Tabungan Rossi

By RetnoWi | May 9, 2008

Cring!

Cring!

Dua keping uang logam ditelan ayam.


Rosi mengangkat celengan ayamnya dengan sayang.

“Wah, sudah semakin berat. Berarti isinya semakin banyak. Ternyata
menabung itu benar-benar menyenangkan. Sebentar lagi aku bisa membeli
apa saja yang kuinginkan dengan uangku sendiri.” Rosi tersenyum senang.


“Rosi! Makan dulu, Nak.” Suara Mama memanggilnya dari ruang makan.
Dengan hati-hati Rosi menaruh lagi celengan ayamnya ke meja belajar.

Di meja makan Mama dan Papa sudah duduk di kursi. Rosi pun bergegas menuju kursi yang berada di sebelah Mama.


“Wah, sepertinya sayurnya seger banget.” Rosi tidak tahan melihat sayur
bayam yang tampak segar. Tangannya segera mengambil piring dan
menyendok nasi.

“Makanya makan yang banyak. Tadi kenapa Mama panggil kok, nggak jawab?” Tanya Mama sambil menaruh nasi ke piring.


“Tadi Rosi sedang asyik dengan celengan, Ma. Sudah hampir penuh, lo!
Paling seminggu lagi bisa di buka.” Rosi bercerita dengan bangga.

“Terus uangnya mau diapakan?” Tanya Mama.

“Ehm…Rosi pengen beli sepatu. tapi kira-kira cukup nggak, ya?” Rosi tak yakin dengan jumlah uang dalam celengannya.

“Nanti kalau kurang, biar Papa yang tambah. Sekalian nanti Papa antar.” Kata Papa.

“Wah, benar, Pa? Alhamdulillah, akhirnya aku bisa membeli sepatu dari uangku sendiri.”


Keesokan harinya di sekolah, Rosi segera mencari Fitri sahabatnya.
Rosi tahu kebiasaan sahabatnya, makanya ia segera menuju perpustakaan.
Dan benar, di sana Fitri sedang serius dengan bukunya.


“Assalamu’alaikum, Fitri.” Sapa Rosi sambil duduk menjajari Fitri.

“Wa’alaikum salam.” Jawab Fitri yang masih terus menunduk memandangi bukunya.

“Fit, nanti sepulang sekolah anterin aku, ya? Aku pengen lihat-lihat sepatu.”

Fitri hanya diam. Rosi pun jadi bingung dibuatnya. Kemudian Rosi
memperhatikan wajah Fitri yang masih menunduk. Oh, ternyata Fitri
menangis.


“Fitri, kamu kenapa? Sakit?” Tanya Rosi sambil memegang bahu sahabatnya itu.

Fitri tidak menjawab. Ia hanya menggelengkan kepalanya dengan pelan.

“Lalu kenapa?”

Fitri tetap diam. Menggelengpun tidak. Hanya isaknya yang terdengar agak keras.

“Ayolah, Fit. Ceritakan apa yang terjadi. Aku kan sahabatmu.” Bujuk Rosi.

Fitri mendongak. Dengan bibir bergetar ia pun bercerita.

“Ibuku sakit dan harus dibawa ke dokter. Tapi abangku belum mengirim
uang bulan ini.Hari ini sakit ibuku bertambah parah. Aku takut terjadi
apa-apa dengan ibu. Hik…hik…hik.”


Rosi tertegun. Iba dia melihat keadaan sahabatnya. Ia pun terbayang
dengan celengan ayam dan sepatu baru yang ingin dibelinya. Kepala Rosi
menunduk, memandangi sepatu yang sedang dipakainya. Sepatunya masih
tampak baru. Warnanya masih mengkilat karena setiap hari disemir oleh
mamanya.


Kemudian mata Rosi melirik sepatu milik Fitri. Warnanya telah kusam.
Di bagian ujungnya juga mulai koyak. Rosi semakin sedih melihat
sahabatnya.

“Mungkin aku bisa membantu.” Suara Rosi membuat wajah Fitri yang semula
menunduk menjadi tegak. “Aku mempunyai celengan. Insyaallah cukup untuk
membawa ibumu ke dokter.”

Mata Fitri langsung berbinar. Harapannya untuk bisa membuat ibunya sembuh semakin besar.

“Terimakasih Rosi. Engkau memang sangat baik. Aku janji, kalau abangku
mengirim uang pasti akan kukembalikan uangmu.” Ucap Fitri tulus.


* * *

Malam minggu tiba. Papa keluar dari kamar dengan baju yang sudah rapi. Hari ini Papa akan memenuhi janjinya pada Rosi.

“Rosi kok belum siap? Katanya mau membeli sepatu?” Kata Papa ketika melihat Rosi masih membaca buku di ruang tamu.


“Ehm… sepertinya nggak jadi, Pa.” Jawab Rosi pelan.

“Kenapa nggak jadi? Celenganmu belum penuh?”

“Sebenarnya sudah. Tapi uang itu tidak ada sekarang.” Wajah Rosi menunduk dalam-dalam.

“Uangmu hilang?” Tanya Papa lagi. Rosi hanya menggeleng.


“Maaf, Pa. Uang celengan itu saya pinjamkan ke Fitri. Ibunya sakit.
Abangnya yang di luar kota belum mengirim uang. Padahal ibunya harus
segera dibawa ke dokter. Akhirnya uang Rosi saya berikan. Kata Fitri,
kalau abangnya mengirim uanmg, ia akan mengembalikan uang itu. Lagian,
sepatu Rosi masih bagus.” Rosi mengakhiri ceritanya.


Papa duduk disebelah Rosi. Tangannya merangkul bah Rosi dengan erat.

“Subhanallah! Papa bangga punya anak seperti Rosi. Karena Rosi bisa
membuat keputusan yang baik untuk membantu orang lain dan tidak
mementingkan diri sendiri.” Kata Papa sambil tersenyum.


“Sekarang Rosi segera ganti baju dan ikut keluar bersama Papa.” Lanjut Papa.

“Ke mana, Pa?” Tanya Rosi.

“Tentu saja ke toko sepatu. Papa akan membelikan sepatu baru untuk
Rosi, sebagai hadiah kebaikanmu membantu teman yang kesusahan.” Jawab
Papa.

“ Benar, Pa? Tanya Rosi tak percaya.

“Tentu saja.” Papa mengangguk mantap.


“Terimakasih, Pa. Aku akan segera ganti baju sekarang.”Rosi gembira
luar biasa. Ia berjanji dalam hati kalau Firimengembalikan uangnya, ia akan membeli sepatu lagi. Tapi bukan untuknya, melainkan untuk Fitri sahabatnya.


Sumber:http://feeds.feedburner.com/co/fvzz

0 komentar:

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda