politik.<br /><br />Perbedaan-perbedaan pandangan mengenai seni dan sastra yang berpangkal pada perbedaan-perbedaan pendirian politik, sudah sejak lama kelihatan dalam dunia sastra Indonesia. Pada awal tahun lima puluhan terjadi polemik yang seru juga antara orang-orang yang membela hak hidup Angkatan 45 dengan orang-orang yang mengatakan “Angkatan 45 sudah mampus” yang berpangkal pada suatu sikap politik. Pihak yang berpaham realisme-sosialis, yaitu paham yang menjadi filsafat-seni kaum komunis aktif mengadakan polemik. Penganut paham realisme sosials yang paling keras teriakannya ialah As Dharta yang menjadi pokok soal bahan polemik-polemik ialah paham “seni untuk seni” dan “seni untuk rakyat”, orang-orang yang menganut paham realisme sosialis berpaham “seni untuk rakyat” sambil mengutuk orang-orang yang berpaham “seni untuk seni” sebagai penganut “humanisme universal” yang dicapnya sebagai filsafat kaum borjuis kapitalis yang bobrok.<br /><br />Yang paling bernilai diantara polemik-polemik itu karena kedua belah pihak menulis dengan kepala dingin dan pandangan yang luas serta hati terbuka ialah yang terjadi sekitar tahun 1954 antara Boejoeng Saleh Poeradisastro dengan Soedjatmoko berkenaan dengan pandangan-pandangan Soedjatmoko dalam karangannya “Mengapa Konfrontasi”.<br /><br />Pada tahun 1950 berdirilah di Jakarta Lembaga Kebudayaan Rakyat yang kemudian lebih terkenal dengan sebutan Lekra. Sebagai sekretaris jenderalnya yang pertama bertindak As. Dharta. Pada mulanya Lekra ini belum merupakan organ kebudayaan dari PKI. Diantara yang hadir pada ketika pembentukan Lekra itu terdapat orang-orang yang kemudian menjadi musuh antara lain HB Jassin dan Achdiat K. Mihardja. Setelah PKI kuat kedudukannya, Lekra secara resmi menjadi organ kebudayaannya. Lekra dengan tegas menganut “seni untuk rakyat” dan menghantam golongan yang menganut paham “seni untuk seni”.<br /><br />Dalam gelanggang percaturan politik PKI makin kuat kedudukannya. Tahun 1959 Soekarno mendekritkan UUD 1945 berlaku lagi dan mengajukan “Manifesto Politik” (Manipol) sebagai dasar haluan negara. Manipol memberikan ruang gerak kepada PKI untuk merebut tempat-tempat dan posisi-posisi penting untuk merebut kekuasaan.<br /><br />Dalam usahanya mempersiapkan diri untuk merebut kekuasaan itu, PKI mengerahkan segala kekuatan dalam segala bidang. Dalam bidang kebudayaan dilakukan oleh Lekra. Lekra melakukan teror terhadap orang-orang dan golongan yang dianggapnya tidak sepaham.<br /><br />Dalam bidang sastra satu persatu pengarang yang mempunyai paham berbeda dengan mereka, dihantam dan dimusnahkan. Sutan Takdir Alisjahbana yang politis menjadi anggota partai yang dibubarkan (PSI) dan Hamka (Masyumi) menjadi sasarannya. Buku-buku mereka dituntut supaya dilarang dipergunakan.<br /><br />Tahun 1950 PNI membentuk Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) diketuai oleh Sita Situmorang. NU membentuk Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI) dengan ketua Osman Ismail. Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Syariat Islam Indonesia (PSII), Partai Indonesia (Partindo).<br /><br />Dengan berbagai cara para budayawan, seniman, dan pengarang Indonesia dipaksa masuk Lekra. Organisasi-organisasi yang hendak berdiri sendiri (independen) terus diteror dan difitnahnya seperti terjadi dengan Himpunan Mahasiswa islam (HMI) dan Pelajar Islam Indonesia (PII).<br /><br />2. Manifes Kebudayaan dan Konferensi Karyawan Pengarang se Indonesia<br /><br />Mei 1961 diterbitkan Majalah Sastra. Ketua : HB. Jassin, Redaktur penyelenggara : DS. Moeljanto. Majalah sastra mengutamakan memuat cerpen, juga sajak, kritik dan esai.<br /><br />Beberapa pengarang esai yang banyak menulis pada masa itu adalah Goenawan Mohamad, Arief Budiman (Soe Hok Djin) D.A Peransi, dan lain-lain. Beberapa penulis esai seperti Iwan Simatupang dan Wiratmo Soekito juga banyak menulis dalam majalah sastra. Boen S. Oemarjati, M.S Hutagalung, Virga Belan, Salim Said juga sering mengumumkan kritik-kritiknya dalam majalah tersebut.<br /><br />Pengarang-pengarang cerpen dalam majalah sastra antara lain B. Soelarto Bur Rasuanto, A. Bastari Asnin, Satyagraha Hoerip Soeproto Kamal Hamzah, Ras Siregar, Sori Siregar, Gerson Poyk, B. Jass, dan lain-lain. Sedang para penyair antara lain: Isma Sawitri, Goenawan Mohamad, M. Saribi Afn, Poppy Hutagalung, Budiman S. Hartojo, Arifin C.Noer, Sapardi Djoko Danomo, dan lain-lain.<br /><br />17 Agustus 1963 diumumkan “Manifes Kebudayaan” yang disusun dan ditandatangani sejumlah pengarang dan pelukis Jakarta, antara lain H.B Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Goenawan Mohamad, Bokor Hutasuhut, Soe Hok Djin, dan lain-lain.<br /><br />Manifes Kebudayaan<br /><br />Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan mengumumkan sebuah manifes kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik kebudayaan nasional kami.<br /><br />Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektoral kebudayaan di atas sektor kebudayaan lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.<br /><br />Dalam melaksanakan kebudayaan nasional kami berusaha mencipta dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia ditengah-tengahnya masyarakat bangsa-bangsa. (Jakarta, 17 Agustus 1963)<br /><br />PANCASILA adalah falsafah kebudayaan kami.<br /><br />Jakarta, 17 Agustus 1963<br /><br />Manifes ini segera mendapatkan sambutan dari pelosok tanah air. Di pihak lain, manifes itu mempermudah Lekra beserta kampanyenya untuk menghancurkan orang-orang yang mereka anggap sebagai musuh. Namun, pihak manifes pun tidak tinggal diam mereka mempersiapkan konferensi pengarang yang mereka namakan Konferensi Karyawan Pengarang Se-Indonesia (KKPI). Konferensi ini berlangsung di Jakarta bulan Maret 1964, yang menghasilkan Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia (PKPI). Tapi, sebelum PKPI berjalan, Soekarno (presiden saat itu) menyatakan manifes kebudayaan terlarang. Para budayawan, seniman, dan pengarang penandatanganan manifes kebudayaan diusir dari tiap kegiatan, ditutup kemungkinan mengumumkan karya-karyanya, bahkan yang menjadi pegawai pemerintah dipecat dari pekerjaannya.<br /><br />Perkataan ‘Manikebuis’ menjadi istilah populer untuk menuduh seseorang “kontra revolusi, anti-manipol, anti-lisdek, anti-nasakom dan sebagainya. Majalah sastra dituntut dilarang terbit. Demikian juga majalah Indonesia, dan lain-lain.<br /><br />Situasi ini memberi ciri kepada karya-karya sastra yang dihasilkan period ini. Yang ingin membela kemerdekaan manusia yang diinjak-injak tirani mental dan fisik. Sajak-sajak, cerpen-cerpen, terutama esai-esai yang ditulis merupakan protes sosial dan protes terhadap penginjakan martabat manusia. Puncaknya adalah sajak-sajak Taufiq Ismail, Mansur Samin, Slamet Kirnanto, Bur Rasuanto, dan lain-lain yang ditulis ditengah demonstrasi mahasiswa dan pelajar awal tahun 1966. Sajak-sajak demonstrasi yang dikumpulkan Taufik Ismail dalam Tirani dan Benteng (tahun 1966) merupakan dari suatu period sejak tahun 1966, terbit majalah Horison ynag dipimpin Mochtar Lubis, H.B Jassin, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, Arief Budiman, dan lain-lain. Akhir tahun 1967, majalah sastra dihidupkan kembali dengan pimpinan redaksi H.B jassin, terbit pula majalah cerpen dipimpin Kassim Achmad dan D.S Moeljanto. Sejak Juni 1968 terbit majalah Budaya Djaja yang dipimpin Ilen Surianegara dengan redaksi Ajip Rosidi dan Hariyadi S. Hartowardjojo. Majalah-majalah itu isinya menunjukkan hasil-hasil masa transisi.<br /><br />3. Para Pengarang Lekra<br /><br />Karangan-karangan yang ditulis oleh pengarang bukan anggota Lekra, asalkan menguntungkan bagi pihak Lekra, maka karangan tersebut diterbitkan juga. Misalnya kumpulan sajak Sitor Situmorang yang berjudul “Zaman Baru” tahun 1962 diterbitkan oleh organ penerbitan Lekra.<br /><br />Kecuali ruangan kebudayaan dalam surat kabar partai “Harian Rakyat” yang dipimpin oleh NR. Bandaharo, Lekra mempunyai majalah “Zaman Baru” yang dipimpin oleh Rivai Apin. S. Anantaguna dan lain-lain. Beberapa bulan menjelang Gestapu, mereka menerbitkan harian “Kebudayaan Baru” yang dipimpin oleh S. Antaguna, yang dalam penerbitannya selalu dimuat sajak-sajak, cerpen-cerpen, esai-esai dan karangan-karangan lain baik asli maupun terjemahan karya para anggota Lekra atau bukan.<br />Paramoedya Ananta Toer yang merupakan salah seorang ketua lembaga seni sastra (Lekra) dan salah seorang anggota pleno Pengurus Pusat Lekra, memimpin ruangan kebudayaan lentera dalam surat kabar “Bintang” (timur) minggu yang resminya ialah koran Partindo.<br /><br />Di antara golongan nama-nama baru yang untuk pertama kali menulis, ada juga nama-nama yang sudah dikenal sebagai pengarang yang kemudian masuk Lekra. Nama-nama yang sudah dikenal itu antara lain Rivai Apin, S. Rukiah, Kuslan Budiman, S. Wisnu Kontjahjo, Sobron Audit, Utuy T. Sontanz Dadang Djiwapradja, paramoedya Ananta Toer dan lain-lain.<br /><br />Di antara para penulis yang namanya sejak mulai muncuk selaku dalam lingkungan Lekra ialah A.S, Dharta Bachtiar Siagin, bakri Siregar, Hr. Bandaharo, F.L. Risakorta, Zubir A.A, A. Kohor Ibrahim, Amarzam Ismail Hamid, S. Anantaguna. Again Wispi, Kusni Sulang, B.A Simanjuntak, Sugiarti Siswandi, Hadi S dan lain-lain.<br /><br />AS Dharta alias Kelana Asmara, alias Klara Akustia alias Yogaswara alias Garmaraputra dan sejumlah alias lagi nama sebenarnya ialah Rodji, lahir di Cibeber, Cianjur tanggal 7 Maret 1923. Ia seorang pendiri Lekra dan menjadi sekretaris jenderalnya yang pertama, ia pernah menjadi anggota konstitutuante sebagai wakil PKI dan dipecat oleh Lekra. Sajak-sajaknya diterbitkan dengan judul “Rangsang Detik” tahun 1957 dan karangan-karangan Polemis dengan H.B Jassin dan lain-lain.<br /><br />Bachtiar Siangin banyak menulis Sanoiwara, ia menerbitkan beberapa buku sandiwara, diantaranya Lorong Belakang (1950). Agam Wispi lahir di Idi, Aceh tahun 1934. Mula-mula menulis cerpen dan sajak, kemudian esai dan bentuk-bentuk sastra lain. Sejumlah sajaknya dimuat juga dalam berbagai penerbitan bersama yang dikumpulkan dalam “sahabat” (1959).<br /><br />S. Anantaguna (lahir di Klaten tanggal 9 Agustus 1930) mula-mula menulis sajak-sajak tetapi kemudian menulis juga cerpen dan karangan-karangan lain. Sajak-sajak yang diterbitkan dalam kumpulan “yang Bertanah Air Tapi Tidak Bertanah” (1964).<br /><br />Sobron Aidit lahir di Belitung 2 Juni 1934 juga mula-mula hanya menulis sajak kemudian juga menulis cerpen dan roman. Sajak-sajak awal (sebelum ia aktif menjadi anggota Lekra) sebagian dimuat dalam kumpulan bersama Asip Rosidi dan S.M. Ardan berjudul “Ketemu di Jalan” (1956). Sejumlah sajaknya dibukukan dalam palang bertempur (1959) sedangkan cerpen dan novel revolusinya diterbitkan dengan judul Derap Revolusi (1962).<br /><br />Hadi S. yang nama panjangnya ialah Hadi Sosrodanukusumo terutama menulis sajak yang sebagian telah diterbitkan dengan judul “Yang Jatuh dan Yang Tumbuh” (1954).<br />Penyair Lekra diantara yang muda ialah Amarzan Ismail Hamid (lahir ?) yang kadang-kadang juga menulis cerpen dan esai.<br /><br />4. Para Pengarang Keagamaan<br /><br />Yang mau menyaingi Lekra dalam bidang penerbitan buku-buku sastra barangkali hanya Lembaga Kebudayaan Kristen (Lekrindo) saja. Beberapa buku kumpulan sajak dan cerita-cerita karangan para pengarang Kristen yang pernah diterbitkan antara lain “Kidung Keramahan” (1963) kumpulan sajak Soeparwata Wiraatmdja ‘Hari-hari Pertama oleh Gerson Poyk, dan kumpulan sejak malam sunyi (1961) dan basah dan peluh (1962) kedua-duanya buah tangan Fridolin Ukur.<br /><br />Buku-buku karya sastra yang bernafaskan agama Islam tidaklah diterbitkan oleh lembaga-lembaga atau badan-badan yang ada sangkut pautnya dengan lembaga-lembaga kebudayaan itu kumpulan-kumpulan cerpen dan roman. Kumpulan cerpen dan roman Djamil Suherman yang berdujul “Umi Kalsum” dan “Perjalanan Ke Akhirat” diterbitkan oleh penerbit Nusantara. Kumpulan sajak M. Saribi Afn “Gema Lembah Cahaya” (1964) diterbitkan oleh Pembangunan. Dan kumpulan sajak delapan orang penyair Islam yang berjudul “Manifes” (1963 diterbitkan oleh penerbit Tintamas)”.<br /><br />Sementara itu orang-orang Katolik mempunyai sebuah majalah bulanan kebudayaan umum yang terbit di Yogyakarta, basis yang terbit sejak tahun 1951, tetapi baru pada paruh kedua tahun lima puluhan memberikan perhatian dan tempat yang lebih banyak buat masalah sastra dan karya-karya sastra.<br /><br />Di antara para pengarang keagamaan lain yang telah menulis sajak-sajak dan cerpen-cerpen yang dimuat dalam majalah-majalah. Tetapi belum menerbitkan buku, antara lain patut disebut disini M. Abnar Romli, Abdulhadi W.M, B. Jass, M. Josa Biran, Moh. Diponegoro dari agama Islam dan M. Poppy Hutagalung, Andre Hardjana, Satyagraha Hoerip Soeprobo, Bakti Soemanto, J. Sijaranamual dan lain-lain dari agama Kristen dan Katolik.<br /><br />5. Sajak-Sajak Perlawanan Terhadap Tirani<br /><br />Para mahasiswa dan pelajar di Indonesia berdemonstrasi menuntut untuk membubarkan PKI, ritual kabinet Dwikora dan turunkan harga, yang biasa disebut Tritura. Para pengarang dan penyair pun turut serta secara aktif dengan cara menulis sajak-sajak perlawanan terhadap tirani. Diantaranya adalah Tirani dan Benteng oleh Taufiq Ismail, perlawanan oleh Mansur Samin, Mereka Telah Bangkit oleh Bur Rasuanto, Pembebasan oleh Abduk Wahid Sitomorang, Kebangkitan oleh lima penyair mahasiswa Fakultas Sastra, Ribeli yang ditulis oleh Aldiah Arifin, Djohan A. Nasution dan dua pengaduan Lubis, dan sajak-sajak yang lain.<br /><br />Yang paling penting adalah kumpulan sajak Tirani yang tercetak pada tahun 1966 dan Benteng tahun 1968.<br /><br />Adanya protes sosial dan politik dalam sajak itu menyebabkan H.B. Jassin memperoklamasikan lahirnya ‘Angkatan 66” dalam majalah Horison (1966), yang mengatakan bahwa khas pada hasil-hasil kesusastraan 66 ialah protes sosial dan protes politik. H.B. Jassin mengatakan bahwa pengarang yang masuk “Angkatan 66” adalah mereka yang pada tahun 1945 berumur kira-kira 6 tahun dan pada tahun 1966 berumur 25 tahun, mereka adalah Ajip, Rendra, Yusach Ananda, Bastari Asnin, Hartoyo Andangdjaja, Mansur Samin, Sarbini Afn, Goenawan Mohammad. Indonesia O’Galelano, Taufiq Ismail, Navis, Soewardi Idris, Djamil Suherman, Bokar Hulasuhut”.<br /><br />Terhadap ‘Angkatan 66’ ini timbul berbagai reaksi Rachmat Djoko Pradopo di Horison (1967) menyambut ‘Angkatan 66” sastra Indonesia dengan baik, sedangkan Satyagraha Hoerip Soeprobo dan Arief Budiman lebih menyukai nama ‘Angkatan Manifes (Kebudayaan)”.<br /><br />6. Beberapa Pengarang<br /><br />a. B. Soelarto<br /><br />Lahir tanggal 11 September 1936 di Purwarejo. Ia menulis cerpen yang penuh dengan protes dan ejekan dan hanya catatan-catatan mengenai situasi politik dan sosial. Dramanya yang berjudul Domba-Domba Revolusi mendapat reaksi dari orang-orang Lekra. Kemudian drama itu ditulis dalam bentuk novel yang berjudul Tanpa Nama oleh Nusantara tahun 1963. Balai Pustaka juga menerbitkan sramanya yang berjudul Domba-Domba Revolusi (1968).<br /><br />b. Bur Rasuanto<br /><br />Lahir di Palembang, 6 April 1937. Ia menulis sajak, esai dan roman. Tahun 1967 ia pergi ke Vietnam menjadi wartawan Perang Harian Kami. Cerpen-cerpennya dikumpulkan dalam Bumi Yang Berpeluh (1963) dan Mereka Akan Bangkit (1964). Sajak-sajaknya berjudul Mereka Telah Bangkit diterbitkan dengan stensil. Romannya berjudul Sang Ayah (1969), dan Manusia Tanah Air.<br /><br />c. A. Bastari Asnin<br /><br />Lahir tanggal 29 Agustus 1939 d Muara Dua, Palembang. Ia bekerja sebagai anggota redaksi Harian Kami. Cerpen-cerpennya diterbitkan berupa buku dalam dua kumpulan yaitu Ditengah Padang dan Laki-Laki Berkuda.<br /><br />d. Satyagraha Hoerip Soeprobo<br /><br />Lahir di Lamongan 7 April 1934, ia banyak menulis cerpen dan esai tentang kebudayaan. Romannya Sepasang Suami Istri melukiskan kehidupan seorang suami politikus. Ia juga pernah menulis buku berupa cerita wayang berjudul Resi Bisma. Tahun 1969, ia muncul sebagai editor sebuah buku Antologi Eser Sekitar Persoalan-Persoalan Sastra yang memuat esai karya Asrul Sani, Iwan Simatupang, Goenawan Mohamad, Arief Budiman, dan lain-lain.<br /><br />e. Gerson Poyk<br /><br />Lahir di Namodale, Pulau Roti, 16 Juni 1931. Buku pertamanya sebuah roman pendek berjudul Hari-Hari Pertama (1964). Ia menjadi wartawan surat kabar Sinar Harapan, Jakarta.<br /><br />Pengarang-pengarang kita seperti Fas Siregar menerbitkan kumpulan cerpen berjudul Harmoni dan roman Terima Kasih. LC. Bach menerbitkan sebuah riman yang berjudul hari Membaja. Djumri Obeng menerbitkan roman yang berjudul Dunia Belum Kiamat. Poernawan Tjonsronagoro menerbitkan Mendarat Kembali dan Mabuk Sake. Rosidi Amir menerbitkan Jalan yang Tak Kunjung Datat. Zen Rosidy menerbitkan cerpen berjudul Cinta Pertama. Tabrin Tahar menrbitkan Guruh Kering. Maria Madijah menulis roman Kasih di Medan Perang.<br />Di majalah Sastra dan Horison juga ada beberapa pegnarang baru, misalnya Zulidahlan, Umar Kayam, Danarto, Muh. Fudali, Julius Sijaranamual, dan lain-lain yang belum mendapat kesempatan untuk mencetak cerpen-cerpen mereka menjadi buku.<br /><br />7. Beberapa Penyair<br /><br />a. Taufiq Ismail<br /><br />Lahir tahun 1937 di Bukit Tinggi dan dibesarkan di Pekalongan. Beliau mulai mengumumkan sajak-sajak, cerpen-cerpen dan esai-esainya sejak tahun 1954. Baru pada awal tahun 1966 ia muncul ke permukaan ketika karyanya berjudul “Tirani” berisi sajak-sajak diumumkan di tengah-tengah demonstrasi para mahasiswa dan pelajar yang menyampaikan “Tritura”. Dalam karyanya ini, beliau memakai nama samaran Nur Fadjar. Sajak-sajak itu berjumlah 18 dan dituliskan dalam waktu seminggu, antara tanggal 20 dan 28 Februari 1966 dan diterbitkan pertama kali di Majalah Gema Psycholohi. Kali ini Taufiq sudah terang-terangan mengumumkan namanya sendiri.<br /><br />Antara tanggal 20 sampai 28 Februari 1966 di Jakarta terjadi peristiwa-peristiwa penting. Demonstrasi mahasiswa dan pelajar yang menuntut Tritura, uang diganti, bensin dinaikkan harganya, ongkos bis kota dinaikkan lima kali lipat. Tanggal 24 Februari kabiner Dwikora yang baru dan malah memasukkan menteri-menteri Gestapu lebih banyak lagi akan ditantik. Para mahasiswa dan pelajar bergerak. Bentrokan terjadi disertai penembakan. Arif Rahman Hakim tertembak dan wafat. Hal ini menyebabkan para mahasiswa dan pelajar lebih marah lagi. Pemakaman Arif Rahman Hakim dilakukan secara pahlawan dan orang yang mengiringi jenazahnya pe pekuburan sangat banyak.<br /><br />Latar belakang itu harus dipahami agar kita dapat menikmati sajak-sajak Taufiq Ismail dalam Tirani yang menggugah rangsang emosional pembacanya secara meluas.<br /><br />Peristiwa di Skeretariat negara (penembakan dan beberapa orang mahasiswa terluka) direkamkan dalam sajak ‘Sebuah Jaket Berlumur Darah’, ‘Harmoni’, ‘Jalan Segara’. Penembakan Arif Rahman Hakim direkamkan dalam sajak ‘Karangan Bunga’, Salemba’, ‘Percakapan Angkasa’, ‘Aviasi’, dan ‘Seorang Tukang Rambutan pada Isterinya’.<br /><br />Sajak-sajak yang dimuat dalam “Benteng” tak jauh beda dengan yang dimuat dalam “Tirani”. Hanya dalam Benteng pikiran sudah lebih banyak bivara. Dalam sajaknya ‘Rendezvous’, Taufiq yakin bahwa tugas yang ketika itu sedang dilakukannya ialah tugas sejarah yang tak bisa dielakkan. Maka tujuan dan cita-cita yang lebih terperinci dirumuskannya dalam ‘Yang Kami Minta Hanyalah’, ‘Refleksi Seorang Pejuang Tua’, ‘Benteng’, dan ‘Nasihat-nasihat Kecil Orang tua pada Anaknya Berangkat Dewasa’.<br /><br />b. Goenawan Mohamad<br /><br />Dikenal sebagai penulis esai yang tajam dan penuh dengan kesungguhan. Tetapi ia pun sebenarnya seorang penyair berbakat dan produktif. Sajak-sajaknya banyak tersebar dalam majalah-majalah. Sajak-sajak itu mempunyai suasana muram sepi menyendiri. Kesunyian manusia di tengah alam sepi tanpa kata banyak menjadi temannya, misalnya ‘Senja pun Jafi Kecil, Kota pun jadi Putih’ (Horison 1966). Tetapi, ia juga menaruh perhatian kepada masalah-masalah sosial dan kehidupan sekelilingnya. Misalnya sajak ‘Siapakah Laki-laki yang Roboh di Taman ini ?’ (Basis 1964).<br /><br />Juga masalah agama banyak menjadi tema. Situasi kehidupan agama menyebabkan ia berpendapat : “………manusia tak lagi bebas, di mana agama bukan lagi merupakan kekuatan rohaniah, tetapi sudah merupakan kekuatan jasmaniah yang mengontrol tindak tanduk manusia. Manusia lama-kelamaan tidak lah menyembah Tuahn, tetapi menyembah agama dengan segala aturan-aturannya yang mendetail”. Selanjutnya ia berkata: “Tak lain adalah bersikap kreatif yang membawa kita ke arah cara berfikir yang dialektik, sehingga segala macam ortodoksi setapak dmi setapak akan luntur, dekimian pula segala macam fanatisme dan segala bentuk sektarisme. Bagi kehidupan keagaman itu sendiri sikap kreatif itu amat diperlukan untuk membawa agama kearah modernisasi dalam cara berfikir dan dengan demikian, juga modernisasi seluruh masyarakat” (Horison 1966).<br /><br />Goenawan lahir di Pekalongan tahun 1942 sajak-sajak da esai-esainya belum diterbitkan sebagai buku kecuali yang dimuat bersama buah tangan para penyair lain dalam manifestasi yang diselenggarakan oleh M. Saribi Afn.<br /><br />Penyair-penyair lain<br /><br />Saini K.M (lahir di Sumedang pada tanggal 16 Juni tahun 1938) banyak menulis sajak-sajak yang dimuat majalah-majalah sekitar tahun enam puluhan. Selain itu, beliau juga menulis cerpen dan esai serta menerjemahkan dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerahnya, bahasa Sunda. Kumpulan sajaknya “Nyanyian Tanah Air” (tahun 1968) memuat sepilihan sajak-sajaknya.<br /><br />Sapardi Djoko Damono menulis sajak yang kesederhaan pengucapannya langsung menyentuh hati. Sajak-sajak yang ditulisnya tahun 1967-1968 diterbitkan akhir 1969 dengan judul “Duka Mu Abadi”.<br /><br />Wing Kardjo Wangsaatmadja (lahir di Garut pada tanggal 23 April 1937) sudah menulis sajak pertengahan tahun lima puluhan. Ia telah mengumumkan satu-dua sajaknya pada masa itu. tetapi baru setelah ia bermukim di Paris (tahun 1963-1967), ia mengumumkan sajak-sajaknya secara berlimpah. Selain itu, ia banyak menerjemahkan dan menulis esai dan kritik tentang persoalan-persoalan seni umumnya.<br /><br />Budiman S. Hartojo (lahir di Solo pada tanggal 5 Desember 1938) juga banyak menulis sajak-sajak dalam berbagai majalah. Demikian pula Piek Ardiajnto Suprijadi, Arifin C. Noer, Abdulhadi W.M, Indonesia O’Galelano, Sanento Juliman, Darmanto Jt, dan lain-lain.<br /><br />Beberapa penyair telah berbahagia dapat melihat kumpulan sajaknya terbit, misalnya Kamal Firdaus T.F menerbitkan “Di Bawah Fajar Menyingsing” (1965), dan Rachmat Djoko Pradopo (lahir 3 Novemcber 1939 di Klaten) menerbitkan “Matahari Pagi di Tanah Air” (1967) dan Slamet Kirnanto menerbitkan “Kidung Putih”, “Puisi Alit” (1967).<br /><br />8. Para Pengarang Wanita<br /><br />Titie Said, S. Tjahjaningsih, Titis Basino, Sugiarti Siswandi, Ernisiswati Nutomo, Enny Sumargo, dan lain-lain sebagai pengarang prosa. Sedangkan sebagai penyair kita lihat munculnya Isma Sawitri, Dwiarti Mardjono, Susy Aminah Aziz, Bipsy Soerharjo, Toeti Heraty Noerhadi, Rita Oetoro dan lain-lain.<br /><br />Titie Said (Ny. Titie Raja Said Sadikun) adalah seorang wanita yang banyak menulis cerpen. Ia dilahirkan di Bojonegoro, 11 Juli 1935. Titie Said pernah menjadi anggota redaksi majalah Wanita. Cerpen-cerpennya kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul “Perjuangan dan Hati Perempuan” (1962). Sebagian besar dari cerpen-erpen yang dimuat dalam buku itu mengisahkan perjuangan dan perasaan hati perempuan. Cerpen-cerpennya “Maria” dan “Kalimutu” merupakan cerpen-cerpen terbaik yang dimuat dalam buku tersebut.<br /><br />S. Tjahjaningsih muncul dengan sebuah kumpulan cerpennya “Dua Kerinduan” (1963). Kebanyakan cerpennya belum meyakinkan kita akan kematangannya. Yang dia berikan tidak lebih dari hanya harapan untuk masa depan.<br /><br />Sugiarti Siswandi banyak menulis cerpen yang dimuat dalam lembaran-lembaran penerbitan Lekra. Kumpulan cerpennya “Sorga di Bumi” terbit tahun 1960. Disamping itu masih banyak lagi cerpen-cerpennya yang lain belum dibukukan.<br /><br />Ernisiswati Hutomo banyak menulis cerpen yang antara lain dimuat dalam majalah Sastra. Tetapi belum ada yang dibukukan. Demikian juga dengan Titis Basino yang menulis cerpen dengan produktif dalam cerpen-cerpen Titis banyak dilukiskan sifat dan tabiat wanita yang kadang-kadang tak terduga, merupakan misteri.<br /><br />Enny Sumarjo (lahir di Blitar pada tanggal 21 November 1943) terutama banyak mengumumkan buah tangannya berupa cerpen di daerah (Yogyakarta, Semarang). Kini ia telah menrbitkan sebuah roman berjudul “Sekeping Hati Perempuan” (1969).<br /><br />Susy Aminah Aziz (lahir di Jatinegara tahun 1939) telah berhasil menerbitkan sejumlah sajaknya dalam kumpulan berjudul “Seraut Wajahku” (1961). Tetapi sajak-sajak itu tak lebih dari pada hanya menjanjikan kemungkinan saja, seperti juga dengan sajak-sajak Dwiarti Mardjono yang dimuat dalam majalah sastra.<br /><br />Yang menulis sajak lebih dewasa dan lebih baik ialah Isma Sawitri dan belakangan ini Toety Heraty Noerhadi. Isma Sawitri dilahirkan di Langsa, Aceh, tanggal 21 November 1940. Sajak-sajaknya banyak dimuat dalam majalah Sastra, Indonesia dan majalah-majalah lain pada awal tahun enam puluhan. Kumpulan kwatrinnya yang diberinya berjudul “Kwatrin” terdiri dari lebih 100 buah, sedang menunggu penerbitannya. Sambil terus mengikuti kuliah di jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jakarta ia lama menjadi anggota redaksi surat kabar Angkatan Bersenjata, kemudian pindah ke Pedoman.<br /><br />Toety Heraty Noerhadi yang kalau menulis mempergunakan Toety Heraty, dilahirkan di Bandung tahun 1934, baru mulai mengumumkan sajak-sajaknya pada tahun 1967 dalam Horison. Ia merupakan seorang sarjana psikologi yang disamping menulis sajak juga menulis esai.<br /><br />9. Drama<br /><br />Penulisan drama pada masa dulu lebih banyak dimaksudkan sebagai drama bacaan, sedang drama baru lebih erat hubungannya dengan pementasan. Para penulis drama kebanyakan ialah orang-orang yang aktif dalam bidang pementasan, baik sebagai sutradara maupun pemain. Contoh pengarang drama:<br /><br />1. Mohamad Diponegoro seorang ketua group drama teater muslim di Yogyakarta. Contoh karyanya antara lain : Iblis, Surat pada Gubernur. Dia juga dikenal sebagai penulis cerpen dan penerjemah ayat-ayat Alquran secara puitis. Namun sampai sekarang karnyanya belum diterbitkan.<br />2. M. Yunan Helmy Nasution ketua Himpunan Seniman Budayawan Islam (HSBI).<br />3. Saini K.M seorang penyair juga pemain teater Perintis Bandung.<br />4. B. Soelarto dengan karyanya Domba-domba Revolusi.<br />5. Arifin C. Noer aktif di teater Muslim dan group drama di Yogyakarta tahun 1968 dia pindah ke Jakarta dan membentuk Teater kecil.dua aktif sebagai sutradara dan pemain. Ia banyak menulis sajak, drama, kritik dan esai. Bahkan dramanya yang berjudul “Matahari di sebuah Jalan Kecil” dan “Nenek Tercinta” mendapat hadiah sayembara penulisan drama teater Muslim tahun 1963.<br /><br />10. Esai<br /><br />Pada angkata 45 para penulis esai dapat dihitung dengan jari. Setelah itu bermunculan penulis-penulis esai dan yang paling dikenal Iwan Simatupang. Dia banyak melontarkan gagasan-gagasan dan perspektif-prespektif baik. Namun esai-esai yang ada dalam malajah-majalah yang pertama memuatnya hampir semua terbenam. Kumpulan esai tentang persoalan sastra telah diterbitkan oleh Setyagraha Hoerip Soeprobo dengan judul “Antologi Esai sekitar persoalan Sastra (1969).</div>Dunia Sastra Indonesiahttp://www.blogger.com/profile/01135526422163255710noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6246472953027076215.post-14580385222285191202008-06-02T05:43:00.000-07:002008-06-02T05:45:41.220-07:00<div style="text-align: justify;"><span style="font-weight: bold;"> Tentang Sastra</span><br /><br /><br /><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-size:130%;">SASTRA PERIODE 1961-Sekarang</span><br /></div><br /><br />1. Sastra dan Politik<br /><br />Merupakan suatu kenyataan sejarah bahwa sudah sejak awal pertumbuhan sastrawan-sastrawan Indonesia menunjukkan perhatian yang serius kepada politik. Bahkan ada di antaranya yang kemudian lebih terkenal sebagai politikus daripada pengarang seperti Muh. Yamin dan Roestam Effendi. Demikian juga para pengarang pujangga baru ialah orang-orang yang aktif dalam dunia pergerakan nasional. Para pengarang pada awal revolusi bukanlah orang-orang yang bersifat a-politis. Chairil Anwar, Pramaedya Ananta Toer, Achdiat K. Mihardja, Mochtar Lubis merupakan orang-orang yang mempunyai pandangan dan kesadaran politik.<br /><br />Perbedaan-perbedaan pandangan mengenai seni dan sastra yang berpangkal pada perbedaan-perbedaan pendirian politik, sudah sejak lama kelihatan dalam dunia sastra Indonesia. Pada awal tahun lima puluhan terjadi polemik yang seru juga antara orang-orang yang membela hak hidup Angkatan 45 dengan orang-orang yang mengatakan “Angkatan 45 sudah mampus” yang berpangkal pada suatu sikap politik. Pihak yang berpaham realisme-sosialis, yaitu paham yang menjadi filsafat-seni kaum komunis aktif mengadakan polemik. Penganut paham realisme sosials yang paling keras teriakannya ialah As Dharta yang menjadi pokok soal bahan polemik-polemik ialah paham “seni untuk seni” dan “seni untuk rakyat”, orang-orang yang menganut paham realisme sosialis berpaham “seni untuk rakyat” sambil mengutuk orang-orang yang berpaham “seni untuk seni” sebagai penganut “humanisme universal” yang dicapnya sebagai filsafat kaum borjuis kapitalis yang bobrok.<br /><br />Yang paling bernilai diantara polemik-polemik itu karena kedua belah pihak menulis dengan kepala dingin dan pandangan yang luas serta hati terbuka ialah yang terjadi sekitar tahun 1954 antara Boejoeng Saleh Poeradisastro dengan Soedjatmoko berkenaan dengan pandangan-pandangan Soedjatmoko dalam karangannya “Mengapa Konfrontasi”.<br /><br />Pada tahun 1950 berdirilah di Jakarta Lembaga Kebudayaan Rakyat yang kemudian lebih terkenal dengan sebutan Lekra. Sebagai sekretaris jenderalnya yang pertama bertindak As. Dharta. Pada mulanya Lekra ini belum merupakan organ kebudayaan dari PKI. Diantara yang hadir pada ketika pembentukan Lekra itu terdapat orang-orang yang kemudian menjadi musuh antara lain HB Jassin dan Achdiat K. Mihardja. Setelah PKI kuat kedudukannya, Lekra secara resmi menjadi organ kebudayaannya. Lekra dengan tegas menganut “seni untuk rakyat” dan menghantam golongan yang menganut paham “seni untuk seni”.<br /><br />Dalam gelanggang percaturan politik PKI makin kuat kedudukannya. Tahun 1959 Soekarno mendekritkan UUD 1945 berlaku lagi dan mengajukan “Manifesto Politik” (Manipol) sebagai dasar haluan negara. Manipol memberikan ruang gerak kepada PKI untuk merebut tempat-tempat dan posisi-posisi penting untuk merebut kekuasaan.<br /><br />Dalam usahanya mempersiapkan diri untuk merebut kekuasaan itu, PKI mengerahkan segala kekuatan dalam segala bidang. Dalam bidang kebudayaan dilakukan oleh Lekra. Lekra melakukan teror terhadap orang-orang dan golongan yang dianggapnya tidak sepaham.<br /><br />Dalam bidang sastra satu persatu pengarang yang mempunyai paham berbeda dengan mereka, dihantam dan dimusnahkan. Sutan Takdir Alisjahbana yang politis menjadi anggota partai yang dibubarkan (PSI) dan Hamka (Masyumi) menjadi sasarannya. Buku-buku mereka dituntut supaya dilarang dipergunakan.<br /><br />Tahun 1950 PNI membentuk Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) diketuai oleh Sita Situmorang. NU membentuk Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI) dengan ketua Osman Ismail. Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Syariat Islam Indonesia (PSII), Partai Indonesia (Partindo).<br /><br />Dengan berbagai cara para budayawan, seniman, dan pengarang Indonesia dipaksa masuk Lekra. Organisasi-organisasi yang hendak berdiri sendiri (independen) terus diteror dan difitnahnya seperti terjadi dengan Himpunan Mahasiswa islam (HMI) dan Pelajar Islam Indonesia (PII).<br /><br />2. Manifes Kebudayaan dan Konferensi Karyawan Pengarang se Indonesia<br /><br />Mei 1961 diterbitkan Majalah Sastra. Ketua : HB. Jassin, Redaktur penyelenggara : DS. Moeljanto. Majalah sastra mengutamakan memuat cerpen, juga sajak, kritik dan esai.<br /><br />Beberapa pengarang esai yang banyak menulis pada masa itu adalah Goenawan Mohamad, Arief Budiman (Soe Hok Djin) D.A Peransi, dan lain-lain. Beberapa penulis esai seperti Iwan Simatupang dan Wiratmo Soekito juga banyak menulis dalam majalah sastra. Boen S. Oemarjati, M.S Hutagalung, Virga Belan, Salim Said juga sering mengumumkan kritik-kritiknya dalam majalah tersebut.<br /><br />Pengarang-pengarang cerpen dalam majalah sastra antara lain B. Soelarto Bur Rasuanto, A. Bastari Asnin, Satyagraha Hoerip Soeproto Kamal Hamzah, Ras Siregar, Sori Siregar, Gerson Poyk, B. Jass, dan lain-lain. Sedang para penyair antara lain: Isma Sawitri, Goenawan Mohamad, M. Saribi Afn, Poppy Hutagalung, Budiman S. Hartojo, Arifin C.Noer, Sapardi Djoko Danomo, dan lain-lain.<br /><br />17 Agustus 1963 diumumkan “Manifes Kebudayaan” yang disusun dan ditandatangani sejumlah pengarang dan pelukis Jakarta, antara lain H.B Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Goenawan Mohamad, Bokor Hutasuhut, Soe Hok Djin, dan lain-lain.<br /><br />Manifes Kebudayaan<br /><br />Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan mengumumkan sebuah manifes kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik kebudayaan nasional kami.<br /><br />Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektoral kebudayaan di atas sektor kebudayaan lain. Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.<br /><br />Dalam melaksanakan kebudayaan nasional kami berusaha mencipta dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia ditengah-tengahnya masyarakat bangsa-bangsa. (Jakarta, 17 Agustus 1963)<br /><br />PANCASILA adalah falsafah kebudayaan kami.<br /><br />Jakarta, 17 Agustus 1963<br /><br />Manifes ini segera mendapatkan sambutan dari pelosok tanah air. Di pihak lain, manifes itu mempermudah Lekra beserta kampanyenya untuk menghancurkan orang-orang yang mereka anggap sebagai musuh. Namun, pihak manifes pun tidak tinggal diam mereka mempersiapkan konferensi pengarang yang mereka namakan Konferensi Karyawan Pengarang Se-Indonesia (KKPI). Konferensi ini berlangsung di Jakarta bulan Maret 1964, yang menghasilkan Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia (PKPI). Tapi, sebelum PKPI berjalan, Soekarno (presiden saat itu) menyatakan manifes kebudayaan terlarang. Para budayawan, seniman, dan pengarang penandatanganan manifes kebudayaan diusir dari tiap kegiatan, ditutup kemungkinan mengumumkan karya-karyanya, bahkan yang menjadi pegawai pemerintah dipecat dari pekerjaannya.<br /><br />Perkataan ‘Manikebuis’ menjadi istilah populer untuk menuduh seseorang “kontra revolusi, anti-manipol, anti-lisdek, anti-nasakom dan sebagainya. Majalah sastra dituntut dilarang terbit. Demikian juga majalah Indonesia, dan lain-lain.<br /><br />Situasi ini memberi ciri kepada karya-karya sastra yang dihasilkan period ini. Yang ingin membela kemerdekaan manusia yang diinjak-injak tirani mental dan fisik. Sajak-sajak, cerpen-cerpen, terutama esai-esai yang ditulis merupakan protes sosial dan protes terhadap penginjakan martabat manusia. Puncaknya adalah sajak-sajak Taufiq Ismail, Mansur Samin, Slamet Kirnanto, Bur Rasuanto, dan lain-lain yang ditulis ditengah demonstrasi mahasiswa dan pelajar awal tahun 1966. Sajak-sajak demonstrasi yang dikumpulkan Taufik Ismail dalam Tirani dan Benteng (tahun 1966) merupakan dari suatu period sejak tahun 1966, terbit majalah Horison ynag dipimpin Mochtar Lubis, H.B Jassin, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, Arief Budiman, dan lain-lain. Akhir tahun 1967, majalah sastra dihidupkan kembali dengan pimpinan redaksi H.B jassin, terbit pula majalah cerpen dipimpin Kassim Achmad dan D.S Moeljanto. Sejak Juni 1968 terbit majalah Budaya Djaja yang dipimpin Ilen Surianegara dengan redaksi Ajip Rosidi dan Hariyadi S. Hartowardjojo. Majalah-majalah itu isinya menunjukkan hasil-hasil masa transisi.<br /><br />3. Para Pengarang Lekra<br /><br />Karangan-karangan yang ditulis oleh pengarang bukan anggota Lekra, asalkan menguntungkan bagi pihak Lekra, maka karangan tersebut diterbitkan juga. Misalnya kumpulan sajak Sitor Situmorang yang berjudul “Zaman Baru” tahun 1962 diterbitkan oleh organ penerbitan Lekra.<br /><br />Kecuali ruangan kebudayaan dalam surat kabar partai “Harian Rakyat” yang dipimpin oleh NR. Bandaharo, Lekra mempunyai majalah “Zaman Baru” yang dipimpin oleh Rivai Apin. S. Anantaguna dan lain-lain. Beberapa bulan menjelang Gestapu, mereka menerbitkan harian “Kebudayaan Baru” yang dipimpin oleh S. Antaguna, yang dalam penerbitannya selalu dimuat sajak-sajak, cerpen-cerpen, esai-esai dan karangan-karangan lain baik asli maupun terjemahan karya para anggota Lekra atau bukan.<br />Paramoedya Ananta Toer yang merupakan salah seorang ketua lembaga seni sastra (Lekra) dan salah seorang anggota pleno Pengurus Pusat Lekra, memimpin ruangan kebudayaan lentera dalam surat kabar “Bintang” (timur) minggu yang resminya ialah koran Partindo.<br /><br />Di antara golongan nama-nama baru yang untuk pertama kali menulis, ada juga nama-nama yang sudah dikenal sebagai pengarang yang kemudian masuk Lekra. Nama-nama yang sudah dikenal itu antara lain Rivai Apin, S. Rukiah, Kuslan Budiman, S. Wisnu Kontjahjo, Sobron Audit, Utuy T. Sontanz Dadang Djiwapradja, paramoedya Ananta Toer dan lain-lain.<br /><br />Di antara para penulis yang namanya sejak mulai muncuk selaku dalam lingkungan Lekra ialah A.S, Dharta Bachtiar Siagin, bakri Siregar, Hr. Bandaharo, F.L. Risakorta, Zubir A.A, A. Kohor Ibrahim, Amarzam Ismail Hamid, S. Anantaguna. Again Wispi, Kusni Sulang, B.A Simanjuntak, Sugiarti Siswandi, Hadi S dan lain-lain.<br /><br />AS Dharta alias Kelana Asmara, alias Klara Akustia alias Yogaswara alias Garmaraputra dan sejumlah alias lagi nama sebenarnya ialah Rodji, lahir di Cibeber, Cianjur tanggal 7 Maret 1923. Ia seorang pendiri Lekra dan menjadi sekretaris jenderalnya yang pertama, ia pernah menjadi anggota konstitutuante sebagai wakil PKI dan dipecat oleh Lekra. Sajak-sajaknya diterbitkan dengan judul “Rangsang Detik” tahun 1957 dan karangan-karangan Polemis dengan H.B Jassin dan lain-lain.<br /><br />Bachtiar Siangin banyak menulis Sanoiwara, ia menerbitkan beberapa buku sandiwara, diantaranya Lorong Belakang (1950). Agam Wispi lahir di Idi, Aceh tahun 1934. Mula-mula menulis cerpen dan sajak, kemudian esai dan bentuk-bentuk sastra lain. Sejumlah sajaknya dimuat juga dalam berbagai penerbitan bersama yang dikumpulkan dalam “sahabat” (1959).<br /><br />S. Anantaguna (lahir di Klaten tanggal 9 Agustus 1930) mula-mula menulis sajak-sajak tetapi kemudian menulis juga cerpen dan karangan-karangan lain. Sajak-sajak yang diterbitkan dalam kumpulan “yang Bertanah Air Tapi Tidak Bertanah” (1964).<br /><br />Sobron Aidit lahir di Belitung 2 Juni 1934 juga mula-mula hanya menulis sajak kemudian juga menulis cerpen dan roman. Sajak-sajak awal (sebelum ia aktif menjadi anggota Lekra) sebagian dimuat dalam kumpulan bersama Asip Rosidi dan S.M. Ardan berjudul “Ketemu di Jalan” (1956). Sejumlah sajaknya dibukukan dalam palang bertempur (1959) sedangkan cerpen dan novel revolusinya diterbitkan dengan judul Derap Revolusi (1962).<br /><br />Hadi S. yang nama panjangnya ialah Hadi Sosrodanukusumo terutama menulis sajak yang sebagian telah diterbitkan dengan judul “Yang Jatuh dan Yang Tumbuh” (1954).<br />Penyair Lekra diantara yang muda ialah Amarzan Ismail Hamid (lahir ?) yang kadang-kadang juga menulis cerpen dan esai.<br /><br />4. Para Pengarang Keagamaan<br /><br />Yang mau menyaingi Lekra dalam bidang penerbitan buku-buku sastra barangkali hanya Lembaga Kebudayaan Kristen (Lekrindo) saja. Beberapa buku kumpulan sajak dan cerita-cerita karangan para pengarang Kristen yang pernah diterbitkan antara lain “Kidung Keramahan” (1963) kumpulan sajak Soeparwata Wiraatmdja ‘Hari-hari Pertama oleh Gerson Poyk, dan kumpulan sejak malam sunyi (1961) dan basah dan peluh (1962) kedua-duanya buah tangan Fridolin Ukur.<br /><br />Buku-buku karya sastra yang bernafaskan agama Islam tidaklah diterbitkan oleh lembaga-lembaga atau badan-badan yang ada sangkut pautnya dengan lembaga-lembaga kebudayaan itu kumpulan-kumpulan cerpen dan roman. Kumpulan cerpen dan roman Djamil Suherman yang berdujul “Umi Kalsum” dan “Perjalanan Ke Akhirat” diterbitkan oleh penerbit Nusantara. Kumpulan sajak M. Saribi Afn “Gema Lembah Cahaya” (1964) diterbitkan oleh Pembangunan. Dan kumpulan sajak delapan orang penyair Islam yang berjudul “Manifes” (1963 diterbitkan oleh penerbit Tintamas)”.<br /><br />Sementara itu orang-orang Katolik mempunyai sebuah majalah bulanan kebudayaan umum yang terbit di Yogyakarta, basis yang terbit sejak tahun 1951, tetapi baru pada paruh kedua tahun lima puluhan memberikan perhatian dan tempat yang lebih banyak buat masalah sastra dan karya-karya sastra.<br /><br />Di antara para pengarang keagamaan lain yang telah menulis sajak-sajak dan cerpen-cerpen yang dimuat dalam majalah-majalah. Tetapi belum menerbitkan buku, antara lain patut disebut disini M. Abnar Romli, Abdulhadi W.M, B. Jass, M. Josa Biran, Moh. Diponegoro dari agama Islam dan M. Poppy Hutagalung, Andre Hardjana, Satyagraha Hoerip Soeprobo, Bakti Soemanto, J. Sijaranamual dan lain-lain dari agama Kristen dan Katolik.<br /><br />5. Sajak-Sajak Perlawanan Terhadap Tirani<br /><br />Para mahasiswa dan pelajar di Indonesia berdemonstrasi menuntut untuk membubarkan PKI, ritual kabinet Dwikora dan turunkan harga, yang biasa disebut Tritura. Para pengarang dan penyair pun turut serta secara aktif dengan cara menulis sajak-sajak perlawanan terhadap tirani. Diantaranya adalah Tirani dan Benteng oleh Taufiq Ismail, perlawanan oleh Mansur Samin, Mereka Telah Bangkit oleh Bur Rasuanto, Pembebasan oleh Abduk Wahid Sitomorang, Kebangkitan oleh lima penyair mahasiswa Fakultas Sastra, Ribeli yang ditulis oleh Aldiah Arifin, Djohan A. Nasution dan dua pengaduan Lubis, dan sajak-sajak yang lain.<br /><br />Yang paling penting adalah kumpulan sajak Tirani yang tercetak pada tahun 1966 dan Benteng tahun 1968.<br /><br />Adanya protes sosial dan politik dalam sajak itu menyebabkan H.B. Jassin memperoklamasikan lahirnya ‘Angkatan 66” dalam majalah Horison (1966), yang mengatakan bahwa khas pada hasil-hasil kesusastraan 66 ialah protes sosial dan protes politik. H.B. Jassin mengatakan bahwa pengarang yang masuk “Angkatan 66” adalah mereka yang pada tahun 1945 berumur kira-kira 6 tahun dan pada tahun 1966 berumur 25 tahun, mereka adalah Ajip, Rendra, Yusach Ananda, Bastari Asnin, Hartoyo Andangdjaja, Mansur Samin, Sarbini Afn, Goenawan Mohammad. Indonesia O’Galelano, Taufiq Ismail, Navis, Soewardi Idris, Djamil Suherman, Bokar Hulasuhut”.<br /><br />Terhadap ‘Angkatan 66’ ini timbul berbagai reaksi Rachmat Djoko Pradopo di Horison (1967) menyambut ‘Angkatan 66” sastra Indonesia dengan baik, sedangkan Satyagraha Hoerip Soeprobo dan Arief Budiman lebih menyukai nama ‘Angkatan Manifes (Kebudayaan)”.<br /><br />6. Beberapa Pengarang<br /><br />a. B. Soelarto<br /><br />Lahir tanggal 11 September 1936 di Purwarejo. Ia menulis cerpen yang penuh dengan protes dan ejekan dan hanya catatan-catatan mengenai situasi politik dan sosial. Dramanya yang berjudul Domba-Domba Revolusi mendapat reaksi dari orang-orang Lekra. Kemudian drama itu ditulis dalam bentuk novel yang berjudul Tanpa Nama oleh Nusantara tahun 1963. Balai Pustaka juga menerbitkan sramanya yang berjudul Domba-Domba Revolusi (1968).<br /><br />b. Bur Rasuanto<br /><br />Lahir di Palembang, 6 April 1937. Ia menulis sajak, esai dan roman. Tahun 1967 ia pergi ke Vietnam menjadi wartawan Perang Harian Kami. Cerpen-cerpennya dikumpulkan dalam Bumi Yang Berpeluh (1963) dan Mereka Akan Bangkit (1964). Sajak-sajaknya berjudul Mereka Telah Bangkit diterbitkan dengan stensil. Romannya berjudul Sang Ayah (1969), dan Manusia Tanah Air.<br /><br />c. A. Bastari Asnin<br /><br />Lahir tanggal 29 Agustus 1939 d Muara Dua, Palembang. Ia bekerja sebagai anggota redaksi Harian Kami. Cerpen-cerpennya diterbitkan berupa buku dalam dua kumpulan yaitu Ditengah Padang dan Laki-Laki Berkuda.<br /><br />d. Satyagraha Hoerip Soeprobo<br /><br />Lahir di Lamongan 7 April 1934, ia banyak menulis cerpen dan esai tentang kebudayaan. Romannya Sepasang Suami Istri melukiskan kehidupan seorang suami politikus. Ia juga pernah menulis buku berupa cerita wayang berjudul Resi Bisma. Tahun 1969, ia muncul sebagai editor sebuah buku Antologi Eser Sekitar Persoalan-Persoalan Sastra yang memuat esai karya Asrul Sani, Iwan Simatupang, Goenawan Mohamad, Arief Budiman, dan lain-lain.<br /><br />e. Gerson Poyk<br /><br />Lahir di Namodale, Pulau Roti, 16 Juni 1931. Buku pertamanya sebuah roman pendek berjudul Hari-Hari Pertama (1964). Ia menjadi wartawan surat kabar Sinar Harapan, Jakarta.<br /><br />Pengarang-pengarang kita seperti Fas Siregar menerbitkan kumpulan cerpen berjudul Harmoni dan roman Terima Kasih. LC. Bach menerbitkan sebuah riman yang berjudul hari Membaja. Djumri Obeng menerbitkan roman yang berjudul Dunia Belum Kiamat. Poernawan Tjonsronagoro menerbitkan Mendarat Kembali dan Mabuk Sake. Rosidi Amir menerbitkan Jalan yang Tak Kunjung Datat. Zen Rosidy menerbitkan cerpen berjudul Cinta Pertama. Tabrin Tahar menrbitkan Guruh Kering. Maria Madijah menulis roman Kasih di Medan Perang.<br />Di majalah Sastra dan Horison juga ada beberapa pegnarang baru, misalnya Zulidahlan, Umar Kayam, Danarto, Muh. Fudali, Julius Sijaranamual, dan lain-lain yang belum mendapat kesempatan untuk mencetak cerpen-cerpen mereka menjadi buku.<br /><br />7. Beberapa Penyair<br /><br />a. Taufiq Ismail<br /><br />Lahir tahun 1937 di Bukit Tinggi dan dibesarkan di Pekalongan. Beliau mulai mengumumkan sajak-sajak, cerpen-cerpen dan esai-esainya sejak tahun 1954. Baru pada awal tahun 1966 ia muncul ke permukaan ketika karyanya berjudul “Tirani” berisi sajak-sajak diumumkan di tengah-tengah demonstrasi para mahasiswa dan pelajar yang menyampaikan “Tritura”. Dalam karyanya ini, beliau memakai nama samaran Nur Fadjar. Sajak-sajak itu berjumlah 18 dan dituliskan dalam waktu seminggu, antara tanggal 20 dan 28 Februari 1966 dan diterbitkan pertama kali di Majalah Gema Psycholohi. Kali ini Taufiq sudah terang-terangan mengumumkan namanya sendiri.<br /><br />Antara tanggal 20 sampai 28 Februari 1966 di Jakarta terjadi peristiwa-peristiwa penting. Demonstrasi mahasiswa dan pelajar yang menuntut Tritura, uang diganti, bensin dinaikkan harganya, ongkos bis kota dinaikkan lima kali lipat. Tanggal 24 Februari kabiner Dwikora yang baru dan malah memasukkan menteri-menteri Gestapu lebih banyak lagi akan ditantik. Para mahasiswa dan pelajar bergerak. Bentrokan terjadi disertai penembakan. Arif Rahman Hakim tertembak dan wafat. Hal ini menyebabkan para mahasiswa dan pelajar lebih marah lagi. Pemakaman Arif Rahman Hakim dilakukan secara pahlawan dan orang yang mengiringi jenazahnya pe pekuburan sangat banyak.<br /><br />Latar belakang itu harus dipahami agar kita dapat menikmati sajak-sajak Taufiq Ismail dalam Tirani yang menggugah rangsang emosional pembacanya secara meluas.<br /><br />Peristiwa di Skeretariat negara (penembakan dan beberapa orang mahasiswa terluka) direkamkan dalam sajak ‘Sebuah Jaket Berlumur Darah’, ‘Harmoni’, ‘Jalan Segara’. Penembakan Arif Rahman Hakim direkamkan dalam sajak ‘Karangan Bunga’, Salemba’, ‘Percakapan Angkasa’, ‘Aviasi’, dan ‘Seorang Tukang Rambutan pada Isterinya’.<br /><br />Sajak-sajak yang dimuat dalam “Benteng” tak jauh beda dengan yang dimuat dalam “Tirani”. Hanya dalam Benteng pikiran sudah lebih banyak bivara. Dalam sajaknya ‘Rendezvous’, Taufiq yakin bahwa tugas yang ketika itu sedang dilakukannya ialah tugas sejarah yang tak bisa dielakkan. Maka tujuan dan cita-cita yang lebih terperinci dirumuskannya dalam ‘Yang Kami Minta Hanyalah’, ‘Refleksi Seorang Pejuang Tua’, ‘Benteng’, dan ‘Nasihat-nasihat Kecil Orang tua pada Anaknya Berangkat Dewasa’.<br /><br />b. Goenawan Mohamad<br /><br />Dikenal sebagai penulis esai yang tajam dan penuh dengan kesungguhan. Tetapi ia pun sebenarnya seorang penyair berbakat dan produktif. Sajak-sajaknya banyak tersebar dalam majalah-majalah. Sajak-sajak itu mempunyai suasana muram sepi menyendiri. Kesunyian manusia di tengah alam sepi tanpa kata banyak menjadi temannya, misalnya ‘Senja pun Jafi Kecil, Kota pun jadi Putih’ (Horison 1966). Tetapi, ia juga menaruh perhatian kepada masalah-masalah sosial dan kehidupan sekelilingnya. Misalnya sajak ‘Siapakah Laki-laki yang Roboh di Taman ini ?’ (Basis 1964).<br /><br />Juga masalah agama banyak menjadi tema. Situasi kehidupan agama menyebabkan ia berpendapat : “………manusia tak lagi bebas, di mana agama bukan lagi merupakan kekuatan rohaniah, tetapi sudah merupakan kekuatan jasmaniah yang mengontrol tindak tanduk manusia. Manusia lama-kelamaan tidak lah menyembah Tuahn, tetapi menyembah agama dengan segala aturan-aturannya yang mendetail”. Selanjutnya ia berkata: “Tak lain adalah bersikap kreatif yang membawa kita ke arah cara berfikir yang dialektik, sehingga segala macam ortodoksi setapak dmi setapak akan luntur, dekimian pula segala macam fanatisme dan segala bentuk sektarisme. Bagi kehidupan keagaman itu sendiri sikap kreatif itu amat diperlukan untuk membawa agama kearah modernisasi dalam cara berfikir dan dengan demikian, juga modernisasi seluruh masyarakat” (Horison 1966).<br /><br />Goenawan lahir di Pekalongan tahun 1942 sajak-sajak da esai-esainya belum diterbitkan sebagai buku kecuali yang dimuat bersama buah tangan para penyair lain dalam manifestasi yang diselenggarakan oleh M. Saribi Afn.<br /><br />Penyair-penyair lain<br /><br />Saini K.M (lahir di Sumedang pada tanggal 16 Juni tahun 1938) banyak menulis sajak-sajak yang dimuat majalah-majalah sekitar tahun enam puluhan. Selain itu, beliau juga menulis cerpen dan esai serta menerjemahkan dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerahnya, bahasa Sunda. Kumpulan sajaknya “Nyanyian Tanah Air” (tahun 1968) memuat sepilihan sajak-sajaknya.<br /><br />Sapardi Djoko Damono menulis sajak yang kesederhaan pengucapannya langsung menyentuh hati. Sajak-sajak yang ditulisnya tahun 1967-1968 diterbitkan akhir 1969 dengan judul “Duka Mu Abadi”.<br /><br />Wing Kardjo Wangsaatmadja (lahir di Garut pada tanggal 23 April 1937) sudah menulis sajak pertengahan tahun lima puluhan. Ia telah mengumumkan satu-dua sajaknya pada masa itu. tetapi baru setelah ia bermukim di Paris (tahun 1963-1967), ia mengumumkan sajak-sajaknya secara berlimpah. Selain itu, ia banyak menerjemahkan dan menulis esai dan kritik tentang persoalan-persoalan seni umumnya.<br /><br />Budiman S. Hartojo (lahir di Solo pada tanggal 5 Desember 1938) juga banyak menulis sajak-sajak dalam berbagai majalah. Demikian pula Piek Ardiajnto Suprijadi, Arifin C. Noer, Abdulhadi W.M, Indonesia O’Galelano, Sanento Juliman, Darmanto Jt, dan lain-lain.<br /><br />Beberapa penyair telah berbahagia dapat melihat kumpulan sajaknya terbit, misalnya Kamal Firdaus T.F menerbitkan “Di Bawah Fajar Menyingsing” (1965), dan Rachmat Djoko Pradopo (lahir 3 Novemcber 1939 di Klaten) menerbitkan “Matahari Pagi di Tanah Air” (1967) dan Slamet Kirnanto menerbitkan “Kidung Putih”, “Puisi Alit” (1967).<br /><br />8. Para Pengarang Wanita<br /><br />Titie Said, S. Tjahjaningsih, Titis Basino, Sugiarti Siswandi, Ernisiswati Nutomo, Enny Sumargo, dan lain-lain sebagai pengarang prosa. Sedangkan sebagai penyair kita lihat munculnya Isma Sawitri, Dwiarti Mardjono, Susy Aminah Aziz, Bipsy Soerharjo, Toeti Heraty Noerhadi, Rita Oetoro dan lain-lain.<br /><br />Titie Said (Ny. Titie Raja Said Sadikun) adalah seorang wanita yang banyak menulis cerpen. Ia dilahirkan di Bojonegoro, 11 Juli 1935. Titie Said pernah menjadi anggota redaksi majalah Wanita. Cerpen-cerpennya kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul “Perjuangan dan Hati Perempuan” (1962). Sebagian besar dari cerpen-erpen yang dimuat dalam buku itu mengisahkan perjuangan dan perasaan hati perempuan. Cerpen-cerpennya “Maria” dan “Kalimutu” merupakan cerpen-cerpen terbaik yang dimuat dalam buku tersebut.<br /><br />S. Tjahjaningsih muncul dengan sebuah kumpulan cerpennya “Dua Kerinduan” (1963). Kebanyakan cerpennya belum meyakinkan kita akan kematangannya. Yang dia berikan tidak lebih dari hanya harapan untuk masa depan.<br /><br />Sugiarti Siswandi banyak menulis cerpen yang dimuat dalam lembaran-lembaran penerbitan Lekra. Kumpulan cerpennya “Sorga di Bumi” terbit tahun 1960. Disamping itu masih banyak lagi cerpen-cerpennya yang lain belum dibukukan.<br /><br />Ernisiswati Hutomo banyak menulis cerpen yang antara lain dimuat dalam majalah Sastra. Tetapi belum ada yang dibukukan. Demikian juga dengan Titis Basino yang menulis cerpen dengan produktif dalam cerpen-cerpen Titis banyak dilukiskan sifat dan tabiat wanita yang kadang-kadang tak terduga, merupakan misteri.<br /><br />Enny Sumarjo (lahir di Blitar pada tanggal 21 November 1943) terutama banyak mengumumkan buah tangannya berupa cerpen di daerah (Yogyakarta, Semarang). Kini ia telah menrbitkan sebuah roman berjudul “Sekeping Hati Perempuan” (1969).<br /><br />Susy Aminah Aziz (lahir di Jatinegara tahun 1939) telah berhasil menerbitkan sejumlah sajaknya dalam kumpulan berjudul “Seraut Wajahku” (1961). Tetapi sajak-sajak itu tak lebih dari pada hanya menjanjikan kemungkinan saja, seperti juga dengan sajak-sajak Dwiarti Mardjono yang dimuat dalam majalah sastra.<br /><br />Yang menulis sajak lebih dewasa dan lebih baik ialah Isma Sawitri dan belakangan ini Toety Heraty Noerhadi. Isma Sawitri dilahirkan di Langsa, Aceh, tanggal 21 November 1940. Sajak-sajaknya banyak dimuat dalam majalah Sastra, Indonesia dan majalah-majalah lain pada awal tahun enam puluhan. Kumpulan kwatrinnya yang diberinya berjudul “Kwatrin” terdiri dari lebih 100 buah, sedang menunggu penerbitannya. Sambil terus mengikuti kuliah di jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jakarta ia lama menjadi anggota redaksi surat kabar Angkatan Bersenjata, kemudian pindah ke Pedoman.<br /><br />Toety Heraty Noerhadi yang kalau menulis mempergunakan Toety Heraty, dilahirkan di Bandung tahun 1934, baru mulai mengumumkan sajak-sajaknya pada tahun 1967 dalam Horison. Ia merupakan seorang sarjana psikologi yang disamping menulis sajak juga menulis esai.<br /><br />9. Drama<br /><br />Penulisan drama pada masa dulu lebih banyak dimaksudkan sebagai drama bacaan, sedang drama baru lebih erat hubungannya dengan pementasan. Para penulis drama kebanyakan ialah orang-orang yang aktif dalam bidang pementasan, baik sebagai sutradara maupun pemain. Contoh pengarang drama:<br /><br />1. Mohamad Diponegoro seorang ketua group drama teater muslim di Yogyakarta. Contoh karyanya antara lain : Iblis, Surat pada Gubernur. Dia juga dikenal sebagai penulis cerpen dan penerjemah ayat-ayat Alquran secara puitis. Namun sampai sekarang karnyanya belum diterbitkan.<br />2. M. Yunan Helmy Nasution ketua Himpunan Seniman Budayawan Islam (HSBI).<br />3. Saini K.M seorang penyair juga pemain teater Perintis Bandung.<br />4. B. Soelarto dengan karyanya Domba-domba Revolusi.<br />5. Arifin C. Noer aktif di teater Muslim dan group drama di Yogyakarta tahun 1968 dia pindah ke Jakarta dan membentuk Teater kecil.dua aktif sebagai sutradara dan pemain. Ia banyak menulis sajak, drama, kritik dan esai. Bahkan dramanya yang berjudul “Matahari di sebuah Jalan Kecil” dan “Nenek Tercinta” mendapat hadiah sayembara penulisan drama teater Muslim tahun 1963.<br /><br />10. Esai<br /><br />Pada angkata 45 para penulis esai dapat dihitung dengan jari. Setelah itu bermunculan penulis-penulis esai dan yang paling dikenal Iwan Simatupang. Dia banyak melontarkan gagasan-gagasan dan perspektif-prespektif baik. Namun esai-esai yang ada dalam malajah-majalah yang pertama memuatnya hampir semua terbenam. Kumpulan esai tentang persoalan sastra telah diterbitkan oleh Setyagraha Hoerip Soeprobo dengan judul “Antologi Esai sekitar persoalan Sastra (1969).</div>Dunia Sastra Indonesiahttp://www.blogger.com/profile/01135526422163255710noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6246472953027076215.post-82900129649786496302008-06-02T05:35:00.001-07:002008-06-02T05:42:12.811-07:00Sastra periode 1953-1961<div style="text-align: justify;"><span style="font-weight: bold;"> Tentang Sastra </span><br /><br /><br /><div style="text-align: center;"><span style="font-size:130%;">SASTRA PERIODE 1953-1961</span><br /></div><br /><br />1. Krisis Sastra Indonesia<br /><br />Pada bulan April 1952 di Jakarta diselenggarakan sebuah simposium tentang “Kesulitan-kesulitan Zaman Peralihan Sekarang” dalam simposium itu dilontarkan istilah “Krisis Akhlak”, “Krisis Ekonomi” dan berbagai krisis lainnya.<br /><br />Tahun 1953 di Amsterdam diselenggarakan simposium tentang kesusastraan Indonesia antara lain berbicara dalam simposium itu Asrul Sani, Sultan Takdir Ali Sjahbana, Prof. Dr. Werthim dan lain-lain. Disinilah untuk pertama kali dibicarakan tentang “Impasse (kemacetan) dan “krisis sastra Indonesia” sebagai akibat dari gagalnya revolusi Indonesia, tetapi persoalan tentang krisis baru menjadi bahan pembicaraan yang ramai ketika terbit majalah konfrontasi pada pertengahan tahun 1954. Nomor pertama majalah ini memuat essay Soejatmako berjudul “Mengapa konfrontasi” dalam karangan ini secara tandas dikatakan oleh penulisnya bahwa sastra penulisnya sedang mengalami krisis.<br /><br />Soejatmoko mengatakan bahwa sastra Indonesia sedang mengalami krisis karena yang ditulis hanya cerpen-cerpen kecil yang “berlingkar sekitar fsikologisme perseorangan semata-mata” roman-roman besar tak ada ditulis.<br /><br />Karangan Soejatmoko ini mendapat reaksi hebat, terutama dari kalangan sastrawan sendiri seperti : Nugroho Notosusanto, S.M. Ardan, Boejong Saleh, dan lain-lain. Begitu pula H.B. Jassin dalam simposium sastra mengemukakan sebuah prosaran yang diberinya judul “Kesusastraan Indonesia Modern tidak ada krisis” dengan bukti-bukti dari dokumentasi yang kengkap, Jassin pun menolak sebutan adanya krisis maupun impasse dalam kehidupan sastra Indonesia.<br /><br />Dalam tulisan berjudul “Situasi 1954” yang ditujukan kepada sahabatnya Ramadhan K.H, Nugroho Notosusanto mencoba mencari latar belakang timbulnya penamaan “Impasse sastra Indonesia” yang bagi dia tidak lebih hanya sebuah “Mite” (dagangan belaka). Menurut Nugroho asal timbulnya mite itu ialah pasimisme yang berjangkit dari kalangan orang-orang tertentu pada masa sesudah kedaulatan. Kecuali itu Nogroho pun melihat kemungkinan bahwa golongan “Old Cracks” angkatan 1945 pada sekitar tahun 1945 mengalami masa keemasan, pada masa sesudah tahun 1950 mengalami kemunduran.<br /><br />Sitor Sitomurang dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Krisis” H.B Jossin dalam majalah mimbar Indonesia mengemukakan pendapatnya bahwa yang ada bukanlah krisis sastra melainkan krisis ukuran menilai sastra. Sitor berkesimpulan bahwa krisis yang terjadi ialah krisis dalam diri jassin sendiri karena ukurannya tidak matang.<br /><br />2. Sastra Majalah<br /><br />Sejak tahun 1953 balai pustaka yang sejak jaman sebelum perang merupakan penerbit utama buat buku-buku sastra, kedudukannya tidak menentu. Demikian pula penerbit Pustaka Rakyat yang tadinya disamping balai pustaka merupakan penerbit nasional yang banyak menerbitkan buku-buku sastra, agaknya terlibat dalam berbagai kesukaran begitu juga dengan penerbitan buku lainnya seperti pembangunan, dan lainnya.<br /><br />Maka aktivitas sastra terutama hanya dalam majalah-majalah saja seperti gelanggang atau siasat, mimbar Indonesia, Zhenit, pujangga baru dan lain-ain. karena sifat majalah maka karangan-karangan yang mendapat tempat terutama yang berupa sajak, cerpen dan karangan-karangan lain yang tidak begitu panjang. Keadaan seperti itulah yang menyebabkan lahirnya istilah “sastra majalah” istilah ini pertama kali dilontarkan oleh Nugroho Notosusanto yang dimuat dalam majalah kompas yang dipimpinnya.<br /><br />Persoalan lahirnya angkatan sesudah Chairil Anwar. Dalam simposium sastra tahun 1955, Harijadi S. Hartowardoyo memberikan sebuah prosaran yang berjudul “Puisi Indonesia sesudah Chairil Anwar” juga dalam simposium-simposium di Jogyakarta, Solo dan kota-kota lain ada kecendrungan pikiran untuk menganggap telah lahir suatu angkatan para pengarang baru yang terasa tidak tepat lagi digolongkan kepada angakatan Chairil Anwar yang populer dengan nama angkatan 45 itu dalam simposium sastra yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 1960 Ajib Rosyidi memberikan sebuah prasaran tentang “sumbangan angkatan terbaru sastrawan Indonesia kepada perkembangan kesusastraan Indonesia “Dalam prasaran itu dicoba untuk mencari ciri-ciri yang membedakan angkatan terbaru dengan angkatan 45. Lebih lanjut dalam prasaran itu dikemukakan bahwa sikap budaya para sastrawan yang tergolong pada angkatan terbaru merupakln sintesin dari dua sikap ekstrim mengenai konsepsi kebudayaan Indonesia.<br /><br />Dalam seminar kesusastraan yang diselenggarakan oleh fakultas tahun 1963, Nugroho Notosusanto dalam ceramahnya berjudul “soal periodisasi dalam sastra Indonesia” mengemukakan bahwa memang ada periode sebelumnya. Nugroho menekankan pada kenyataan bahwa para pengarang yang aktif menulis pada periode 1950 ialah mereka yang telah mempunyai “sebuah tradisi Indonesia sebagi titik tolak”. Sifat imitatif dari Belanda atau Eropa berkurang. Pandangan keluar negeri tidak hanya Eropa melainkan keseluruh Dunia. Ditambah pula oleh penghargaan yang wajar kepada sastrawan-sastrawan Indonesia sendiri.<br /><br />Berbeda dengan para pengarang punjangga baru dan angkatan 45, para pengarang periode 50 ini lebih menitik beratkan pada penciptaan hal ini berhubungan juga tentu dengan kurangnya pengetahuan mereka pada saat itu. Baru kemudian setelah berkesempatan menambah pengetahuan pula, mereka merumuskan cita-cita dan kehadirannya.<br /><br />Dalam hal ini peranan majalah kisah (1953-1956), tidak bisa dibilang kecil, karena banyak pengarang yang muncul dalam periode ini mengumumkan tulisan-tulisannya yang mula-mula dalam majalah ini atau banyak pula pengarang yang sudah menulis sebelum tahun 1953, kemudian mendapat kesempatan berkembang sebaik-baiknya dalam majalah kisah.<br /><br />Di samping itu patut juga disebut majalah mahasiswa kompas yang setelah dipimpin oleh Nugroho Notosusanto sangat banyak memberikan perhatian kepada persoalan-persoalan dan karya-karya sastra, majalah prosa pimpinan Ajip Rosidi yang hanya terbit nomor, ruangan kebudayaan genta dalam majalah merdeka yang diasuh oleh S.M. Ardan dan kawan-kawan, majalah seni (terbit hanya setahun) majalah konfrontasi, majalah Tjerita dan majalah budaya (terbit di Yogyakarta) dan beberapa majalah lain, disamping majalah-majalah yang sudah lama ada seperti Mimbar Indonesia, Gelanggang atau Siasat Indonesia.<br /><br />Termasuk kepada para pengaran dari periode ini antara Nugroho Notosusanto, M. Hussyn Umar, Toto.S.Bachtiar, W.S.Wendra, N.H. Dini Subagio Sastrowardoyo, Trisnoyuono, S.M. Ardan, Rajino Paratikro, A.A. Navis, Sukanto. S.A, Iwan Simatupang.<br /><br />3. Beberapa Pengarang<br /><br />NUGROHO NOTOSUSANTO<br /><br />Nugroho Notosusanto terkenal sebagi penulis prosa, terutama pengarang cerpen. Tidak merasa mendapat kepuasaan dalam menulis sajak, ia lalu mengkhususkan diri sebagai pengarang prosa, terutama cerpen dan esai.<br /><br />Pengarang kelahiran Rembang 15 Juli 1930 ini sampai sekarang telah menerbitkan tiga buah kumpulan cerpen. Kumulan cerpennya yang pertama ialah Hujan Kepagian (1958). kemudian disusul oleh Tiga Kota (1959). Kumpulan cerpennya yang ketika berjudul Rasa Sajange (1963) yang antara lain memuat cerpannya yang paling berhasil berjudul “Jembatan”.<br /><br />Setelah menerbitkan ketiga buku itu, Nugroho lebih mencurahkan perhatiannya kepada penulisan-penulisan ilmiah dan sejarah. Ia menjadi kepala Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata dan sejak 1968 diangkat menjadi kolonel tituler, kemudian Brigader Jenderal.<br /><br />Nugroho dikenal sebagai penulis esai. Nugroho salah seorang di antara yang muda-muda ketika itu yang banyak menulis esai yang mencoba menyalami situasi jamannya. Terutama tentang sastra dan kebudayaan. Ia merupakan salah seorang pengambil inisiatif untuk mengadakan simposium sastra Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jakarta tahun 1953 yang kemudian dijadikan tradisi tahunan sampai dengan tahun 1958. Ia sendiri pada simposium tahun 1957 menjadi salah seorang pemrasaran yang mengemukakan tentang cerita pendek.<br /><br />A.A. Navis<br /><br />A.A. Navis lebih tepat digolongkan kepada angakatan ‘45. Ia lahir di Padangpanjang 17 November 1924. Ia baru muncul dalam gelanggang sastra Indonesia pada tahun 1955, yaitu ketika ia mengumumkan cerpennya yang pertama yang sekaligus menjadi terkenal berjudul “Robohnya Surau Kami”. Cerpen ini kemudian diterbitkan bersama-sama dengan beberapa buah cerpen lain dengan judul Robohnya Surai Kami (1956). Ketika dicetak ulang beberapa tahun kemudian, buku ini mengalami perubahan isi. Ada cerpen-cerpen baru ditambahkan, tetapi ada juga cerpen lama yang dicabut.<br /><br />Kumpulan cerpen navis yang lain ialah Hujan Panas (1964) dan Bianglala (1964). Pada umumnya cerpen-cerpen Navis padat dan mempunyai latar belakang sosial psikologis yang luas. Navis banyak mengkritik orang-orang yang melakukan syari’at agama (Islam) secara membuta dan taklid saja, karena menurut dia Islam harus dihayati secara rasional dan penuh prikemanusiaan.<br /><br />Kecuali menulis cerpen, Navis pun telah menulis sebuah roman berjudul Kemarau (1967). Juga dalam roman ini masalah agama dan pelaksanaannya mendapat sorotan pengarang secara tajam. Berdasarkan buah tangannya yang nyata banyak mempersoalkan masalah-masalah keimanan dan keagamaan Islam, pantas benar Navis disebut sebagai seorang pengarang Islam.<br /><br />TRISNOYUWONO<br /><br />Trisnoyuwono sudah mulai menulis cerpen-cerpen picisan pada tahun lima puluhan awal. Kumpulan cerpennya yang pertama laki-laki dan Mesiu (1957) mendapat hadiah sastra nasional dari B.M.K.N. tahun 1957-1958. Cerpen-cerpen Trisnoyuwono menarik karena ia melukiskan manusia dalam situasinya lengkap dengan ketakutan, nafsu birahi, kelemahan dan kekuatannya. Kumpulan cerpennya yang kedua berjudul Angin Laut (1958) tidak begitu meyakinkan. Kumpulan cerpennya yang berikutnya berjudul Di Medan Perang (1961) nilainya lebih baik. Terutama cerpen “Di Medan Perang” yang dijadikan judul kumpulan ini sangat kuat dan mengesan. Tak kelirulah kalau cerpen ini juga dianggap sebagai cerpennya terakhir ialah Kisah-Kisah Revolusi (1965),<br /><br />Salah sebuah cerpen yang dimuat Laki-laki dan Mesiu Kemudian dikerjakannya menjadi sebuah roman, judulnya sama dengan judul roman cerpen asalnya, yaitu Pagar Kawat Berduri (1962). Roman ini dibuat film oleh Asrul Sani sebagai sutradara dan roman ini telah pula menyebabkan Trisnoyuwono mendapat Hadiah Sastra Yamin.<br /><br />Di samping itu Trisnoyuwono yang lahir di Yogyakarta 5 Desember 1926 menulis pula beberapa buah roman lain berjudul Bulan Madu (1962), Petualang (1963) dan lain-lain.<br /><br />IWAN SIMATUPANG<br /><br />Iwan Simatupang (lahir di Sibolga pada tanggal 18 Januari 1928) mula-mula menulis sajak, kemudian esai. Cerpen-cerpen dan drama-drama yang ditulisnya, juga roman-romannya, tidaklah terikat oleh logika, plot dan perwatakan yang biasa. Drama absurd Eugene Ionesco dan lain-lainnya yang sesudah Perang Dunia kedua mendapat perhatian yang besar bukan saja di Eropa. Di antara drama-drama yang sudah diselesaikannya, banyak yang kemudian dimuat dalam majalah-majalah, antara lain yang berjudul “Bulan Bujur Sangkar’, “Taman’, RT Nol/RW Nol’.<br /><br />Di antara cerpen-cerpennya patut disebut ‘lebih Hitam dari Hitam’ (Siasat Baru 1959) sebagai sebuah cerpen yang baik sekali menyalam ke gua dasar jiwa manusia, mencari kebenaran antara sadar dan tak sadar.<br /><br />Iwan pun banyak menulis roman. Beberapa di antaranya berjudul Ziarah, Kering dan Merahnya Merah (1968). Yang menonjol dalam roman-roman (dan juga cerpen-cerpen, esai dan drama-dramanya) ialah gayanya yang padat.<br /><br />TOHA MOHTAR<br /><br />Pengarang yang sejak awal tahun lima puluhan produktif menulis cerpen-cerpen dalam majalah-majalah hiburan (anehnya tak pernah dia menulis dalam majalah sastra atau kebudayaan!) dengan nama samaran yang selalu berganti-ganti ialah Toha Mohtar. Ia mengejutkn dunia sastra Indonesia dengan sebuah roman berjudul pulang (1958). Roman ini mendapat hadiah sastra nasional B.M.K.N. tahun 1958.<br />Sebagai roman Pulang sangat sederhana, tetapi justru karena kesederhanaannya maka ia terasa jernih bening setelah penulis Pulang, Toha Mohtar menulis pula Daerah Tak Bertuan (1963), sebuah kisah revolusi yang digali dari pengalaman perjuangan di Surabaya ketika para pemuda mempertahankannya dari serbuan tentara sekutu. Roman ini tidaklah menandingi Pulang yang ditulisnya lebih dahulu. Belakangan terbit pula romannya yang lain yang berjudul Bukan Karena Kau (1968) dan Kabut Rendah (1968).<br /><br />SUBAGIO SASTROWARDOJO<br /><br />Subagio Sastrowardojo lebih dikenal sebagai penyair dan bukunya yang pertama merupakan kumpulan sajak, yaitu Simphoni (1957). Cerpen-cerpennya dibukukan dengan judul Kejantanan di Sumbing (1965).<br />Cerpennya ‘Perawan Tua’ sangat menyaran, melukiskan keadaan jiwa seorang gadis yang karena mau setia kepada kekasihnya yang gugur dalam pertempuran melawan belanda lalu menghadapi hidupnya yang sepi. ‘Perawan Tua’ merupakan salah sebuah prosa terindah yang pernah ditulis dalam bahasa Indonesia. Sajak Subagio yang belum diterbitkan sebagai buku antara lain yang termuat dalam naskahnya Daerah Perbatasan dan Salju.<br /><br />MOTINGGO BOESJE<br /><br />Motinggo Boesje lahir di Kupang kota, Lampung tanggal 12 November 1937. Buku yang ditulis dan diterbitkannya berupa roman-roman. Ia pun menulis cerpen dan drama. Drama-Drama yang ditulisnya umumnya berbentuk novela mengikuti cara penulisan drama Utuy T. Sontani.<br /><br />Dengan drama pula Motinggo pertama kali menarik perhatian orang kepadanya. Ketika ia mendapat hadiah dalam sayembara penulisan drama yang diadakan tahun 1958. Dramanya Malam Jahanam mendapat hadiah pertama. Drama lainnya yang ditulis kemudian ialah antara lain Badai Sampai Sore (1962), Nyonya dan Nyonya (1962), Malam Pengantin di Bukit Kera (1963) dan lain-lain.<br /><br />Sebelum menulis drama, Motinggo menulis cerpen dan sajak. Cerpennya kemudian dibukukan antara lain Dalam Keberanian Manusia (1962), Nasehat Untuk Anakku (1963), Matahari Dalam Kelam (1963) dan lain-lain.<br /><br />Kemudan yang secara manakjubkan tak habis-habisnya ditulis Motinggo ialah roman. Diantaranya Tidak Menyerah (1962) merupakan cerita menarik yang secara simbolik melukiskan tentang palimo pemburu tua yang kesepian pantang menyerah kepada harimau tua yang mengganas di kampungnya. Sejuta Matahari (1963) mengungkapkan suatu persoalan sosial 1944 (1962) merupakan roman sebuah revolusi. Masih banyak lagi roman-roman Motinggo yang lain. Misalnya : Dosa Kita Semua (1963), Tiada Belas Kasihan (sebuah roman pendek, 1963), Batu Serampok (juga sebuah legenda, 1963), Titisan Dosa di atasnya (1964), Ahim-Ha, Manusia Sejati (1963), Perempuan itu Bernama barabah (1963), Dia Musuh Keluarga (1968) dan lain-lain.<br /><br />PARA PENGARANG LAIN<br /><br />1. Rijono Pratikto (lahir di tegal tanggal 27 Agustus 1932) telah mulai menulis sejak masih duduk di SMP. Cerpen-cerpennya dimuat dalam majalah terkemuka di Jakarta sejak tahun 1949. Rijono merupakan pengarang yang paling banyak menulis cerpen di Indonesia. Cerpen permulaannya kemudian diterbitkan dengan judul Api dan Beberapa Cerita Pendek Lain (1951). Cerpen-cerpennya kemudian mendapat ciri sebagai ‘cerita-cerita serem’. Cerpen semacam ini dibukukan dalam Si Rangka dan Beberapa Cerita Pendek lain (1958). Karangan-karangan Rijono yang masih tersimpan antara lain fragmen roman dalam persiapan” seperti ‘Gua (dalam Indonesia), ‘Dua Manusia Sepanjang Bukit’ (dalam Gelanggang/Siasat) dan lain-lain.<br /><br />2. SM. Ardan yang nama sebenarnya Sjahmardan (lahir di Medan tanggal 2 Pebruari 1932) mula-mula menulis sajak, kemudian cerpen dan esai serta kritik. Sajaknya dimuat dalam kumpulan bertiga dengan Ajip Rosidi dan Sobron Aidit berjudul Ketemu di Jalan (1956). Cerpennya melukiskan kehidupan masyarakat rendah Jakarta dikumpulkan dalam buku Terang Bulan Terang di Kali (1955). Ardan menyadur cerita rakyat Jakarta yang terkenal ke dalam bentuk drama tetapi ditulis secara penulisan roman yaitu Nyai Dasima (1965).<br /><br />3. Sukanto SA. lahir di Tegal tanggal 30 Desember 1930. Ia banyak menulis cerpen. Tetapi sebagian saja yang dimuat dalam kumpulannya Bulan Merah (1958).<br /><br />4. Alex A.xandre Leo yang merupakan nama samaran Zulkarnain (Lahir di Lahat tanggal 19 Agustus 1934), menulis cerpen dikumpulkannya menjadi buku berjudul Orang yang Kembali (1956). Ia pun menulis serangkaian satira (=cerita sindiran) tentang ‘kisah-kisah dari negeri Kambing’. Tuhan 1963 ia menerbitkan sebuah roman berjudul mendung yang disebutnya “sebuah novela sukaduka cerita sebuah rumah tangga’.<br /><br />5. Bokor Hutasuhut (lahir di Balige tanggal 2 Juli 1934). Cerpen-cerpen yang dibukukan dalam kumpulannya Datang Malam (1960). Ia pun menerbitkan dua buah roman yaitu Penakluk Ujung Dunia (1964), dan Tanah Kesayangan (1965). Penakluk Ujung Dunia dikerjakannya kembali dari sebuah cerita rakyat Batak. tanah Kesayangan merupakan sebuah roman yang mengambik jaman penjajahan Jepang sebagai latar belakangnya<br /><br />4. Beberapa Penyair<br /><br />TOTO SUDARTO BACHTIAR<br /><br />Toto Sudarto Bachtiar (lahir di Paliman, Ceribon, tanggal 12 Oktober 1929) telah mulai mengumumkan sajak-sajaknya sekitar tahun 1950. Sajaknya yang terkenal “Ibukota Senja” ditulisnya tahun 1951.<br />Sebagian besar sajak-sajaknya telah dikumpulkan dan diterbitkan menjadi dua buah buku, masing-masing berjudul Suara (1956) dan Etsa (1958). “Kumpulan sajak 1950-1955” telah menyebabkan penyairnya mendapat hadiah sastra nasional dari BMKN sebagai penyair terbaik tahun 1955-1956.<br />Sebagai penyair ia senantiasa merindukan kemerdekaan yang disebutnya ‘tanah air dan laut semua suara’ dan ‘ tanah air penyair dan pengembara’.<br />TENTANG KEMERDEKAAN<br /><br />Dalam sajaknya yang berjudul ‘Keterangan’ ia merasa perlu memberi penjelasan kepada H.B. Jassin kritikus sastra terkemuka, bahwa kuburan penyair “Hanyalah nisan kata-katanya selama ini/Tentang mimpi, tentang dunia sebelum kau tidur,...”, tulisannya hanya nasib jari yang lemah”...” Tanpa merasa tahu tentang apa/Dia menyeret langkahnya/Sampai di mana dia akan tiba/Tetapi dengan jari kakinya ditulisnya sebuah sajak.<br /><br />Kepada Chairil Anwar ia merasa perlu membuat pernyataan ; Aku makin menjauh/dari tempatmu berkata kesekian kali/Laut-laut makin terbuka/Dibawah langit remaja biru pengap melanda’ (dalam sajak berjudul ‘Pernyataan).<br /><br />Kepada penyair perancis Guillaume Apolllinaire (1880-1918) ia berkata : “Ya Guillaume, tak apa kita bercinta/Tak putus-putus, asal rindu dendamnya/Aku waspada juga pada tangan waktu/Pada khianat yang mencekikku bila ‘ku alpa’.....”.<br /><br />Dalam sajaknya ‘Pahlawan tak Dikenal’ ia melukiskan seorang pemuda yang gugur tertembak pada hari ‘pahlawan tanpa mengetahui untuk apa.<br /><br />Toto banyak sekali menerjemahkan, baik sajak maupun cerpen atau karangan-karangan lain ke dalam bahasa Indonesia. Sebagian kecil dari terjemahan-terjemahan cerpennya dikumpulkan dalam Bunglon (1965) yang antara lain memuat cerpen-cerpen buah tangan Anton Chekhov, Rainer Maria Rilke, Ernest Hemingway dan lain-lain.<br /><br />WS. RENDRA<br /><br />Nama lengkapnya Wilibrodus Surendra Broto (lahir di Solo tanggal 7 Nopember 1935) ialah penyair Indonesia terpenting pada masa ini.<br /><br />Sajak-sajaknya yang permulaan, tampak pengaruh nyanyian-nyanyian dolanan kanak-kanak Jawa dan pengaruh penyair Spanyol Federico Garcia (1899-1936) yang pada tahun-tahuin itu banyak diterjemahkan oleh Asrul Sani dan Ramadhan K.H.<br /><br />Kemudian sajak-sajaknya yang permulaan itu dimuat dalam buku kumpulan sajaknya yang pertama berjudul Balada orang-orang Tercinta (1957). Rendra mendapat hadiah sastra nasional untuk puisi tahun 1955-1956 sebagai salah seorang penyair terbaik. Sebuah sajaknya yang permulaan yang juga dimuat dalam kumpulan terbaik. Sebuah sajaknya yang permulaan yang juga dimuat dalam kumpulan itu berjudul “Terbunuhnya Atmo Karpo”.<br /><br />Sajak-sajaknya sebagian telah diterbitkan dalam Rendra : 4 Kumpulan Sajak (1961), yaitu yang terkumpul dalam “Kakawin-Kawin’, ‘malam stanza’, ‘nyanyian dari jalanan’ dan sajak-sajak dua belas perak’. Sajak-sajak yang ditulisnya selama ia di Amerika kian menunjukkan kematangan dan kesederhanaan pengucapannya, antara lain ‘Nyanyian Angsa’, Khotbah’, ‘Bluess untuk Bonnie, dan lain-lain.<br /><br />Selain menulis sajak, Rendra pun menulis cerpen. Diterbitkan dalam sebuah kumpulan berjudul ia Sudah Bertulang (1963). Juga banyak bergerak di lapangan drama. Ia bertindak sebagai sutradara, pemain dan banyak pula menulis drama-drama asli dan menerjemahkan drama-drama asing untuk dimainkannya. Ia telah menerjemahkan kata penulis drama klasik Yunani Sophokles (496-406 sebelum Masehi) berjudul Oedipus San raja, karya pengarang drama Irlandia Bernard Shwa berjudul Arms and the Man, dari pengarang drama Prancis kelahiran Rumania Eugene Ionesco (lahir 1908) berjudul Kereta Kencana, dari pengarang Jerman Bertold Brecht (lahir 1890) beberapa drama pendeknya dan lain-lain.<br /><br />RAMADHAN KH<br /><br />Lengkapnya Ramadhan Kartahadimadja lahir di Bandung 16 Maret 1927, baru tampi namanya sebagai penulis sekitar tahun 1952. Mula-mula menulis cerpen, kemudian menulis sajak. Ia pun seorang penerjemah yang telah berjasa memperkenalkan sajak-sajak dan drama-drama Federico Garcia lorca ke dalam bahasa Idonesia yang diterjemahkannya dari bahasa Spanyol. Karya-karya penting lorca sudah diterjemahkannya semua. Yang sudah terbit dramanya Yerman saja (1959). Yang lain-lain diumumkan dalam majalah saja, antaranya drama ‘Rumah Bernada Alba’ dalam majalah Indonesia dan buku-buku sajak-sajak Lorca terpenting seperti Cancioes dan Romancero Gitano.<br /><br />Sajaknya sendiri ditulisnya ketika ia baru pulang dari Spanyol, dan dibukukan dengan judul Priangan Si Jelita (1958). Untuk buku itu ia mendapat hadiah sastra nasional dari B.K.M.N. tahun 1957-1958 untuk puisi.<br /><br />DENDANG SAYANG<br />I<br />Di Cikajang ada gunung<br />Lembah lenggang nyobek hati,<br />Bintang pahlawan di dada,<br />Sepi di atas belati,<br />Kembang rampe di kuburuan<br />Selalu jauh kekasih<br /><br />Romannya berjudul Royan Revolusi mendapat hadiah nasional IKAPI UNESCO tahun 1968.<br /><br />KIRDJOMULJO<br /><br />Kirdjomuljo (lahir di Yogyakarta tahun 1930) ialah salah seorang penyair Indonesia yang banyak sekali menulis sajak. Tahun 1953-1956 banyak di antaranya yang dimuat dalam majalah-majalah. Tahun 1955 terbit buku kumpulan sajaknya berjudul Romance Perjalan I. Romance Perjalanan jilid-jilid selanjutnya tidak pernah terbit, meskipun kono naskahnya sudah disiapkan penyairnya.<br /><br />Kirdjomuljo juga menulis banyak drama. Yang pernah terbit menjadi buku hanya satu yaitu yang berjudul ‘Nona Maryam’ yang diterbitkan dalam satu jilid dengan drama buah tangan W.S. Rendra berjudul ‘Orang-orang di Tikungan Jalanan (1955). Dua tiga buah lagi pernah dimuat dalam majalah Budaya Yogyakarta, diantaranya ‘Penggali Intan’ (1957).<br /><br />Belakangan ini Kirdjomuljo pun ada menulis cerpen dan roman, yang sudah terbit berjudul Cahaya di Mata Emi (1968) dan di Saat Rambutnya Terurai (1968) yang sangat lamban benar gayanya.<br /><br />BEBERAPA PENYAIR LAINNYA<br /><br />Hartojo Andangdjaya (1930), M. Hussyn Umar (1931), Odeh Suardi (1930), Sugiarta Sriwibawa (1932), A.D. Donggo (1932), Surachman R.M. (1936), Ayatrohaedi (1939), Mansur Samin (1930), dan lain-ain.<br />Hatojo Andangdjaya (lahir di Solo tanggal 4 Juli 1930), mengumumkan sajak-sajaknya dalam majalah-majalah terkemuka di Jakarta dan kota-kota lain. Ia pun banyak menerjemahkan sajak-sajak asing ke dalam bahasa Indonesia, antaranya Tukang kebun buah tangan penyair India Rabindranath Tagore.<br /><br />SONNET BUAT IKA<br /><br />Siapakah kau, mengikuti daku dari bukit ke bukit.<br />tidakkah tahu, dari puncak ni tinggal nampak gugusan alit<br />rumah yang duli berkilau<br />kebun yang dulu menghijau<br /><br />Pulanglah. Jangan lagi kau bisiki suatu kisah<br />tentang dua anak berlarian di kebun rumah<br />manangkap nyanyian indah<br />memburu mimpi putih di pagi merah<br /><br />Engkau yang asing bagiku<br />tidakkah tahu, dibukit lain itu<br />biru puncak memanggil daku<br /><br />Pulanglah, Bila canang bertalu<br />di kotamu engkau ditunggu<br />rindu ibu dan raih kekasihmu.<br />(dari Gelanggang/siasat 1945)<br /><br />M. Hussyn Umar (Lahir di Medan tanggal 21 Janurai 1931) kecuali menulis sajak, banyak menulis cerpen dan drama radio.<br /><br />SENJA DI TANAH ABANG<br />Untuk Ati<br />Lusuh kaki membawa daki<br />bukan jalan-jalan, bukan leha-leha, tapi lari<br />lari dokar, lari trem, lari beca<br />abang-abang buru-buru mencari rumah dan jalan-jalannya<br />ada yang menghindar kelam<br />atau ada yang datang menyongsong malam<br /><br />Di gerbong kosong, dengkul jembatan<br />aku cium bau orang-mayat terdampar yang enggan mati<br />aku lihat kafilah bangkai-bangkai hidup<br />hanyut tergayut-gayut di aliran pergi penuh daki<br />yang penuh penuh matahari lemah pudar bertolak ini<br />dari pusat satu hari kekalahan yang bertubi-tubi<br />pelan-pelan sekarang memadu lagu : suara kendang<br />tukang obat, tukang sate, tukang soto dengan lengking<br />dan baunya yang memaksa datang harapan-harapan yang enggan<br />dan malam ini pun sinah akan berdanda lagi<br />mengibar bendera yang aus bolong dalam pengakuan<br /><br />Lusuh kaki masih menghadap daki<br />Matahari menjanjikan satu hari lagi<br />satu hari lagi<br />yang tidak buat mati, tidak buat mimpi<br />untuk cari,<br />untu lari, untuk ...................<br />(dari Zenit, 1953)<br /><br />Odeh Suardi (lahir di Sumedang tanggal 6 September 1930) menulis sajak-sajak yang diilhami oleh agama yang dipeluknya, agama Kristen. Ia menulis sajak dalam majalah-majalah Zenith, gelanggang/siasat, Seni, Mimbar Indonesia dan lain-lain.<br /><br />Sugiarta Sriwibawa (lahir di Solo tanggal 31 Maret 1932) menulis sajak-sajak yang berat karena permasalahan dan nadanya. Sajak-sajaknya dikumpulkan dalam kumpulan berjudul Lentera jalan yang sampai sekarang belum terbit. Sugiarta banyak penulis cerpen dengan gayanya yang lirikal dan puitis, juga menulis pandangan-pandangan tentang seni dan sastra di samping menerjemahkan cerpen-cerpen dan esai-esai tentang seni dan sastra.<br /><br />Surachman R.M. (lahir di Cibatu, garut, 19 September 1936) sajak-sajaknya menunjukkan perhatian yang besar terhadap masalah-masalah sosial. Ia terkenal pula sebagai penulis yang banyak menulis sajak dalam bahasa daerahnya, bahasa Sunda. Kumpulan sajaknya berbahasa Sunda telah terbit berjudul Surat Kayas (1968).<br /><br />MENGAPA HARUS GELISAH<br /><br />Mengapa harus gelisah, saudara<br />mengapa kita harus gelisah<br />Hujan tumpah terus-terusan<br />Beban ancaman menekan<br /><br />Bencana tetap berulang. Saudara<br />bencana bekal tetap berulang<br />Di satu subuh tanggul bedah<br />Air menampar atap rumah<br /><br />Ditenung jadi lautan, sudara<br />ditenung daratan jadi lautan<br />Ke mana larinya binatang weluku<br />(pedoman kita sepanjang waktu)<br /><br />Tak Bisa Kita Mengeluh, Saudara<br />tak bisa lagi kita mengeluh,<br />Bila Ternak Terseret hanyut<br />Benda Tak Sempat Terangkut<br /><br />Sumbangan Hilang Di Jalan, Saudara<br />sumbangan sering hilang di jalan<br />Percuma Saja Orang Dermakan<br />Beras, Selimut, Obat-obatan<br /><br />Kami Tahan Lapar Dan Dingin, Saudara<br />kami coba tahan lapar dan dingin<br />Namun Si Bungsu Kupu Biru<br />Dan Abangnya Belum Ketemu<br /><br />Siapa jadinya yang salah, saudara<br />siapa lagi jadinya yang salah<br />Tiap musim kami beramai-ramai<br />Dikerahkan menambal tanggul sungai<br />(dari Horison, 1966)<br /><br />Ayatrohaedi (lahir di Jatiwangi, Majalengka, pada tanggal 5 Desember 1939) menulis sajak-sajak dan cerpen-cerpen, baik dalam bahasa Indonesia maupun Sudan, ia pun seorang penyair yang banyak menyanyaikan tanah kelahiran, ibunda, dan segala yang dekat dengan hidupnya.<br /><br />IBU<br /><br />teduh tanjung wangi jadi pusat rindu<br />teduh ibu perbawa pantang menundung<br />jika di dunia cumalah ibu dan bapa<br />akan bisa kukuasai seluruh jagat raya<br /><br /><br />tapi ibu sebelum aku pergi memperingati<br />jika hidup cuma melepas nafsu sendiri<br />akhirnya lupa pada ibunda<br />menyesal menunggu balik ke asal<br />menyesallah yang jadi cucuku tunggal<br /><br />(dari Siasat Baru, 1959).<br /><br />Sajak yang berjudul ‘Di kebun Binatang’ yang ditulisnya dalam bahasa Sunda telah menyebabkan Ayatrohaedi mendapat Hadiah Sastra Piagam Moh. Ambri 1966. Dalam bahasa Sunda, Ayatruhaedi telah menerbitkan sekumpulan cerpen berjudul Hujan Munggaran (1960) dan sebuah roman pendek berjudul Kobogoh Tere (1967). Cerpen-cerpennya dalam bahasa Indonesia diterbitkan dalam seri proyek 16 halaman balai Pustaka, antara lain Warisan (1964) dan Yang tersisih (1964).<br /><br />5. Drama<br /><br />Setelah beberapa tahun lamanya penulisan drama Indonesia hampir-hampir hanya mengenal Utuy. T. Sontani sebagai tokoh tunggal, menjelang akhir tahun 50-an munculah beberapa nama baru dalam penulisan drama Indonesia, seperti Motinggo Boesje, W.S.Rendra dan Kirdjomuljo.<br /><br />Untuk tahun 1958 diumumkan tiga orang penulis yang drama-dramanya mendapat hadiah dalam sebuah sayembara penulisan naskah drama yang diselenggarakan oleh bagian kesenian P.P. dan K. yang mendapat hadiah pertama adalah Motinggo Boesje untuk dramanya Malam Jahanam. Kedua, M. Jusa Biran untuk dramanya Oung Besar, dan yang ketiga Nasjah Djamin dengan dramanya Sekelumit Nyanyian Sunda.<br /><br />NASJAH DJAMIN<br /><br />Nasjah Djamin lahir di Medan tahun 1924, tetapi hidupnya kebanyakan dihabiskannya di Yogya. Meski ia sudah mulai menulis (sajak) pada awal revolusi fisik, namun sampai awal tahun 50-an ia lebih banyak mencurahkan perhatiannya kepada seni lukis dari pada sebagai penulis.<br /><br />Drama ‘Sekelumit Nyanyian Sunda’ kemudian diterbitkan bersama dengan dramanya ‘Titik-titik Hitam’ dengan judul ‘Sekelumit Nyanyian Sunda’ (1964). Drama lain yang ditulisnya berjudul/Jembatan Gondolayu’ (dimuat dalam majalah Budaya) ‘Sekelumit Nyanyian Sunda’ asalnya merupakan sebuah cerpen yang kemudian dikerjakan menjadi drama dan dibukukan tahun 1962 dengan judul yang sama. Kumpulan cerpennya yang lain berjudul Dibawah Kaki Pak Dirman (1967). Dalam cerpennya Nasjah banyak bertindak sebagai juru bicara kesenian dan seniman modern yang hidup Bohemien dan menimbulkan berbagai ketegangan dengan sekelilingnya karena perbedaan visa dan ukuran nilai.<br /><br />Selain itu Nasjah juga menulis roman seperti Hilanglah Si Anak Hilang (1963). Roman ini menceritakan perjuangan seorang pelukis individualis yang hilang dari lingkungan keluarga karena menemukan konflik mengenai nilai-nilai moral dan kebenaran. Romannya yang lain berjudul ‘Helai-helai Sakura Gugur’ (1964), Gairah Untuk hidup dan untuk mati (1968) dan Malam Kualalumpur (1968).<br /><br />H.M. JUSA BIRAN<br /><br />Nama lengkapnya Hadji Misbach Jusa Biran, lahir di Rangkasbitung tahun 1933, ia terkenal mula-mula karena sketsa-sketsanya tentang kehidupan “Seniman Senin” yang dimuat dalam majalah Aneka tahun 50-an, ketika itu ia sudah bergerak dalam lapangan perfilman. Dengan menggunakan nama samaran Ardjawi, ia pun beberapa lamanya mengisi ruangan ‘Komedi di Jakarta’ dalam edisi Minggu Harian Abadi, melukiskan kehidupan sehari-hari rakyat Jakarta. Dari sketsa-sketsa inilah kemudian ia menulis cerita yang dibuat Film, “Ardjawi Ke Ibukota”.<br /><br />Dramanya Oung Besar mengisahkan seorang tokoh politik yang terkenal sebagai Oung Besar yang sebenarnya bernama Karim, ia mendapat sukses karena pidato-pidatonya yang ia sendiri tdak mengerti isinya, keseluruhannya komidi ini merupakan sebuah sindiran terhadap kehidupan politik dan kaum politis Indonesia, ini menunjukkan bahwa ia seorang yang punya homur yang hidup.<br /><br />Setelah itu Misbach masih menulis beberapa buah drama lagi, di antaranya berjudul ‘Setelah jam Menjelang Maut’ (1968) yang pernah dimainkan dimuka Televisi. Romannya Menyusuri Jejak Berdarah (1968) merupakan penulisan dari cerita Film yang juga telah dibuatnya sendiri.<br /><br />b. Para Pengarang Wanita<br /><br />N.H. DINI<br /><br />N.H. Dini nama lengkapnya Nurhajati Srihardini lahir di Semarang tanggal 29 Pebruari 1936. Mulai menulis cerpen-cepen yang dimuat dalam majalah kisah dan lain-lain. Pada cerpen-cerpen itu tidak ada lagi protes-protes yang berkisar pada soal-soal kewanitaan yang dunianya terjepit di tengah dunia laki-laki. Tokoh wanita Dini ialah manusia-manusia yang berontak karena hendak memperjuangkan harga dirinya sebagai manusia. Dalam cerpen ‘Dua Dunia’ dikisahkan Dini tentang Iswanti seorang janda muda yang sakit tipus yang diceraikan suaminya karena si suami main gila dengan ibu tirinya sendiri. Cerpen itu kemudian bersama dengan beberapa buah cerpennya yang lain dibukukan dengan judul Dua Dunia (1956)<br /><br />Dalam cerpen-cerpen itu Dini menunjukan perhatiannya yang besar terhadap kepincangan-kepincangan sosial yang dia lihat dan terjadi disekelilingnya . Misalnya dalam cerpennya ‘Kelahiran’ dan ‘Perempuan Warung’.<br /><br />Setelah terbit dengan kumpulan cerpen itu, Dini kemudian menerbitkn sebuah roman pendek berjudul Hati Yang Damai (1961). Ceritanya tentang seorang isteri penerbang yang ketika suaminya mendapat kecelakaan lalu terlibat dalam cinta segi empat hingga akhirnya ia menemukan kedamain dan keluasan hati suaminya.<br /><br />Dini kemudian menikah dengan seorang diplomat Perancis. dan ketika mengkuti suaminya bertugas di Jepang ia menulis sebuah roman yang berjudul namaku Hiroko, setelah dari Jepang ia mengikuti suaminya ke Perancis yang berjudul Pada Sebuah Kapal, yang diumumkan pada majalah-majalah sastra dan Horison, naskah roman lain yang sudah diselesaikannya berjudul la Barka.<br /><br />Kecuali Nh. Dini pada periode ini kita pun mencatat beberapa pengarang wanita lain Surtingsih, Dyantinah B, Supeno dan Hartini ialah para penulis cerpen yang dimuat dalam majalah. Tetapi sebegitu jauh belum ada data-data untuk mencatat kegiatan mereka lebih daripada menyebut nama-namanya saja.</div>Dunia Sastra Indonesiahttp://www.blogger.com/profile/01135526422163255710noreply@blogger.com1