Suatu Siang di Bungurasih

By RetnoWi | May 4, 2008

***


Alhamdulillah, sampai juga di Bungurasih. Berarti sudah separo
perjalanan yang kutempuh. Bis yang kutumpangi berhenti di jalur dua
pemberhentian bis. Uff…hh!! Surabaya yang panas, sepanas orang-orang
yang mengerubutiku.

“Perlu tenaga, Mbak?” seorang penyedia jasa angkutan barang menawarkan
bantuan. Aku tolak dengan sopan sambil tersenyum. Aku tak ingin
penolakanku menimbulkan reaksi yang tidak menyenangkan darinya.
Ah,Surabaya tak pernah berubah. Bungurasih tak pernah sepi dari
manusia. Kupercepat langkah kakiku untuk menghindari buruan para calo
yang mencari penumpang. Sekaligus memperkecil resiko kecopetan.
Kabarnya terminal terbesar di Jawa Timur ini menjadi sarang para
pencopet.

Ya, maklum. Inilah Surabaya. Penduduknya padat, lapangan pekerjaan
sempit. Sebagian orang akan melakukan apapun untuk bisa bertahan hidup.
Setelah antri sebentar akhirnya tiba juga giliranku untuk membayar
peron. Kuangsurkan recehan perak kepada petugas. Setelah menerima
karcis, aku bergegas memburu diantara arus manusia menuju ruang tunggu.

Suasana ruang tunggu tak kalah bising. Langkah tergesa kaki manusia
dengan membawa tas-tas besar saling berebut untuk mendahului. Apalagi
ditambah klakson bis yang sahut-menyahut. Untunglah ada peraturan yang
melarang awak bis mencari penumpang di ruang tunggu. Jam di tengah
ruang tunggu menunjuk angka 12.15. Berarti kemungkinan sampai di Jember
jam 16.00. Masih bisa untuk menjamak sholat. Aku memang tidak terbiasa
sholat di terminal ini. Selain musholanya jauh aku juga tidak berani
sendirian. Entahlah, mungkin karena dari kecil aku tidak pernah pergi
sendirian.

Maklum, aku adalah si bungsu yang hanya mempunyai kakak laki-laki. Jadi
kemanapun pergi selalu ada yang mengantar. Tapi sayang sekarang kakakku
mulai sibuk jadi aku harus mulai belajar pergi sendirian.

“Assalamu’alaikum.” Sebuah salam terdengar nyaring disela-sela klakson bis yang terus bersahutan. Tak

kuhiraukan suara itu, karena aku yakin tidak ditujukan untukku. Aku masih terus berjalan menuju tempat

pemberangkatan bis. Aku harus cepat agar bisa mendapat kursi paling
depan. “Assalamu’alaikum.” Siapa, sih. Aku mulai penasaran. Aku semakin
kaget ketika sebuah tangan menarik lenganku.

“Assalamu’alaikum” Untuk kesekian kalinya ia mengucap salam. Sangat sopan.

“Wa’alaikumsalam” Agak gugup aku menjawab salamnya.

“Ukh, dari tadi ana panggil sejak anti membayar peron. Kok nggak menjawab.” Aku hanya tersenyum.

“Maaf, Mbak. Soalnya ………. Saya kira Mbak bukan memanggil saya.” Aku
masih belum mengerti siapa perempuan di depanku ini. Kuteliti dengan
seksama, jangan-jangan aku pernah bertemu tapi lupa. Jilbab putih
lebarnya, gamisnya yang bermotif bunga-bunga kecil, lengkap dengan kaos
kaki dan sepatu hitam. Anehnya ia tidak membawa apa-apa. Memoriku
buntu. Aku memang belum pernah melihat dia sebelumnya.

“Afwan, Ukh bisa duduk sebentar.” Pintanya menyadarkan lamunanku. Kami
pun mencari kursi yang agak kosong. Meskipun sulit akhirnya dapat juga.
Kalau semula aku hanya pasif, kini aku yang duluan bertanya. “Maaf,
Mbak ini siapa, ya. Sepertinya baru sekarang kita bertemu.” Kupanggil
dia Mbak karena dari wajahnya aku yakin ia lebih tua dariku.

Bibirnya tersenyum sebelum menjawab. “Ana Rina, kalau Anti?”

“Saya Lilik.” Jawabku singkat.

“Begini, ehm…” Ia tampak kebingungan. Aku masih diam menunggu sambil
sesekali memperhatikan jam dinding di tengah ruang tunggu. Apa sih
maunya.

“Aduh, ana jadi nggak enak.” Kebingungannya semakin kentara. “Sebenarnya ana baru kena musibah.” Ucapnya dengan nada sedih.

“Innalillahi..” Aku mencoba berempati dengan kondisinya.

“Ana tadi ke Malang. Rencananya mau mengambil baju walimah yang
dipinjam teman.” Mendengar nama Malang disebut, aku langsung tertarik.
Karena sebelum di Jember aku pernah kuliah di Malang.

“Malang mana, Mbak? Tanyaku antusias.

“Daerah Dinoyo.” Orang di sekitar tidak lagi memperhatikan kami. Semua kembali sibuk dengan urusan

masing-masing. “Karena nggak ketemu, akhirnya ana pulang lagi. Tapi saat menempuh perjalanan ke

Surabaya, ana kecopetan. Dompet dan tas ana hilang. “Dengan tawa hambar ia mengakhiri ceritanya.

Aku mulai mengerti kalau sebenarnya Rina butuh uang. Tapi sampai ceritanya usai aku belum berinisiatif

untuk menawarkan bantuan. Kulihat lagi jam dinding. Aku masih bingung
antara percaya atau tidak dengan kisahnya. Logikaku mengatakan agar
waspada. Ini adalah Surabaya. Semua modus penipuan bisa saja terjadi.

Ah, waktuku semakin pendek. Kuinggat-ingat uang yang aku bawa saat
ini. Aku hanya membawa uang pas-pasan. Meskipun masih ada di tabungan,
tapi semua telah kuanggarkan untuk membayar hutang. Motorku baru rusak
berat dan untuk minta orang tua aku tidak berani. Untunglah ada teman
yang memberi pinjaman. Konsekuensinya anggaranku bulan ini terpotong
untuk membayar hutang.

Untuk kesekian kalinya kutatap wajah bulat yang ada di depanku. Kucoba
mencari kebenaran di sana. Ya Allah kalau dia benar-benar membutuhkan
pasti aku akan sangat berdosa. Tapi kalau ternyata dia menipuku? Tak
tahulah. Aku masih bingung. Apalagi jam di dinding terus bergerak.
Sekilas aku teringat temanku yang pernah kehabisan ongkos saat menempuh
perjalanan Surabaya – Jakarta. Uangnya tinggal 200 perak. Untunglah ada
orang yang bersedia menolong.


“Afwan, Ukh. Kalau boleh ana minta diongkosi untuk pulang.” Aku
tidak kaget dengan ucapannya karena dari awal aku sudah menduga. Tapi….
Gimana, ya. Uangku hanya 50.000, itupun sudah terpakai untuk ongkos
Kediri-Surabaya. Ya Allah, jawaban apa yang harus kuberikan? Antara
rasa takut mendzolimi orang yang kesusahan dan khawatir tertipu
bercampur menjadi satu. Terus terang, yang membuatku heran adalah
sikapnya yang mudah meminta kepada orang yang belum kenal. Terdesak
apapun, seorang akhwat tidak akan mudah meminta. Maksimal ia akan
meminjam, bukan meminta. Tapi bisa jadi dia benar-benar terpaksa
melakukannya. Setelah agak lama, kuberanikan bertanya tentang tujuannya.

“Rumah Mbak Rina dimana?” Bagaimanapun aku harus segera mengambil keputusan.

“Banyuwangi.”

“Banyuwangi mana?”

“Ana di jalan Bratang nomor 120 Banyuwangi.”

“Kalau begitu bareng saja. Saya juga mau ke Jember. Kita kan satu
jalur.” Di benakku langsung terbayang aku akan naik bis ekonomi dalam
cuaca yang sepanas ini. Tapi tak apalah, kan ada teman ngobrol. “Tapi
ana baru berangkat jam 2 nanti karena harus memblokir ATM yang juga
kecopetan.

“Kan bisa telepon ke kantor pusat layanan sekarang?”

“Tapi ana harus menghubungi suami dulu. Suami saya baru pulang kantor sekitar jam 2 siang.” Kilahnya

halus. Sebenarnya keraguanku semakin bertambah mendengar alasannya.
Atau, jangan-jangan aku yang terlalu paranoid. Ah, sudahlah. Aku
semakin kesal dengan diriku sendiri. Kalaupun tertipu aku masih ada
uang di tabungan, daripada bersuudhon, padahal dia benar-benar
membutuhkan. Otakku sudah capek berpikir lagi.

Aku juga tak mau tersiksa antara rasa kasihan dan suudhon. “Berapa,
ongkos ke Banyuwangi?” Akhirnya kalimat itu muncul dari mulutku.
Wajahnya tampak meunjukkkan rasa lega. “Biasanya Rp. 18000.” Segera
kusodorkan selembar duapuluh ribuan karena aku harus segera berangkat.
Aku tak ingin sampai di Jember maghrib. “Jazakillah, Ukh. Afwan ana
ngrepotin.”

“Nggak apa-apa, kok Mbak. Saya pergi dulu ya, Mbak. Assalamu’alaikum.”
Kutinggalkan bangku menuju tempat pemberangkatan bis diiringi tatapan
aneh dari puluhan pasang mata di sekitarku. Masa bodoh dengan mereka.
Segera kunaiki bis patas jurusan Jember. Sepanjang perjalanan aku masih
memikirkan peristiwa yang baru kualami. Ah, biarlah pasti ada hikmahnya.

* * * *

“Hati-hati, lho mulai sekarang.” Mbak Atik berkata sambil menghitung sisa Tarbawi di etalase. “Sekarang

susah membedakan antara orang yang benar-benar membutuhkan dengan penipu.” Sambungnya.

“Iya, lho. Pas aku pulang dari Nganjuk ketemu dengan orang seperti itu.
Katanya kesusahan, eh ternyata penipu.” Mbak Ros yang sedang menyapu
ikut bicara juga.

“Eh, Mbak Ros ketemu di mana?” Sambungku cepat.

“Di Bungurasih. Orangnya pake kostum persis akhwat.”

“Waduh! Jangan-jangan sama, Mbak.” Selaku cepat teringat kejadian dua hari yang lalu.

“Dek, Lilik ketemu juga?” “Iya. Kemarin pas mau ke Jember aku juga
ketemu di Surabaya. Katanya sih rumahnya Banyuwangi.” “Eh, rumahnya di
Jalan Bratang bukan?” “Iya.”

“Eh..eh. Kalian kok memalukan, sih. Masa satu rumah tertipu oleh orang
yang sama.” Sambung Mbak Atik geli. “Dia cerita gimana, Dek?” “Katanya
kecopetan sewaktu naik bis dari Malang ke Surabaya.”

“Kok, sama ya ceritanya.” “Berarti dia tergolong penipu yang nggak kreatif.”

“Sebenarnya yang menjadi masalah bukan uangnya. Tapi modus yang dipakai itu bisa merusak citra akhwat.”


Aku setuju dengan pendapat Mbak Ros. “Iya-ya. Aku jadi gemes juga.
Kayaknya yang menjadi sasaran memang akhwat. Bahasa yang dipakai
meyakinkan banget.” “Kira-kira apa yang harus kita lakukan, ya.
Kasihan, kan akhwat lain. Maunya membantu eh, malah tertipu.” Mbak Ros
tampak berpikir keras, sampai tidak sadar kalau menyapunya salah arah.
“Apalagi kalau yang menjadi sasaran orang umum. Benar-benar merusak
izzah kita.” “Kalau kita membuat tulisan di koran gimana? Paling tidak
memberi tahu agar para akhwat waspada.” Usulku memecah kesunyian.

“Bisa juga, sih.” Sambung Mbak Atik. Tapi sesaat kemudian. “Tapi apa nanti orang nggak salah paham?”

“Maksud Mbak Atik?” Kuperdekat kursiku ke arah meja.

“Takutnya pembaca akan mengira semua akhwat seperti itu. Penipu.”

“Benar juga, ya. Trus gimana?” Aku manyun sesaat. “Mbak Ros kasih
usulan, dong!” Kulihat Mbak Ros masih serius berpikir. Aku dan Mbak
Atik menunggu dengan sabar usulan Mbak Ros.

“Cepetan Mbak mikirnya.” Giliran Mbak Atik yang menjadi tidak sabar.

“Oh, ya. Aku ingat sekarang.” Wajah Mbak Ros tampak berbinar. Aku dan
Mbak Atik menatap penuh harap. “Sekarang aku ada jadwal mengajar.”
Lanjutnya tanpa bersalah. Waaa..aaa Mbak Ros jelek. Dikira mencari
solusi, eh malah mikir yang lain. Aku dan Mbak langsung memburu Mbak
Ros yang lari kebelakang.

* * * *

Kugeser tasku agar lebih dekat. Siang ini terminal Bungurasih agak
sepi, sehingga banyak kursi kosong di ruang tunggu. Aku harus menunggu
kakakku yang masih ke toilet. Seorang laki-laki duduk di bangku yang
sederet denganku. Aku hanya melihatnya sekilas, selanjutnya aku
teruskan membaca novel islam terbaruku. “Assalamu’alaikum.” Sebuah
suara menghentikan bacaanku. Reflek mataku menoleh ke sumber suara
tadi. Deg!! Jantung serasa berhenti berdetak. Kutatap lekat wajah di
depanku. Ia adalah orang yang telah menipu aku dan Mbak Ros. Ternyata
aku bertemu lagi dengannya di sini. Sepertinya terminal ini memang
menjadi daerah operasinya. Tapi kenapa dia seperti tidak mengenaliku?
Apa karena terlalu banyak akhwat yang menjadi korbannya? Atau karena
wajahku yang agak berubah akibat cacarku yang belum sembuh?


“Wa..alaikum salam.” Kuatur nafasku agar tetap tenang. Otakku segera berpikir keras untuk menyusun

strategi dalam menghadapinya. “Duduk, Mbak.” Ajakku ramah. Setelah
suasana agak cair, mulailah orang yang sekarang bernama Mia itu
bercerita. Persis yang pernah dia ceritakan sebulan lalu. Benar-benar
tidak kreatif, pikirku.


“Afwan.” Sambungku setelah ceritanya selesai. “Mbak lupa dengan
saya?” Kutatap wajahnya tajam. “Sebulan yang lalu kita pernah ketemu di
sini, kan?” Kulihat ekspresi wajahnya yang langsung berubah pias. “Dan
Mbak juga mengarang cerita yang sama. Maskudnya apa?!” Aku semakin
mendesaknya karena merasa berada di posisi yang menang. Ia hanya diam
membisu. “Dengar, Mbak. Gara-gara perbuatan Mbak, nama jilbab jadi
tercemar dan banyak akhwat yang menjadi korban. Kasihan, kan mereka.
Belum tentu mereka punya kelebihan uang. Kalau Mbak memang mau menipu
nggak usahlah berdandan seperti ini.” Dia hanya menatap sinis mendengar
ucapanku. “Dan afwan. Sekarang saya nggak bawa uang karena sedang
diantar kakak.”


Aku hampir melanjutkan kalimatku ketika terdengar suara yang cukup jelas di telingaku.

“Diam!! ..” Nafasku berhenti seketika saat laki-laki yang di sebelahku telah mendekat dengan sebuah

pisau kecil di tangan. Aku mendelik karena tidak menyangka kalau Rina
atau entah siapa namanya…mempunyai sindikat yang tidak main-main.
“Cepat beri yang dia minta,….atau kau ingin pilihan yang lebih buruk
lagi, hah ..h!!” “Ee…e. Iya … , iya Pak. Sebentar. Sebenarnya saya
tidak membawa….”

“Cepat!!” Aduh, aku semakin gugup. Tremorku pun mendadak kambuh. Kakak, kenapa ke toiletnya lama sekali.


Aku hampir menangis karenanya. Segera kuaduk isi tasku dan kutemukan
satu-satunya lembaran lima puluh ribuan di sana. Disambarnya uang
tersebut dengan kasar oleh Rina. “Jazakillah, Ukhti.” Ucapnya dengan
nada penuh kemenangan. Aku benar-benar marah dan jengkel dibuatnya.

Tapi apa dayaku melihat mata laki-laki yang mendelik penuh ancaman
terus mengawasi. Aku benar-benar lemas. Dari sela-sela hilir mudik
manusia tampak kakakku datang dengan membawa botol minuman.
“Kakaaa..kk.!” Jeritku spontan. Yang kupanggil hanya bengong melihat,
karena memang Rina dan temannya telah pergi. Uhh… dasar nggak peka!


Sumber:http://feeds.feedburner.com/co/fvzz

1 komentar:

wah ada yang membekap ternyata, posisi kedua membuat si penipu melakukan sop b, jadi dia tidak sendirian, pernah saya juga disitu, cuman ngakunya mau pulang ke cirebon, trus saya ajak dia menemui petugas terminal,maksud saya biar dibicarakan disana, karena petugasnya yg lebih tau bis mana berangkat jam berapa, eh tapi ga jadi, hati-hati di jalan

20 Maret 2013 pukul 06.43  

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda