Menunggu saat Bintang Jatuh



Cerpen
Emi Teja K.D.
Dimuat di
Pontianak Post
06/08/2008
Telah Disimak 21 kali





LANGIT indah bertabur temaram bintang malam ini. Sang dewi malam
dengan anggun menebar senyumnya yang merekah. Seperti bibir bidadari
surga. Lama rasanya aku melupakan atap dunia itu. Aku terlalu sibuk
berada di bumi hingga tak sempat menengok langit. Bintang, benda langit
itu berkerlap-kerlip seakan menggodaku. Bagai tangan malaikat yang
melambai agar aku menghampirinya. Ia mengingatkanku pada mitos bintang
jatuh.

Kata orang, bintang jatuh dapat mengabulkan permintaan
manusia. Benarkah? Jika iya, aku rela menunggu benda langit itu
tertarik gravitasi bumi, meski harus menantinya tiap malam, hanya untuk
satu permintaan. Ah, kenapa pula aku jadi seperti bocah. Mana mungkin
benda langit yang tak mampu melawan takdir untuk dirinya sendiri
tersebut mampu mengabulkan keinginan makhuk lain?

Seandainya
bintang jatuh mampu mengabulkan keinginan, pasti dia akan meminta
sendiri kepada Tuhan agar kontraknya di atap dunia diperpanjang.
Buktinya, ia memilih menuruti kehendak alam.

Sayang, saat ini,
aku yang sedang sentimentil merasa bintang yang menggoda itu seakan
seperti pantulan cermin atas diriku sendiri. Awalnya begitu indah,
tinggi di awang-awang namun tak terjamah, jauh, dan jika Tuhan
menghendakinya jatuh, ia tak mampu melawan.

Aku terlahir sebagai
bocah desa biasa, anak buruh tani. Kedua orang tuaku tak lulus SD,
begitu juga kedua kakak perempuanku. Mereka menikah di usia yang masih
sangat belia, menjadi ibu rumah tangga, mengurusi anak, suami, dan
dapur.

Status yang menurutku benar-benar rendah dan aku tak mau
seperti mereka. Adalah Pak Ahmad, kepala desaku yang menjadi
kepanjangan tangan Tuhan mengubah seluruh duniaku. Beliau mengangkatku
menjadi anak asuhnya sejak aku SD karena terkesan dengan prestasi
belajarku saat aku menjadi juara 1 lomba cerdas cermat se-kecamatan.

Sejak
saat itu, beliau menanggung semua biaya pendidikan, termasuk semua
keperluanku. Aku tak pernah kekurangan apa pun. Semua yang aku mau,
sekarang aku minta, esok pagi saat aku baru membuka mata, pasti aku
telah mendapatkannya. Aku cantik, setidaknya aku primadona desa. Aku
juga sudah memiliki belahan hati yang telah kuyakini adalah jodohku.
Laki-laki tersebut bernama Awan. Itu yang dulu aku namai keberuntungan.

Aku menikmati semua anugerah Tuhan tersebut. Tapi, saat ini
tidak demikian, aku berharap ada bintang jatuh, berharap mitos
tentangnya benar. Satu keinginan yang ingin aku minta adalah aku tak
ingin jadi diriku sekarang. Aku ingin menjadi Sekar, gadis desa anak
Pak Kardi dan Ibu Karmi, buruh tani yang tak lulus SD. Aku ingin
seperti Mbak Gendis dan Mbak Elok.

Semua masih biasa saja
sampai kemarin, namun sebuah kejadian tadi siang benar-benar menjungkir
balik duniaku. Seharusnya, siang ini menjadi saat paling indah dalam
hidupku. Sebulan yang lalu, Awan mengungkapkan niat untuk melamarku dan
aku setuju. Aku telah merangkai jutaan angan tentang masa depan kami,
tentang rumah mungil yang hangat. Tentang bayi-bayi lucu yang kelak
menjadi calon profesor.

Sebuah hal yang tak aku duga, ternyata,
merusak segalanya. Kedatangan Awan hari ini tak kunyana tak mendapatkan
sambutan baik dari bapak angkatku. Beliau menolak mentah-mentah niat
Awan untuk meminangku. Bahkan, beliau bersumpah tidak akan menyetujui
hubungan kami sampai kapan pun. Aku tak pernah melihat bapak semarah
itu, tidak sama sekali sejak 11 tahun aku mengenal beliau.

Tapi,
hari ini malaikat itu berubah menjadi monster paling menakutkan. Semua
tak seperti kemarin lagi. Dunia tak lagi indah bagiku, meski langit
sedang berpesta di atas sana. Hatiku terasa jauh lebih sakit saat tadi
sore, setelah bencana itu, aku pulang ke rumah orang tua kandungku. Aku
menceritakan semuanya, namun tak memperoleh pembelaan di sana. Di rumah
orang tua yang telah melahirkanku.

"Kamu sudah dewasa, kamu
sudah jadi wong pinter nduk, dan semua itu karena jasa Pak Ahmad, bapak
angkatmu. Jangan jadi anak durhaka Sekar, mintalah maaf kepadanya dan
turuti apa yang beliau minta." Hatiku sakit mendengar kalimat itu,
ringan keluar dari bibir ibu, wanita yang mengandung dan melahirkanku.
Meski tanpa melihat wajah beliau, aku tahu tak ada beban dari nada
suaranya. Ah ibu, apa benar tak ada lagi cintamu untukku?

Langit
masih bertabur bintang di atas sana, masih menyiratkan keindahan alam
awang-awang nun tak terjamah. Angin malam mulai membuatku menggigil.
Aku baru sadar, aku tidak sedang di rumah Pak Kepala Desa yang megah
dan hangat. Namun, aku sedang meringkuk di sudut balai desa tak
berdinding, tanpa alas, dan tanpa teman.

Aku tak tau apakah
bapak angkatku saat ini sedang sibuk mencariku atau hanya diam di rumah
menungguku pulang sendiri. Meminta maaf kepadanya, lalu dengan santun
mengatakan bahwa aku akan ikhlas menerima apa pun yang beliau mau.

Baru
kali ini aku tahu betapa berharga sebuah kemerdekaan dan kebebasan
menentukan pilihan sendiri. Andai aku bisa, aku ingin kembali ke masa
lalu, aku tak ingin mengenal seseorang yang pernah aku anggap malaikat
itu. Tak apalah aku hanya menjadi gadis desa yang bodoh, seperti yang
lain, hidup bersama Awan.

Awan, mengingatnya kembali membuat
dadaku sesak. Aku bodoh, aku lemah, dan aku tak mampu melawan. Kuintip
lagi langit yang tampak jelas dari tempatku menyudut, tetap semarak
meski sangat sepi. Pasti sudah lewat dini hari, kelengangan meraja.

****

Silau
mentari menerpa wajahku, aku menyipitkan mata karenanya. Hari sudah
terang. Aku tersentak kaget saat menyadari ada seseorang di dekatku.
Bapak? Bagaimana bisa orang yang kuhujat semalaman itu tiba-tiba duduk
di dekatku. Sebuah sarung kotak-kotak warna hijau menyelimuti tubuhku.

Aku
kenal betul benda itu, sarung yang sengaja aku beli untuk Bapak saat
aku liburan ke Jogja dulu. Bapak selalu mengenakannya. Air mataku
meleleh melihat malaikat itu tertidur dalam posisi duduk. Pastilah
tulang-tulang tua tersebut memberinya rasa pegal dan sakit yang
menyiksa. Tiba-tiba aku merasa sangat berdosa kepadanya. Bapak, maafkan
aku.

"Jangan menangis cah ayu,...jangan cengeng.." Rupanya,
isak tangisku mengusik tidur beliau. Tangan tuanya yang keriput
mengusap air mata di pipiku. Aku makin tersedu.

"Bapak tahu kamu sangat marah sama Bapak karena kejadian kemarin...." Suara datar penuh wibawa itu terdengar sangat halus.

"Bapak
tak akan melarangmu menikah dengan siapa pun. Kamu bebas memilih, kamu
telah dewasa, bahkan sebentar lagi kamu akan sah jadi sarjana, yang
pertama dan satu-satunya di desa ini. Tapi, jangan dengan anak bajingan
itu, sampai mati pun bapak tak rela.." Aku memilih diam, aku hanya
terisak dan semakin terisak. Aku pasrah saja saat bapak angkatku itu
menuntunku pulang.

****

Seminggu sudah bencana itu
berlalu, aku memilih patuh kepada Bapak. Sudah seminggu pula, aku
menghabiskan malam tanpa menutup mata. Berdiam diri di balkon kamarku
sambil menatap langit berharap dapat menemukan bintang jatuh. Malam
ini, kupastikan tak ada bintang jatuh, hujan sudah mengguyur bumi mulai
sore tadi. Tapi, aku tetap seperti hari-hari sebelumnya.

"Nduk Sekar, dipanggil Bapak," suara Mbok Jah terdengar dari balik pintu kamarku.

"Ya Mbok, terima kasih," jawabku acuh tanpa membuka pintu

"Nduk, dipanggil Bapak," Mbok jah mengulangi panggilannya.

"Iya..iya.., bentar!!!" sambil membuka pintu kubentak wanita sepuh itu.

"Maaf nduk, tapi Bapak sedang sakit. Beliau ingin bertemu dengan Nduk Sekar."

"Sakit?
Sakit apa? Sejak kapan Mbok? Sepertinya, kemarin-kemarin aku melihat
Bapak sehat-sehat saja?" aku menghujani pertanyaan kepada Mbok Jah
sambil melangkah menuju kamar Bapak. Pintu kamar itu terbuka sebagian,
dari luar aku sudah dapat melihat wajah Bapak. Pucat dan lemah.

"Bapak kenapa?? Bapak...." aku menjerit histeris sambil memegangi tangan Bapak.

"Jangan
menikah dengan anak Surya, Sekar. Berjanjilah pada Bapakmu
ini,....berjanjilah," suara itu samar, hampir tak terdengar tapi sangat
menghujam jantungku. Refleks aku mengangguk.

"Aku berjanji Bapak, aku berjanji,...."

****

Hari
ini aku terpaku menatap gundukan tanah yang masih basah. Semerbak bau
kembang terbawa angin bersama debu dan daun kering. Di bawah sana,
malaikat sekaligus monster itu terbaring untuk selamanya meninggalkan
janji yang sangat berat di pundakku.

Di seberang sana, aku
melihat sosok yang sangat aku kenal. Awan terpaku di bawah pohon
kamboja. Seakan memintaku untuk mendekatinya. Aku ingin berlari ke
arahnya menumpahkan kerinduanku. Tapi, janji yang aku ucap semalam
kepada jasad yang tertidur di bawah nisan ini merantai kakiku. Aku
memilih untuk meninggalkan tempat itu, tanpa menegur atau sekadar
membalas tatapannya.

Nyawaku tak utuh lagi. Mungkin pergi
bersama Bapak atau tinggal bersama Awan yang masih terpaku di bawah
pohon kamboja. Janji adalah utang. Kepada beliau, aku tak hanya utang
janji, tapi juga utang budi. Selalu ada harga yang harus dibayar untuk
segala sesuatu, meski untuk sebutir pasir sekalipun. Jika itu harga
yang harus aku bayar, akan aku lakukan. Aku memang tak yakin bisa hidup
tanpa Awan.

Tapi, aku telah memilih untuk menepati janjiku
kepada Bapak. Biarlah takdir sendiri yang menentukan jalan kami.
Seperti bintang yang patuh untuk turun ke bumi saat Sang Mahakuasa
menghendakinya demikian.

Dendamlah yang membuat Bapak sangat
membenci Pak Surya, orang tua Awan. Bapak sangat meyakini bahwa
kematian istri dan putri tunggalnya, Mbak Lastri, adalah karena teluh
yang dikirim Pak Surya yang kala itu kalah pemilihan kepala desa.

Bapak
sangat meyakini itu benar. Meski diagnosis dokter mengatakan bahwa
mereka meninggal karena DBD. Saat itu, memang desa ini sedang diserang
wabah DBD. Namun, karena kejadian tersebut hanya berselang satu hari
setelah kemenangan Bapak, beliau meyakini ada kekuatan lain yang
merenggut nyawa dua orang keluarganya itu hingga meninggal secara
bersamaan.***

Sumber:http://sriti.com

0 komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda