Si Hitam Pemalas

By RetnoWi | May 6, 2008


Bisa Didownload Cerpen Versi Pdf





***

Kukuruyuuu…uk!

Kukuruyuuu…uk!


Si Jago Putih berkokok keras. Suaranya memanjang, menembus butanya
pagi yang dingin. Gaungnya memanggil fajar yang sebentar lagi muncul
menggantikan gelap. Ini adalah tugasnya sehari-hari sebagai pimpinan
kandang. Berkokok menjelang fajar untuk membangunkan semua penghuni.
Suasana kandang yang senyap langsung riuh. Beberapa induk ayam mulai
membangunkan anak-anaknya.


Kukuruyuuu….uk!

Kukuruyuuu…uk!



“Ayo, Bangun! Bangun!” Si Lurik berkokok, membangunkan anak-anaknya yang pulas terlelap.

“Aahh…! Sudah pagi ya?” dengan mata setengah terpejam, anak Si Lurik menguap lebar.

“Sebentar lagi fajar akan datang dan cakrawala muncul dari timur. Artinya rejeki kita juga akan datang.”

Beberapa anak ayam itu pun menggeliat dan memicingkan mata.


Kukuruyuuu….uk!

Kukuruyuuu….uk!


Si Jago Putih berkokok lagi. Kali ini anak-anak si Lurik berdiri.

“Ayo cepat. Jangan sampai kita bangun setelah terbit matahari.” Si Lurik berkeliling kandang membangunkan ayam-ayam yang lain.

Satu per satu ayam-ayam mulai keluar, meninggalkan kandang yang pengap,
menyambut fajar yang belum muncul. Si Lurik memperhatikan semua
ayam-ayam yang keluar.


“Uugh!… Selalu dia telat. Dasar pemalas.” Si Lurik menggerutu ketika
melihat sesekor ayam hitam yang masih tenang mendengkur di sudut
kandang.


“Ayo, bangun Hitam. Semua ayam sudah keluar kandang.” Si Hitam tetap pulas. Seolah tak ada siapapun di dekatnya.

Dengan sedikit jengkel Si Lurik menarik-narik sayap Si Hitam.

“Ayo, Hitam. Subuh sudah lewat. Ayo bangun.”.

“Uaa…aghh! Ada apa sih?” Tanya Si Hitam dengan mata masih terpejam.

“Hari sudah pagi. Kau bisa kehabisan makanan nanti .”

“Aah… malas. Aku masih ngantuk. Lagian aku tidak akan kehabisan
makanan. Pak Tani sedang panen, pasti akan menjemur padi-padinya hari
ini.” Kembali Si Hitam meletakkan kepalanya ke tumpukan jerami.
Zzz….zzz…..zzz…. Si Lurik yang benar-benar sebal langsung keluar
meninggalkan Si Hitam yang memang pemalas.


Di luar kandang kabut masuh tebal. Udara terasa begitu dingin. Tidak seperti pagi-pagi sebelumnya.

“Bu, kenapa pagi ini dingin sekali?” Tanya anak Si Lurik.

”Iya, kata Ibu kalau Si Putih berkokok, matahari akan muncul. Tapi
mana? Sampai sekarang di langit tidak ada matahari?” Tanya anak ayam
yang lain.

“Kalau Si Putih berkokok artinya fajar sudah menjelang. Kalau ternyata
sampai sekarang matahari belum muncul itu bukan karena matahari tidak
terbit. Matahari tetap terbit, tapi karena langit mendung, maka
cahayanya tidak sampai ke bumi.” Jawab Lurik dengan sabar. “Makanya
kalian jangan hanya diam. Kalian berolah raga, agar badan terasa
hangat.”


Anak-anak ayam itu menurut. Mereka mnarik-narik kakai dan
mengepakkan sayap. Ketika melihat seekor belalang melompat segera
mereka mengejar. Mereka telah lupa dengan pagi yang dingin dan kabut
yang tebal.

“Wah, lihat! Itu Pak Tani datang.” Seru seekor anak ayam dengan girang.
Bersama ayam-ayam lain ia segera berlari kecil-kecil mengikuti langkah
lebar kaki pak Tani.


“Ayo, semua makan. Jangan rebutan, ya.” Kata Pak Tani pada mereka.
Dengan tenang Pak Tani segera menyendokkan campuran bekatul dan air ke
dalam belahan tempurung kelapa. Serentak, ayam-ayam itu langsung
mengerumuni tempurung kelapa dan mematuki bekatul dengan riang. Setelah
semua tempat makanan penuh, Pak Tani kembali masuk ke rumah.


Sepi. Semua ayam sedang sibuk menikmati makanan pagi itu.
Mematuk-matuk bekatul hingga habis. Mereka tak peduli dengan langit
yang semakin mendung.

“Aahh!…aku benar-benar kenyang.” Kata seekor ayam gendut yang berekor
panjang. “Lihat, perutku sudah penuh.” Katanya sambil menonjolkan
perutnya yang gemuk dengan lucu.


“Meskipun tidak makan seminggu, perutmu akan tetap gendut.” Goda ayam yang lain.

“Sepertinya sudah gerimis. Ayo semua masuk kandang. Jangan sampai
kehujanan. Nanti bisa sakit.” Teriak Si Putih mmemberi komando.

“Tapi makananku belum habis.” Kata seekor ayam yang kurus.

“Kau ini selalu lambat soal makanan. Di keroyok ayam tetangga baru tahu rasa, lho.” Gerutu Si Gendut saat melintas.

“Dasar gendut! Selalu cerewet.”

“Sudah-sudah. Gendut, ayo segera masuk. Biar ayam ini menyelesaikan makannya.” Perintah si Putih.


Ayam-ayam lain segera berjalan menuju kandang. Sementara Si Putih
terus mengawasi langit. Berharap hujan tidak turun dengan deras.

“Ayo, cepat sedikit makanmu.”

“Iya, ini tinggal sedikit.” Dengan sedikit tergesa ayam malang itu
menghabiskan makannya. Setelah selesai, ia langsung berlari menuju
kandang sambil terbatuk-batuk karena tersedak. Di belakangnya, Si Putih
mengikuti.


Suasana kandang kembali ramai. Ayam-ayam berceloteh dengan gembira.
Mereka bercanda dan tertawa. Namun keramaian itu membuat tidur Si Hitam
terganggu. Dengan mata sedikit terbuka, ia mencoba menyaksikan apa yang
terjadi. Ia masih belum mengerti kenapa ayam-ayam sudah kembali kandang
sepagi ini. Biasanya mereka berkeliaran sampai siang.


“Ada apa, sih? Ribut sekali?”

“Wah, Si Hitam sudah bangun rupanya.”

“Kenapa kalian sudah kembali ke kandang pagi-pagi begini?” selidik Si
Hitam penuh tanya. “mengganggu tidurku biar aku terbangun, ya?!”

“Hitam, di luar sedang hujan, makanya kami semua sudah kembali ke kandang.” Jawab Si Putih.


“Apa? Hujan?” Mata Si hitam membesar seketika. Ia segera berlari
melongok keluar kandang. Benar apa yang dikatakan Si Putih! Hujan
sedang turun dengan deras. Kepalanya mendongak, dilihatnya langit
begitu gelap. Mendung masih tebal, itu tandanya hujan masih lama
turunnya. Dengan langkah lemas. Si Hitam kembali ke kandang. Ia mulai
menyesal kenapa tidak menuruti ajakan si Lurik untuk bangun pagi. Kalau
hujan begini, tidak mungkin Pak Tani menjemur padinya. Perutnya sudah
mulai merasa lapar. Ia hanya bisa berdoa agar hujan segera berhenti.
Sejak saat itu Si Hitam selalu bangun pagi-pagi. Ia tak ingin kelaparan
gara-gara terlambat bangun.


Sumber:http://feeds.feedburner.com/co/fvzz

0 komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda