Hadiah Kejujuran


By RetnoWi | May 3, 2008

Langsung download disini







Firman masih terjaga. Ditemani jam weker dan segelas susu hangat
yang baru diantar ibunya. Mulutnya komat-kamit menghafal rumus
matematika. Kadang matanya terpejam, berharap rumus yang dihafal dapat
melekat di otak. Namun rasa kantuk yang kuat, sering mnghapus
hafalannya. Harus bisa! Tekadnya dalam hati. Firman tak rela gelar
juara pertamanya direbut oleh Andi untuk yang kedua kali. Apalagi
ayahnya sudah berjanji akan membelikan sepeda baru kalau ia berhasil
merebut kembali juara pertama.


“Luas kerucut adalah…, adalah… aahhh…! Lupa lagi!” Keluhnya kesal.
Matanya kembali melihat buku diktatnya. Memandangnya dengan alis
bertaut, bibir terkatup. Menutupnya lagi. Menghafal lagi. Dan… lupa
lagi! Matanya hampir tertutup karena kantuk. Tapi Firman belum
menyerah. Ia paksa matanya tetap terjaga. Seteguk susu diharapkan mampu
menahan kantuk yang sering menyerang tiba-tiba.

Ia buka lembar yang lain. Matanya kembali memejam…


“Luas kubus adalah 6 X sisi X sisi. Luas tabung …, luas tabung …, tuh,
kan. Lupa lagi!” Dengusnya sedikit keras. Tangan kanannya dengan malas
membuka-buka lagi bukunya. Betapa terkejutnya saat Firman sadar kalau
banyak sekali rumus yang belum dihafalnya. Sementara detik demi detik
terus berlalu dan hampir menunjuk jam sebelas malam.

“Tak ada cara lain.” Desisnya hampir tak terdengar. Tangannya segera
menyobek kertas. Kemudian dengan cepat ia menyalin rumus-rumus yang
belum dihafalnya. Dengan tulisan yang acak-acakan, akhirnya Firman pun
selesai. Segera ia menuju kasur empuknya. Kertas yang berisi rumus pun
di bawanya. Hatinya gelisah. Bagaimana kalau besok Bu Guru tahu saat
aku nyontek? Tanyanya dalam hati. Tapi kalau nggak nyontek, pasti aku
tidak bisa. Tapi kalau nyontek, berarti aku curang. Tapi kalau tidak
nyontek aku tidak jadi punya sepeda baru. Tapi…. tapi… Sebelum sempat
melanjutkan kegelisahannya, Firman tertidur.


* * *

“Firman.” Suara itu mengagetkan Firman. Tangannya gemetar, tubuhnya berkeringat.

“Serahkan kertas itu!” Pinta Bu Guru tegas. Tangannya yang masih
gemetar memberikan sesobek kertas yang berisi salinan rumus matematika.

“Karena menyontek, semua nilaimu akan dikurangi.” Kata Bu Guru sambil
mengambil lembar jawabnnya. Wajahnya menunduk. Lemas. Malu. Semua
teman-temannya melihat ke arahnya.

“Huu… ternyata Firman pinter karena nyontek! Pantes jadi juara.”

“Firman, curang!”

“Firman pembohong!”

“Juara nyontek!”

“Huu…!”


Suara teman-temannya mencibir, mengolok dan mencemooh. Firman tidak tahan lagi. Ia pun berdiri.

“Aku tidak pernah menyontek! Tidak pernah!” Teriaknya keras-keras.

“Firman. Firman. Ayo bangun. Sholat subuh dulu.” Suara Ibu terdengar. Pipinya ditepuk berkali-kali.

“Kamu kenapa? Mimpi buruk ya?” Firman tergagap. Tubuhnya masih berkeringat. Mimpinya benar-benar seperti nyata.

“Ayo, Ayah sudah menunggu untuk sholat.” “Iya, Bu.” Dengan perasaan
yang masih takut Firman pergi meninggalkan kamarnya. Setelah berwudhu,
ia bergabung dengan ayah dan ibunya untuk sholat. Setelah sholat,
Firman merenungi mimpinya. Ia pandangi kertasnya.


“Aku tidak boleh melakukannya.” Tekadnya dalam hati. Firman pun
melanjutkan belajarnya. Ia tetap berusaha menghafalkan rumus-rumus
matmatika. Ia tidak lagi berpikir untuk menyontek. Ia terus komat-kamit
dengan mata terpejam. Sesekali matanya membuka untuk memstikan bahwa
yang hafalannya benar. Kemudian memejam lagi. Komat-kamit lagi. Sampai
ibunya masuk dan mengingatkannya untuk segera mandi dan bersiap-siap
sekolah.


“Ayo, Firman. Nanti telat. Ayah sudah mandi, lho.”

Firman bergegas mandi dan bersiap-siap. Dengan sedikit tergesa ia
memakai seragamnya. Memakai sepatunya. Menyambar tasnya. Dan berlari
menuju halaman di mana ayah telah siap menunggu. Tak lupa ia
meremas-remas dan membuang contekannya ke tempat sampah di halaman.
Setelah mencium tangan ibunya, ia masuk ke dalam mobil ayah.

“Bu, berangkat dulu. Assalamu’alaikum.” Teriaknya sambil berlalu.


* * *

Dua minggu berlalu. Hari ini adalah pembagian rapot. Ayahnya yang
mengambil, sedang firman menunggu di rumah dengan persaan was-was. Ia
murung. Sejak ayahnya berangkat sampai sekarang Firman belum ingin
makan. Ia yakin akan gagal merebut juara pertama lagi. Tapi Firman
pasrah. Toh memang Firman memang sering sakit sehingga tidak masuk
sekolah. Di lihatnya jam dinding dengan gelisah.Entah mengapa ia merasa
jarum jam itu jadi lambat jalannya. Dengan malas, ia pun melanjutkan
membaca buku ceritanya.


“Assalamu’alaikum,” Suara ayah terdengar dari depan bersama mobilnya.

“Wa’alikum salam.” Firman melonjak, menaruh buku ceritanya dan berlari ke halaman.

Ayah berjalan sambil membawa rapot di tangan kanan. Jantung Firman semakin deg-degan. Ia remas-remas tangannya.

“Bagaimana, Ayah?” Tanya Firman cemas. Ayah diam. Firman semakin yakin,
kalau ayah marah. Ia pun menunduk, tak berrani menatap wajah ayahnya.


“Sini, Firman. Lihat rapotmu.” ajaak ayah yang telah duduk di teras.
Firman mendekat, dan duduk di sebelahnya. Matanya melihat halaman yang
ditunjukkan ayah. Ia menelan ludah saat mengetahui kalau ia hanya
mendapat peringkat dua.

“Kamu kecewa?” Tanya ayah.

“Iya, Yah.”

“Kenapa?”

“Karena aku hanya peringkat dua.”

“Tapi Ayah tidak kecewa. Ayah bangga.” Firman kaget. Ia tak mengerti
kenapa Ayah bisa bangga padanya. Padahal ia gagal merebut juara pertama.


“Kamu ingin tahu kenapa Ayah bangga?” Firman mengangguk.

“Karena anak Ayah jujur, itu yang membuat bangga.” Kening Firman berkerut tak mengerti.

“Saat hari terakhir ujian, Firman berniat menyontek, kan?” Firman pun
teringat dengan salinan rumus yang dibuatnya. Denga malu-malu Firman
mengangguk. “Kertas contekan yang kamu buang ditemukan Ibu.” “Ini, kan
kertasnya?” Tiba-tiba Ibu datang dengan membawa kertas yang sudah lecek
bekas diremas-remas. “Ibu menemukan di tempat sampah.” Lanjut Ibunya.

“Karena Firman jujur, Ayah punya hadiah untuk Firman.” Kata Ibu.

“Benar, Yah?” Tanya Firman dengan mata berbinar gembira.

“Tentu saja. Ayo ikut Ayah.” Firman mengikuti langkah Ayah menuju mobil.

Tangan Ayah membuka pintu tengah mobil. “Wah, sepeda baru! Aku punya
sepeda baru! Terimaksih, Ayah.” “Ini hadiah kejujuran untuk Firman.”

Firman tidak jadi menyesal karena gagal menjadi juara pertama. Ia
gembira karena kejujurannya membawa berkah. Ia berjanji tidak akan
menyontek selamanya.


Sumber:http://feeds.feedburner.com/co/fvzz

0 komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda