Cerpen
Putu Wijaya
Dimuat di
Jawa Pos
07/10/2005 Telah Disimak 804 kali
Seorang perempuan muda bertanya kepada ibunya.
Ibu, lelaki sejati itu seperti apa?
Ibunya
terkejut. Ia memandang takjub pada anak yang di luar pengamatannya
sudah menjadi gadis jelita itu. Terpesona, karena waktu tak mau
menunggu. Rasanya baru kemarin anak itu masih ngompol di sampingnya
sehingga kasur berbau pesing. Tiba-tiba saja kini ia sudah menjadi
perempuan yang punya banyak pertanyaan.
Sepasang matanya yang
dulu sering belekan itu, sekarang bagai sorot lampu mobil pada malam
gelap. Sinarnya begitu tajam. Sekelilingnya jadi ikut memantulkan
cahaya. Namun jalan yang ada di depan hidungnya sendiri, yang sedang ia
tempuh, nampak masih berkabut. Hidup memang sebuah rahasia besar yang
tak hanya dialami dalam cerita di dalam pengalaman orang lain, karena
harus ditempuh sendiri.
Kenapa kamu menanyakan itu, anakku?
Sebab aku ingin tahu.
Dan sesudah tahu?
Aku tak tahu.
Wajah
gadis itu menjadi merah. Ibunya paham, karena ia pun pernah muda dan
ingin menanyakan hal yang sama kepada ibunya, tetapi tidak berani.
Waktu itu perasaan tidak pernah dibicarakan, apalagi yang menyangkut
cinta. Kalaupun dicoba, jawaban yang muncul sering menyesatkan. Karena
orang tua cenderung menyembunyikan rahasia kehidupan dari anak-anaknya
yang dianggapnya belum cukup siap untuk mengalami. Kini segalanya sudah
berubah. Anak-anak ingin tahu tak hanya yang harus mereka ketahui,
tetapi semuanya. Termasuk yang dulu tabu. Mereka senang pada bahaya.
Setelah menarik napas, ibu itu mengusap kepala putrinya dan berbisik.
Jangan
malu, anakku. Sebuah rahasia tak akan menguraikan dirinya, kalau kau
sendiri tak penasaran untuk membukanya. Sebuah rahasia dimulai dengan
rasa ingin tahu, meskipun sebenarnya kamu sudah tahu. Hanya karena kamu
tidak pernah mengalami sendiri, pengetahuanmu hanya menjadi potret
asing yang kamu baca dari buku. Banyak orang tua menyembunyikannya,
karena pengetahuan yang tidak perlu akan membuat hidupmu berat dan
mungkin sekali patah lalu berbelok sehingga kamu tidak akan pernah
sampai ke tujuan. Tapi ibu tidak seperti itu. Ibu percaya zaman
memberikan kamu kemampuan lain untuk menghadapi bahaya-bahaya yang juga
sudah berbeda. Jadi ibu akan bercerita. Tetapi apa kamu siap menerima
kebenaran walaupun itu tidak menyenangkan?
Maksud Ibu?
Lelaki sejati anakku, mungkin tidak seperti yang kamu bayangkan.
Kenapa tidak?
Sebab
di dalam mimpi, kamu sudah dikacaukan oleh bermacam-macam harapan yang
meluap dari berbagai kekecewaan terhadap laki-laki yang tak pernah
memenuhi harapan perempuan. Di situ yang ada hanya perasaan keki.
Apakah itu salah?
Ibu
tidak akan bicara tentang salah atau benar. Ibu hanya ingin kamu
memisahkan antara perasaan dan pikiran. Antara harapan dan kenyataan.
Aku
selalu memisahkan itu. Harapan adalah sesuatu yang kita inginkan
terjadi yang seringkali bertentangan dengan apa yang kemudian ada di
depan mata. Harapan menjadi ilusi, ia hanya bayang-bayang dari hati.
Itu aku mengerti sekali. Tetapi apa salahnya bayang-bayang? Karena
dengan bayang-bayang itulah kita tahu ada sinar matahari yang menyorot,
sehingga berkat kegelapan, kita bisa melihat bagian-bagian yang
diterangi cahaya, hal-hal yang nyata yang harus kita terima, meskipun
itu bertentangan dengan harapan.
Ibunya tersenyum.
Jadi kamu masih ingat semua yang ibu katakan?
Kenapa tidak?
Berarti kamu sudah siap untuk melihat kenyataan?
Aku siap. Aku tak sabar lagi untuk mendengar. Tunjukkan padaku bagaimana laki-laki sejati itu.
Ibu
memejamkan matanya. Ia seakan-akan mengumpulkan seluruh unsur yang
berserakan di mana-mana, untuk membangun sebuah sosok yang jelas dan
nyata.
Laki-laki yang sejati, anakku katanya kemudian, adalah… tetapi ia tak melanjutkan.
Adalah?
Adalah seorang laki-laki yang sejati.
Ah, Ibu jangan ngeledek begitu, aku serius, aku tak sabar.
Bagus,
Ibu hanya berusaha agar kamu benar-benar mendengar setiap kata yang
akan ibu sampaikan. Jadi perhatikan dengan sungguh-sungguh dan jangan
memotong, karena laki-laki sejati tak bisa diucapkan hanya dengan satu
kalimat. Laki-laki sejati anakku, lanjut ibu sambil memandang ke depan,
seakan-akan ia melihat laki-laki sejati itu sedang melangkah di udara
menghampiri penjelmaannya dalam kata-kata.
Laki-laki sejati adalah…
Laki-laki yang perkasa?!
Salah!
Kan barusan Ibu bilang, jangan menyela! Laki-laki disebut laki-laki
sejati, bukan hanya karena dia perkasa! Tembok beton juga perkasa,
tetapi bukan laki-laki sejati hanya karena dia tidak tembus oleh peluru
tidak goyah oleh gempa tidak tembus oleh garukan tsunami, tetapi dia
harus lentur dan berjiwa. Tumbuh, berkembang bahkan berubah, seperti
juga kamu.
O ya?
Bukan karena ampuh, bukan juga karena tampan
laki-laki menjadi sejati. Seorang lelaki tidak menjadi laki-laki sejati
hanya karena tubuhnya tahan banting, karena bentuknya indah dan
proporsinya ideal. Seorang laki-laki tidak dengan sendirinya menjadi
laki-laki sejati karena dia hebat, unggul, selalu menjadi pemenang,
berani dan rela berkorban. Seorang laki-laki belum menjadi laki-laki
sejati hanya karena dia kaya-raya, baik, bijaksana, pintar bicara,
beriman, menarik, rajin sembahyang, ramah, tidak sombong, tidak suka
memfitnah, rendah hati, penuh pengertian, berwibawa, jago bercinta,
pintar mengalah, penuh dengan toleransi, selalu menghargai orang lain,
punya kedudukan, tinggi pangkat atau punya karisma serta banyak akal.
Seorang laki-laki tidak menjadi laki-laki sejati hanya karena dia
berjasa, berguna, bermanfaat, jujur, lihai, pintar atau jenius. Seorang
laki-laki meskipun dia seorang idola yang kamu kagumi, seorang
pemimpin, seorang pahlawan, seorang perintis, pemberontak dan pembaru,
bahkan seorang yang arif-bijaksana, tidak membuat dia otomatis menjadi
laki-laki sejati!
Kalau begitu apa dong?
Seorang laki-laki
sejati adalah seorang yang melihat yang pantas dilihat, mendengar yang
pantas didengar, merasa yang pantas dirasa, berpikir yang pantas
dipikir, membaca yang pantas dibaca, dan berbuat yang pantas dibuat,
karena itu dia berpikir yang pantas dipikir, berkelakuan yang pantas
dilakukan dan hidup yang sepantasnya dijadikan kehidupan.
Perempuan muda itu tercengang.
Hanya itu?
Seorang laki-laki sejati adalah seorang laki-laki yang satu kata dengan perbuatan!
Orang yang konsekuen?
Lebih dari itu!
Seorang yang bisa dipercaya?
Semuanya!
Perempuan muda itu terpesona.
Apa
yang lebih dari yang satu kata dan perbuatan? Tulus dan semuanya?
Ahhhhh! Perempuan muda itu memejamkan matanya, seakan-akan mencoba
membayangkan seluruh sifat itu mengkristal menjadi sosok manusia dan
kemudian memeluknya. Ia menikmati lamunannya sampai tak sanggup
melanjutkan lagi ngomong. Dari mulutnya terdengar erangan kecil, kagum,
memuja dan rindu. Ia mengalami orgasme batin.
Ahhhhhhh, gumannya
terus seperti mendapat tusukan nikmat. Aku jatuh cinta kepadanya dalam
penggambaran yang pertama. Aku ingin berjumpa dengan laki-laki seperti
itu. Katakan di mana aku bisa menjumpai laki-laki sejati seperti itu,
Ibu?
Ibu tidak menjawab. Dia hanya memandang anak gadisnya seperti kasihan. Perempuan muda itu jadi bertambah penasaran.
Di mana aku bisa berkenalan dengan dia?
Untuk apa?
Karena
aku akan berkata terus-terang, bahwa aku mencintainya. Aku tidak akan
malu-malu untuk menyatakan, aku ingin dia menjadi pacarku, mempelaiku,
menjadi bapak dari anak-anakku, cucu-cucu Ibu. Biar dia menjadi teman
hidupku, menjadi tongkatku kalau nanti aku sudah tua. Menjadi orang
yang akan memijit kakiku kalau semutan, menjadi orang yang membesarkan
hatiku kalau sedang remuk dan ciut. Membangunkan aku pagi-pagi kalau
aku malas dan tak mampu lagi bergerak. Aku akan meminangnya untuk
menjadi suamiku, ya aku tak akan ragu-ragu untuk merayunya menjadi
menantu Ibu, penerus generasi kita, kenapa tidak, aku akan merebutnya,
aku akan berjuang untuk memilikinya.
Dada perempuan muda itu turun naik.
Apa
salahnya sekarang wanita memilih laki-laki untuk jadi suami, setelah
selama berabad-abad kami perempuan hanya menjadi orang yang menunggu
giliran dipilih?
Perempuan muda itu membuka matanya. Bola mata itu berkilat-kilat. Ia memegang tangan ibunya.
Katakan cepat Ibu, di mana aku bisa menjumpai laki-laki itu?
Bunda menarik nafas panjang. Gadis itu terkejut.
Kenapa Ibu menghela nafas sepanjang itu?
Karena kamu menanyakan sesuatu yang sudah tidak mungkin, sayang.
Apa? Tidak mungkin?
Ya.
Kenapa?
Karena laki-laki sejati seperti itu sudah tidak ada lagi di atas dunia.
Oh, perempuan muda itu terkejut.
Sudah tidak ada lagi?
Sudah habis.
Ya Tuhan, habis? Kenapa?
Laki-laki sejati seperti itu semuanya sudah amblas, sejak ayahmu meninggal dunia.
Perempuan muda itu menutup mulutnya yang terpekik karena kecewa.
Sudah amblas?
Ya.
Sekarang yang ada hanya laki-laki yang tak bisa lagi dipegang mulutnya.
Semuanya hanya pembual. Aktor-aktor kelas tiga. Cap tempe semua. Banyak
laki-laki yang kuat, pintar, kaya, punya kekuasaan dan bisa berbuat apa
saja, tapi semuanya tidak bisa dipercaya. Tidak ada lagi laki-laki
sejati anakku. Mereka tukang kawin, tukang ngibul, semuanya bakul jamu,
tidak mau mengurus anak, apalagi mencuci celana dalammu, mereka buas
dan jadi macan kalau sudah dapat apa yang diinginkan. Kalau kamu sudah
tua dan tidak rajin lagi meladeni, mereka tidak segan-segan menyiksa
menggebuki kaum perempuan yang pernah menjadi ibunya. Tidak ada lagi
laki-laki sejati lagi, anakku. Jadi kalau kamu masih merindukan
laki-laki sejati, kamu akan menjadi perawan tua. Lebih baik hentikan
mimpi yang tak berguna itu.
Gadis itu termenung. Mukanya nampak sangat murung.
Jadi tak ada harapan lagi, gumamnya dengan suara tercekik putus asa. Tak ada harapan lagi. Kalau begitu aku patah hati.
Patah hati?
Ya. Aku putus asa.
Kenapa mesti putus asa?
Karena apa gunanya lagi aku hidup, kalau tidak ada laki-laki sejati?
Ibunya kembali mengusap kepala anak perempuan itu, lalu tersenyum.
Kamu
terlalu muda, terlalu banyak membaca buku dan duduk di belakang meja.
Tutup buku itu sekarang dan berdiri dari kursi yang sudah memenjarakan
kamu itu. Keluar, hirup udara segar, pandang lagit biru dan daun-daun
hijau. Ada bunga bakung putih sedang mekar beramai-ramai di pagar,
dunia tidak seburuk seperti yang kamu bayangkan di dalam kamarmu. Hidup
tidak sekotor yang diceritakan oleh buku-buku dalam perpustakaanmu
meskipun memang tidak seindah mimpi-mimpimu. Keluarlah anakku, cari
seseorang di sana, lalu tegur dan bicara! Jangan ngumpet di sini!
Aku tidak ngumpet!
Jangan lari!
Siapa yang lari?
Mengurung diri itu lari atau ngumpet. Ayo keluar!
Keluar ke mana?
Ke jalan! Ibu menunjuk ke arah pintu yang terbuka. Bergaul dengan masyarakat banyak.
Gadis itu termangu.
Untuk apa? Dalam rumah kan lebih nyaman?
Kalau begitu kamu mau jadi kodok kuper!
Tapi aku kan banyak membaca? Aku hapal di luar kepala sajak-sajak Kahlil Gibran!
Tidak
cukup! Kamu harus pasang omong dengan mereka, berdialog akan membuat
hatimu terbuka, matamu melihat lebih banyak dan mengerti pada
kelebihan-kelebihan orang lain.
Perempuan muda itu menggeleng.
Tidak ada gunanya, karena mereka bukan laki-laki sejati.
Makanya keluar. Keluar sekarang juga!
Keluar?
Ya.
Perempuan
muda itu tercengang, suara ibunya menjadi keras dan memerintah. Ia
terpaksa meletakkan buku, membuka earphone yang sejak tadi
menyemprotkan musik R & B ke dalam kedua telinganya, lalu keluar
kamar.
Matahari sore terhalang oleh awan tipis yang berasal dari
polusi udara. Tetapi itu justru menolong matahari tropis yang garang
itu untuk menjadi bola api yang indah. Dalam bulatan yang hampir
sempurna, merahnya menyala namun lembut menggelincir ke kaki langit.
Silhuet seekor burung elang nampak jauh tinggi melayang-layang
mengincer sasaran. Wajah perempuan muda itu tetap kosong.
Aku tidak memerlukan matahari, aku memerlukan seorang laki-laki sejati, bisiknya.
Makanya keluar dari rumah dan lihat ke jalanan!
Untuk apa?
Banyak
laki-laki di jalanan. Tangkap salah satu. Ambil yang mana saja,
sembarangan dengan mata terpejam juga tidak apa-apa. Tak peduli siapa
namanya, bagaimana tampangnya, apa pendidikannya, bagaimana otaknya dan
tak peduli seperti apa perasaannya. Gaet sembarang laki-laki yang mana
saja yang tergapai oleh tanganmu dan jadikan ia teman hidupmu!
Perempuan
muda itu tecengang. Hampir saja ia mau memprotes. Tapi ibunya keburu
memotong. Asal, lanjut ibunya dengan suara lirih namun tegas, asal, ini
yang terpenting anakku, asal dia benar-benar mencintaimu dan kamu
sendiri juga sungguh-sungguh mencintainya. Karena cinta, anakku, karena
cinta dapat mengubah segala-galanya.
Perempuan muda itu tercengang.
Dan
lebih dari itu, lanjut ibu sebelum anaknya sempat membantah, lebih dari
itu anakku, katanya dengan suara yang lebih lembut lagi namun semakin
tegas, karena seorang perempuan, anakku, siapa pun dia, dari mana pun
dia, bagaimana pun dia, setiap perempuan, setiap perempuan anakku,
dapat membuat seorang lelaki, siapa pun dia, bagaimana pun dia, apa pun
pekerjaannya bahkan bagaimana pun kalibernya, seorang perempuan dapat
membuat setiap lelaki menjadi seorang laki-laki yang sejati! ***
Denpasar, akhir 2004 sumber http://sriti.com
Label: Kumpulan Cerpen
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar