Kuatkah Kita Menahan Cobaan Ini ??

Mengapa dunia tak seindah yang diangan - angankan orang yang benar merindukan kebahagiaan itu
Betapa bahagia orang yang hidupnya selalu di beri kemudahan dan kebahagiaan
Jangan pernah menyepelekan orang serasa rendah di mata kita
Karena sebenarnya orang orang itulah orang sangat kuat dalam mengarungi hidup dengan cobaan mereka
Yang kita sendiri sendiri belum temtu mampu memikulnya
By Anwar





Inikah nasib? Terlahir sebagai menantu bukan pilihan. Tapi aku dan Kania

harus tetap menikah. Itu sebabnya kami ada di Kantor Catatan Sipil. Wali

kami pun wali hakim. Tapi aku masih sangat bersyukur karena Lukman dan Naila mau hadir menjadi saksi. Itu 25 tahun yang lalu.


22 tahun yang lalu,

Pekerjaanku tidak begitu elite, tapi cukup untuk biaya makan keluargaku.

aku punya momongan. Seorang putri, kunamai ia Kamila. Aku berharap ia
bisa menjadi perempuan kaya akan budi baik hingga dia tampak sempurna.
Kulitnya masih merah, mungkin karena ia baru berumur seminggu. Sayang,
dia tak dijenguk kakek-neneknya . Orangtuaku dan orangtua Kania tak mau
menerima kami. Ya sudahlah. Aku tak berhak untuk memaksa dan aku tidak
membenci mereka. Aku hanya yakin, suatu saat nanti, mereka pasti akan
berubah.


19 tahun yang lalu,

Kamilaku gesit dan lincah. Dia sekarang sedang senang berlari-lari,

melompat-lompat atau meloncat kemudian berteriak "Horeee, Iya bisa
terbang". Begitulah dia memanggil namanya sendiri, Iya. Dan Kania tak
jarang berteriak, "Iya sayaaang," jika sudah terdengar suara "Prang".
Itu artinya, ada yang pecah, bisa vas bunga, gelas, piring, atau meja
kaca. Dan dia cuma bilang "Kenapa semua kaca di rumah ini selalu pecah,
Ma?"


18 tahun yang lalu,

Hari ini Kamila ulang tahun. Aku sengaja pulang lebih awal dari
pekerjaanku agar bisa membeli hadiah dulu. Kemarin lalu dia merengek
minta dibelikan bola. Makanya kubelikan ia sebuah bola. Paling tidak
aku bisa punya lawan main setiap sabtu sore. Dan seperti yang sudah
kuduga, dia bersorak kegirangan waktu kutunjukkan bola itu.

"Horee, Iya jadi pemain bola."


17 Tahun yang lalu

Iya, Iya. Bapak kan sudah bilang jangan main bola di jalan. Mainnya di

rumah aja. Coba kalau ia nurut, Bapak kan tidak akan seperti ini. Hari
itu hari Sabtu dan aku akan menjemputnya dari sekolah. Kulihat anakku
sedang asyik menendang bola sepanjang jalan pulang dari sekolah dan ia
semakin ketengah jalan. Aku berlari menghampirinya, rasa khawatirku
mengalahkan kehati-hatianku dan "Iyaaaa..." Sebuah truk pasir telak
menghantam tubuhku, lindasan ban besarnya berhenti di atas dua kakiku.
Waktu aku sadar, dua kakiku sudah diamputasi. Ya Tuhan, bagaimana ini.
Bayang-bayang kelam menyelimuti pikiranku, tanpa kaki, bagaimana aku
bekerja. Kulihat Kania menangis sedih, bibir cuma berkata "Coba kalau
kamu tak belikan ia bola!"


15 tahun yang lalu,

Perekonomianku morat marit setelah kecelakaan. Uang pesangon habis
untuk ke rumah sakit dan uang tabungan menguap jadi asap dapur. Kania
mulai banyak mengeluh dan Iya mulai banyak dibentak. Aku hanya bisa

membelainya. Dan bilang kalau Mamanya sedang sakit kepala makanya cepat
marah. Perabotan rumah yang bisa dijual sudah habis. Dan aku tak bisa
berkata apa-apa waktu Kania hendak mencari ke luar negeri. Dia ingin

penghasilan yang lebih besar untuk mencukupi kebutuhan Kamila. Diizinkan

atau tidak diizinkan dia akan tetap pergi. Begitu katanya. Dan akhirnya

dia memang pergi ke Malaysia.


13 tahun yang lalu,

Setahun sejak kepergian Kania, keuangan rumahku sedikit membaik tapi itu

hanya setahun. Setelah itu tak terdengar kabar lagi. Dengan segala
keprihatinan kupaksakan agar Kamila bisa melanjutkan sekolah. Aku
bekerja serabutan, mengerjakan pekerjaan yang bisa kukerjakan dengan
dua tanganku. Aku miris, menghadapi kenyataan. Menyaksikan anakku yang
tumbuh remaja dan aku tahu dia ingin menikmati dunianya. Tapi keadaanku
mengurungnya dalam segala kekurangan. Tapi aku harus kuat. Aku harus
tabah untuk mengajari Kamila hidup tegar.


10 tahun yang lalu,

Aku sedih, semua tetangga sering mengejek kecacatanku. Dan Kamila hanya
sanggup berlari ke dalam rumah lalu sembunyi di dalam kamar. Dia sering
jadi bulan-bulanan hinaan teman sebayanya. Tapi anakku memang sabar dia
tidak marah walau tak urung menangis juga. "Sabar ya, Nak!"
hiburku."Pak, Iya pake ****** aja ya, biar tidak diganggu!" pintanya
padaku. Dan aku menangis. Anakku maafkan bapakmu, hanya itu suara yang
sanggup kupendam dalam hatiku. Sejak hari itu, anakku tak pernah lepas
dari kerudungnya. Dan aku bahagia. Anakku, ternyata kamu sudah semakin
dewasa. Dia selalu tersenyum padaku. Dia tidak pernah menunjukkan
kekecewaannya padaku karena sekolahnya hanya terlambat di bangku SMP.


7 tahun yang lalu,

Aku merenung seharian. Ingatanku tentang Kania, istriku, kembali menemui

pikiranku. Aku tak mungkin bohong pada diriku sendiri, jika aku masih
menyimpan rindu untuknya. Dan itu pula yang membuat aku takut. Semalam
Kamila bilang dia ingin menjadi TKI ke Malaysia. Sulit baginya mencari
pekerjaan di sini yang cuma lulusan SMP. Haruskah aku melepasnya karena
alasan ekonomi. Dia bilang aku sudah tua, tenagaku mulai habis dan dia
ingin agar aku beristirahat. Dia berjanji akan rajin mengirimi aku uang
dan menabung untuk modal. Setelah itu dia akan pulang, menemaniku
kembali dan membuka usaha kecil-kecilan. Kali ini pun aku tak kuasa
untuk menghalanginya. Aku hanya berdoa agar Kamilaku baik-baik saja.


4 tahun lalu,

Kamila tak pernah telat mengirimi aku uang. Hampir tiga tahun dia di

sana. Dia bekerja sebagai seorang pelayan di rumah seorang nyonya. Tapi

Kamila tidak suka dengan laki-laki yang disebutnya datuk. Matanya tak

pernah siratkan sinar baik. Dia juga dikenal suka perempuan. Dan nyonya

itu adalah istri mudanya yang keempat. Dia bilang dia sudah ingin

pulang. Karena akhir-akhir ini dia sering diganggu. Lebaran tahun ini
dia akan berhenti bekerja. Itu yang kubaca dari suratnya. Aku senang
mengetahui itu dan selalu menunggu hingga masa itu tiba. Kamila bilang,
aku jangan pernah lupa salat dan kalau kondisiku sedang baik usahakan
untuk salat tahajjud. Kini anakku lebih pandai menasihati daripada aku.
Dan aku bangga.


3 tahun 6 bulan yang lalu,

Inikah badai? Aku mendapat surat dari kepolisian pemerintahan Malaysia,

kabarnya anakku ditahan. Dan dia diancam hukuman mati, karena dia

terbukti membunuh suami majikannya. Sesak dadaku mendapat kabar ini.
Aku menangis, aku tak percaya. Kamilaku yang lemah lembut tak mungkin

membunuh. Lagipula kenapa dia harus membunuh. Aku meminta bantuan hukum
dari Indonesia untuk menyelamatkan anakku dari maut. Hampir setahun aku
gelisah menunggu kasus anakku selesai. Tenaga tuaku terkuras dan
airmataku habis. Aku hanya bisa memohon agar anakku tidak dihukum mati
andai dia memang bersalah.


2 tahun 6 bulan yang lalu,

Akhirnya putusan itu jatuh juga, anakku terbukti bersalah. Dan dia harus

menjalani hukuman gantung sebagai balasannya. Aku tidak bisa apa-apa

selain menangis sejadinya. Andai aku tak izinkan dia pergi apakah
nasibnya tak akan seburuk ini? Andai aku tak belikan ia bola apakah
keadaanku pasti lebih baik? Aku kini benar-benar sendiri. Atas
permintaan anakku aku dijemput terbang ke Malaysia. Anakku ingin aku
ada di sisinya di saat terakhirnya. Lihatlah, dia kurus sekali. Dua
matanya sembab dan bengkak. Ingin rasanya aku berlari tapi apa daya
kakiku tak ada. Aku masuk ke dalam ruangan pertemuan itu, dia berhambur
ke arahku, memelukku erat, seakan tak ingin melepaskan aku.

"Bapak, Iya Takut!" aku memeluknya lebih erat lagi. Andai bisa ditukar,

aku ingin menggantikannya.

"Kenapa, Ya, kenapa kamu membunuhnya sayang?"

"Lelaki tua itu ingin Iya tidur dengannya, Pak. Iya tidak mau. Iya

dipukulnya. Iya takut, Iya dorong dan dia jatuh dari jendela kamar. Dan

dia mati. Iya tidak salah kan, Pak!"

Aku perih mendengar itu. Aku iba dengan nasib anakku. Masa mudanya

hilang begitu saja. Tapi aku bisa apa, istri keempat lelaki tua itu

menuntut agar anakku dihukum mati. Dia kaya dan lelaki itu juga orang

terhormat. Aku sudah berusaha untuk memohon keringanan bagi anakku,
tapi menemuiku pun ia tidak mau. Sia-sia aku tinggal di Malaysia selama
enam bulan untuk memohon hukuman pada wanita itu.


2 tahun yang lalu,

Hari ini, anakku akan dihukum gantung. Dan wanita itu akan hadir

melihatnya. Aku mendengar dari petugas jika dia sudah datang dan ada di

belakangku. Tapi aku tak ingin melihatnya. Aku melihat isyarat tangan

dari hakim di sana. Petugas itu membuka papan yang diinjak anakku. Dan

'blass" Kamilaku kini tergantung. Aku tak bisa lagi menangis. Aku
mendengar langkah kaki menuju jenazah anakku. Dia menyibak kain
penutupnya dan tersenyum sinis. Aku mendongakkan kepalaku, dan dengan
mataku yang samar oleh air mata aku melihat garis wajah yang kukenal.

"Kania?"

"Mas Har, kau . !"

"Kau ... kau bunuh anakmu sendiri, Kania!"

"Iya? Dia..dia . Iya?" serunya getir menunjuk jenazah anakku.

"Ya, dia Iya kita. Iya yang ingin jadi pemain bola jika sudah besar."

"Tidak ... tidaaak ... " Kania berlari ke arah jenazah anakku. Diguncang

tubuh kaku itu sambil menjerit histeris. Seorang petugas menghampiri

Kania dan memberikan secarik kertas yang tergenggam di tangannya waktu
dia diturunkan dari tiang gantungan. Bunyinya "Terima kasih Mama." Aku
baru sadar, kalau dari dulu Kamila sudah tahu wanita itu ibunya.


Setahun lalu,

Sejak saat itu istriku gila. Tapi apakah dia masih istriku. Yang aku

tahu, aku belum pernah menceraikannya. Terakhir kudengar kabarnya dia

mati bunuh diri. Dia ingin dikuburkan di samping kuburan anakku, Kamila.

Kata pembantu yang mengantarkan jenazahnya padaku, dia sering berteriak,

"Iya sayaaang, apalagi yang pecah, Nak." Kamu tahu Kania, kali ini yang

pecah adalah hatiku. Mungkin orang tua kita memang benar, tak
seharusnya kita menikah. Agar tak ada kesengsaraan untuk Kamila anak
kita. Benarkah begitu Iya sayang?


Sumber

0 komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda