Tentang Sastra
SASTRA PADA PRIODE 1900-1933
”Bacaan Liar” dan Commissie Voor de Volkslectuur (Balai Pustaka)
Pada tahun 1848 Pemerintah jajahan Belanda mendapat kekuasaan dan Raja mempergunakan uang sebanyak f25.000 untuk keperluan sekolah. Sekolah itu didirikan untuk anak-anak untuk putera.
Dengan didirikanya sekolah banyak orang yang mempunyai kegemaran membaca dan menulis, sehinga timbulah orang yang berbakat yang mulai menulis berbagai rupa-rupa karangan. Surat-surat kabar dicetak baik dalam bahasa Belanda maupun dalam bahasa Melayu yang tersebar di Melayu, Jakarta dan kota yang lain.
Pada abar ke- 19 di Surabaya terbit surat kabar Bintang Timoer (1862), di Padang terbit Pelita Ketjil (1882), dan di Jakarta terbit Bianglala (1867).
Kemudian tahun 1900 ada surat kabar yang memuat karangan yang bersifat Sastra. Awal abad 20 di Bandung ada surat kabar Medan Prijaji yang memuat cerita-cerita bersambung yang berbentuk Roman. Yang sangat menarik ialah sebuah roman yang berjudul Hikayat Siti Mariah yang ditulis H.Moekti.
Disamping itu pemimpin redaksi Medan Prijaji, Raden Mas (Djoko Nomo) Tirto Adhisarjo (1875-1916) menulis dua buah cerita roman berjudul Bosuno (1910) dan Nyai Permana (1912).
Pengarang lain yang produktif adalah seorang wartawan bernama Mas Marco Martodikromo, kemudian terbit beberapa buah roman yaitu Mata Gelap (1914), Studen Hijau (1919), Syair Rempah-rempah (1919), dan Rasa Merdeka (1924)
Semaun menulis sebuah roman berjudul Hikayat Kadiroen (1924) yang dilarang beredar oleh pemerintah karena mereka berpaham kiri yang sifat-sifat dan isi karangan-karangan semacam itu banyak menghasut rakyat untuk berontak, maka karangan-karangan itu disebut “Bacaan Liar”, begitu juga dengan pengarangnya disebut “Pengarang liar”.
Peranakan Indo menulis cerita misalnya G.Francis yang menulis kisah Nyai Dasima (1896). Kaum terpelajar Indonesia pada waktu itu telah membaca buku pengarang Belanda yang membela hak kemerdekaan Pribumi. Misalnya Multatuli dalam bukunya Max Havelaar sangat besar pengaruhnya dalam membangkitkan kesadaran kebangsaan dan keinginan merdeka bangsa Indonesia. Multatuli adalah nama samaran dari Edward Douwes Dekker (1820-1887) yang artinya “Aku Telah Banyak Menderita”. Ia menjadi pegawai pemerintah jajahan di Indonesia. Pada tahun 1908 didirikan Komisi Bacaan Rakyat (Commissie Voor de Inlandsche School en Volkslectuur) yang berubah menjadi kantor Bacaan Rakyat (Kantoor Voor de Volkstectuur) pada tahun 1917 atau Balai Pustaka.
Pada tahun terbit roman pertama dalam Bahasa Sunda karangan D.K. Ardiwinata (1866-1947) berjudul Baruang Ka Nu Ngarora (Racun Bagi Para Muda). Pada tahun 1918 terbitlah cerita Si Jamin dan Si Johan yang disadur Merari Seregar dari Jan Smees karangan J. Van Maurik. Dua tahun kemudian terbit roman pertama dalam bahasa Indonesia berjudul Azab dan Sengsara Seorang Anak Gadis (1920) karya Merari Siregar yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Kemudian roman Marah Rusli berjudul Sitti Nurbaya (1922), kemudian disusul Muda Teruna (1922) karangan M. Kasim.
Sajak-sajak Yamin dan Rustam Effendi
Dalam majalah Jong Sumatra tahun 1920 dimuat sebuah sajak sembilan seuntai dengan Muhammad Yamin yang berjudul Tanah Air. Antara tahun 1920-1922 Yamin banyak menulis sajak-sajak lirika. Kebanyakan berupa pujian-pujian terhadap tanah air dan bahasa bundanya sebuah sejarahnya yang berjudul “Bahasa Bangsa”melukiskan perasaannya tentang “Tiada bahasa, bangsa pun hilang”.
Pada tahun 1922, sajak Tanah Air yang semula terdiri dari tiga bait dan dimuat dalam Jong Sumatra 1920 itu, kemudian diterbitkan bersama tambahannya menjadi sebuah buku kecil. Judulnya Tanah Air juga, dipersembahkan penyairnya untuk menyonsong peringatan 5 tahun berdirinya perkumpulan “Jong Sumatra Bond”.
M. Yamin dilahirkan di Sawahlunto pada tanggal 23 Agustus 1903 dan meninggal di Jakarta tanggal 26 Oktober 1962. Selain menulis sajak, ia pun banyak menulis drama yang berlatar belakang sejarah, antara Ken Arok dan Ken Dedes (1934) dan Kalau Dewi Tara Sudah Berkata ……….. (1932).
Penyair yang sezaman dengan Yamin yang juga sadar akan tugasnya untuk berjuang guna kemerdekaan bangsanya ialah Roestam Effendi (1902). Roestam Effendi menulis dua buah buku yaitu Bebasari (1924) dan Percikan Permenungan (1926). Bebasari ialah sebuah drama bersajak mengisahkan perjuangan seorang pemuda yang membebaskan kekasihnya dari cengkraman keserakahan raksasa. Drama ini merupakan sebuah perlambang/simbolik dari cita-cita pengarangnya. Agaknya jelas dari judulnya yang mengandung perkataan “bebas” maksud dari kekasih yang hendak dibebaskan si pemuda merupakan perlambang tanah air yang berada di tangan penjajah.
Dari segi sejarah sastra Indonesia, buku ini penting karena merupakan sandiwara pertama yang ditulis dalam bahasa Indonesia dalam bentuk sajak.
Bukunya yang lain, Percikan Permenungan merupakan sebuah kumpulan sajak. Sajak-sajak yang dimuat dalam kumpulan ini merupakan percobaan-percobaan berani yang dilakukan oleh Roestam Effendi dalam menulis puisi Indonesia yang sedapat mungkin lepas dari tradisi sastra Melayu.
BUKAN BETA BIJAK BERPERI
Bukan beta bijak berperi
Pandai menggubah madahan syair,
bukan beta budak Negeri,
musti menurut undangan mair.
Sarat-sarat saya mungkiri,
untai rangkaian seloka lama,
Beta buang beta singkiri,
sebab laguku menurut sukma.
Susah sungguh saya sampaikan,
degup-degupan di dalam kalbu,
Lemah laun lagu dengungan
Matnya digamat rasaian waktu.
Sering saya susah sesaat,
sebab madahan tidak nak datang.
Sering saya sulit mendekat,
sebab terkurung lukisan mamang.
Bukan beta bijak berlagu,
dapat melemah bingkaian pantun,
Bukan beta berbuat baru,
hanya mendengar bisikan alun.
Namun ada juga sajak yang menggambarkan sikap penyair melihat bangsanya yang berada dalam cengkaraman penjajah, misalnya dalam sajak yang berjudul “Mengeluh”. Di dalam sajak ini penyair Roestam Effendi menyajikan perjuangan bangsanya merebut kemerdekaan.
MENGELUH
I
Bukan beta berpijak bunga,
melalui hidup menuju makam.
Setiap saat disimbur sukar,
bermandi darah, dicucurkan dendam.
Menangis mata melihat makhluk,
berharta bukan, berhak pun bukan.
Inilah nasib negeri ‘nanda,
Memerah madu menguruskan badan.
Ba’mana beta bersuka cita,
Ratapan ra’yat riuh gaduh,
membobos masuk menyayu kalbu.
Ba’mana boleh berkata beta,
suara sebat, sedanan rusuh,
menghimpit madah, gubahan cintaku.
II
Bilakah bumi bertabur bunga,
Disebarkan tangan yang tiada terikat,
Dipetik jari yang lemah lembut,
Ditanai sayap kemerdekaan ra’yat?
Bilakah lawang bersinar Bebas,
Ditinggalkan dera yang tiada berkata?
Bilakah susah yang kita benam,
Dihembus angin kemerdekaan kita?
Di sanalah baru bermohon beta,
Supaya badanku berkubur bunga,
Bunga bingkisan, suara sya’irku.
Di situlah baru bersuka beta,
Pabila badanku bercerai nyawa,
Sebab menjemput Manikam bangsaku.
Balai Pustaka dan Roman-romannya
Roman Azab dan Sengsara buah tangan Merari Siregar merupakan kritik tak langsung kepada berbagai adat dan kebiasaan buruk yang tidak sesuai lagi dengan zaman modern. Roman ini merupakan roman pertama tentang kawin paksa, dan buah tangan M. Kasim yaitu Muda Teruna (1922) yang berupa hikayat.
Roman Sitti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli, telah berhasil mengeluarkan kritik terhadap berbagai keburukan adat kuno yang berkenaan dengan perkawinan. Kemudian baru tiga puluh tahun Marah Rusli menghasilkan karya La Hami (1952) dan Anak Kemerdekaan. Ketika ia meninggal, masih ada subuah naskan roman yang belum diterbitkan berjudul Memang Jodoh.
Pengarang lain yang menentang adat kuno mengenai perkawinan dalam roman-romannya ialah Adinogoro nama samaran Djamaludin (1904-1966) yang menulis dua buah buah roman berjudul Darah Muda (1927) dan Asmara Jaya (1928). Kedua roman itu tokoh-tokoh muda bukan saja menentang adat kuno dalam membela haknya memilih jodoh, melainkan juga menang dalam perlawanan itu.
Persoalan pemilihan jodoh dan campur tangan orang tua dalm pernikahan anaknya terdapat pula dalam roman lain terbitan Balai Pustaka misalnya roman berjudul Karam Dalam Gelombang Percintaan (1926) buah tangan Kedjora, Pertemuan (1927) buah tangan Abas Soetan Pamoentjak, Salah Pilih (1928) karangan Nur Sutan Iskandar, Cinta yang Membawa Maut (1926) karangan Abd. Ager dan Nursinah Iskandar.
Kisah percintaan yang tokoh-tokohnya terdiri dari para pemuda yang telah mengecap pendidikan sekolah merupakan tema yang disukai benar oleh umumnya para pengarang masa itu, seperti dapat dita baca dalam roman-roman Jeumpa Aceh (1928) bukan tangan H.M. Zainuddin. Tak Disangka (1929) karangan Tulis Sutan Sati, Tak Putus Dirundung Malang (1929) karangan Sutan Takdir Alisyahbana, dan lain-lain.
Roman terpenting yang diterbitkan Balai Pustaka pada tahun dua puluhan ialah Salah Asuhan (1928) buah tangan lebih realistis. Yang menjadi perhatian bukan lagi kawin paksa. Pertentangan paham antara kaum muda dengan kaum kolot dalam soal pernikahan tidaklah dilihatnya secara blok hitam dan blok putih. Ia dengan jelas dan meyakinkan melukiskan kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan yang terdapat pada kedua blok itu. Yang menjadi masalah bagi pengarang yang aktif dalam pergerakan kebangsaan Indische Partij (tahun belasan) ialah akibat-akibat lebih jauh dari pertemuan kebudayaan Eropa yang masuk ke dalam tubuh anak-anak bangsanya melalui pendidikan sekolah kolonial Belanda.
Abdul Muis sendiri karena aktivitasnya dalam syari’at Islam pernah mendapat hukuman dari pemerintah jajahan Balanda. Ia seorang Minangkabau yang pergi merantau untuk berlayar ke Jawa lalu kawin dengan gadis Sunda dan hidup di tanah Priangan sampai meninggal. Kecuali menulis Salah Asuhan, ia pun menulis Pertemuan Jodoh (1933), juga roman percintaan yang bertendensi sosial. Sehabis perang menulis roman berdasarkan sejarah yakni Surapati (1950) dan Robert Anak Surapati (1953). Keduanya merupakan roman sejarah perjuangan melawan penjajahan Belanda. Ketiga buah romannya yang lain itu tidak ada yang mengatasi Salah Asuhan nilainya.
Halnya dengan Sanusi Pane (1905-1968), bukunya pertama berupa kumpulan prosa lirik berjudul “Pancaran Cinta” (1926), kemudian disusul oleh kumpulan sajak Puspa Mega (1927. sajak-sajak dalam kumpulan ini hampir seluruhnya berbentuk soneta. Bentuk puisi Italia yang pertama kali digunakan oleh Muhammad Yamon ini memang sangat banyak persamaannya dengan pantun. Soneta terdiri dari 14 baris yang umumnya dua bait pertama (octavo) berupa empat seuntai dan 2 bait terakhir (sextet) tiga seuntai.
Hal itu akan nyata sekali dalam salah sebuah soneta yang terdapat dalam Puspa Mega Sanusi Pane sebagai berikut :
TEJDA
Lihat langit sebelah barat
Lautan warna dibuat teja,
Berkilau-kilau dari darat
Ke cakrawala bayangan mega
Makin lama muram cahaya;
Awan kelabu, perlahan melayang,
Melayang, melayang entah ke mana,
Laksana mimpi ia menghilang.
Keluh kesah menurut awan,
Setelah menyala sebentar saja,
Pergi perlahan bermuram durja,
Hatiku menangis dipalu rawan,
Mengenang ba’gia musnah terus,
Setelah bermegah baru sejurus.
Konsepsi ini kemudian diperbaiki lagi dalam sajak yang juga berjudul sajak, yang dimuat dalam kumpulan sajaknya yang terakhir yaitu Madah Kelana (1931). Dalam sajaknya ini ia telah mengubah pandangan tentang sajak dan kepujanggaan
Pada tahun 1929-1930 ia mendapat kesempatan untuk melawat ke negeri India yang sangat dikaguminya dan sajak Madah Kelana. Sajak-sajaknya yang dimuat dalam Keluh, Do’a banyak bercerita tantang cintanya.
Dapat kau memberitahukan daku.
Di mana gerang tempat bagia,
Di mana damai tidak terganggu.
Dimana jiwa bersuka ria?
Perhatian yang besar kepada sejarah tampak pula pada drama yang ditulisnya. Dari lima buah drama yang ditulisnya, empat adalah berdasarkan sejarah Jawa, dua diantara yang empat itu ditulis dalam bahasa Belanda, yaitu Airlangga (1928) dan Eenzame Garoedavlucht (1930). Yang ditulis dalam Bahasa Indonesia ialah Kertajaya (1932) dan Sandhakala ning Majapahit (1933). Drama yang terakhir ditulisnya berjudul Manusia Baru (1940).
Pada tahun 1932-1933 ia memimpin majalah Timboel edisi bahasa Indonesia. Perhatiannya kepada sejarah menyebabkan ia menulis buku sejarah Indonesia (1942) dan Indonesia Sepanjang Masa (1952). Ia juga menerjemahkan Arjuna Wiwaha (1948) dari bahasa Kawi dan menyusun Bungarampai dari Hikayat Lama (1946).
Para Pengarang Balai Pustaka (1900-1942)
1. Nur Sutan Iskandar (lahir di Maninjau 1893)
a. Apa Dayaku karena Aku Perempuan (1922)
b. Cinta yang Membawa Maut (1926)
c. Salah Pilih (1928). Roman ini mengupas tentang keburukan perkawinan Asri dan Sarinah.
d. Karena Mertua (1932). Roman ini melukiskan kehidupan rumah tangga yang terlalu dirong-rong oleh pihak mertua sehingga mengalami berbagai krisis.
e. Tuba Dibalas dengan Susu (1933) yang diambil dari naskah Asmaradewi, mengisahkan kesabaran seorang lelaki yang senantiasa dihinakan oleh pihak perempuan.
f. Hulu Balang Raja (1934) yang merupakan roman sejarah yang didasarkan pada sebuah disertasi H. Kroeskamp De Westkust en Minangkabau (1665-1668) (partai Barat dan Minangkabau 1665-1668 terbit 1931).
Masih banyak roman atau karya Nur Sutan Iskandar yang terbit setelah tahun 1933. misalnya Katak Hendak Jadi Lembu (1935), Neraka Dunia (1937), Dewi Rimba (1935), Cinta dan Kewajiban (1941), dan lain-lain.
2. I Gusti Njoman Pandji Tisna
a. Ni Rawit Ceti Penjual Orang (1935) yang melukiskan kebengisan masyarakat feodal di Bali.
b. Sukreni Gadis Bali (1936) yang melukiskan kehidupan masyarakat Bali yang keras dan kejam.
c. I Swasta Setahun di Bedahulu (1938) yang melukiskan masalah hukum karma, yang merupakan lntrik Keraton dan berbagai kebiasaan raja-raja. Didalamnya menggambarkan kutuk dewata yang harus ditanggung oleh keturunan yang bersangkutan
d. Dewi Karana (1938) diterbitkan di Medan.
e. I Made Widiadi (kembali kepada Tuhan) 1954), dikarang penulisnya setelah memeluk agama Islam.
3. Tulis Sutan Sati (1928)
Ia menerbitakan buku sejak 1920, yaitu sebuah roman berjudul Sengsara Membawa Nikmat yang menceritakan tentang masalah adat dan kawin paksa masih menjadi tema yang utama dalam karangan Tulis Sutan Sati yang pertama. Kemudian ia menerjemahkan Kaba’ Sabai Nan Aluih (1929) yang ditulis oleh M. Thalib yang bergelar St. Pamuntjak dalam bahasa Minangkaau ke dalam bahasa Indonesia. Syair yang ditulisnya berjudul syair Siti Marhumah yang Saleh (1930), syair Rosina (1933). Roman yang ditulis adalah Tak Disangka (1925), Memutuskan Pertalian (1932) dan Tidak Membalas Guna (1932).
4. Paulus Supit (1932)
Ia berasal dari Menado. Menulis roman tentang perjuangan sebuah keluarga yang taat beragama dalam menghadapi berbagai ranjau kehidupan. Seperti Kasih Ibu (1932).
5. Aman Dt. Madjoindo (lahir pada tahun 1896)
Karya-karyanya berupa roman yaitu Menebur Dosa (1932) dan Si Cebol Rindukan Bulan (1934). Buku berupa syair antaranya yang brejudul syair si Banso (Gadis Durhaka) terbit tahun 1931, Syair Gul Bakawali (1936).
6. Sunan Hasibunan atau yang lebih terkenal sebagai Suman Hs. (lahir di Bengkalis tahun 1904).
Karya-karyanya antara lain roman Kasih Tak Terlarai (1929), Percobaan Setia (1931), Mencahari Pencuri Anak Perawan (1932). Adapun cerpen buah karyanya adalah Kawan Bergelut (1938). Diluar Balai Pustaka, Suman Hasibuan menerbitkan sebuah roman berjudul Tebusan Darah (1939).
7. Habib St. Maharadja
Karyanya adalah Nasib (1932). Berlainan dengan roman-roman pada zaman itu yang kebanyakan berputar sekitar kawin paksa dan berbagai adat kebiasaan buruk dilingkungan seorang pemuda Minangkabau yang mengembara ke Eropa dan menikah dengan gadis Belanda di sana, tetapi ketika kemudian mereka kembali ke tanah air, lalu bercerai. Kemudian ia menikah lagi dengan gadis sebangsanya dan keduanya berjanji akan mengabdi kepada bangsa dan tanah airnya.
8. Haji Said Daeng Muntu yang biasa memakai nama H.S.D Muntu ialah seorang pemimpin Muhammadiyah di Sulawesi. Roman-romannya antara lain :
a. Pembalasan (1935), merupakan roman sejarah yang terjadi di daerah Goa ketika daerah itu mulai dikuasai oleh Belanda, menceritakan sekitar pengkhianatan seorang seorang pembantu yang mendapat kepercayaan dari tuannya.
b. Karena Kerendahan Budi (1941), mempermasalahkan persoalan sosial dan pendidikan modern.
9. Soetomo Djauhar Arifin (lahir di Madiun 1916 dan meninggal di Jakarta 1959). Romannya berjudul Ardang Teruna (1941), merupakan roman nyanyian kemenangan kaum muda terhadap kaum kolot.
Para Pengarang Wanita
1. Sariamin yang biasa terkenal dengan nama Selasih atau Seleguri menulis di Talu, Sumatra Barat 1909. Ia menulis dua buah roman yaitu :
a. Kalau Tak Untung (1933), melukiskan percintaan dua orang anak yang bersahabat sejak kecil, sama-sama sekolah dan sama pula hidup dalam tak berkecukupan.
b. Pengaruh Keadaan (1937), mengisahkan kesengsaraan dan kemalangan seorang gadis yang bernama Yusnani, yang hidup dalam tekanan ibu tirinya, sehingga ia kehilangan kepercayaan akan dirinya sendiri.
2. Hamdah yang merupakan samaran Fatimah H. Delais (1914-1953) yang berasal dari Palembang. Karyanya hanya sebuah saja yaitu Kehilangan Mestika (1935). Roman ini menceritakan kemalangan seorang gadis yang kehilangan ayah, kemudian kehilangan kekasihnya.
3. Aldin Affandi dan Sa’adah Alun (1898-1968), masing-masing menulis sebuah sandiwara, masing-masing berjudul Gadis Modern (1941) dan Pembalasannya 1941). Sa’adah Alim menulis cerpen yang dibukukan dengan judul Taman Penghibur Hati (1941). Kemudian ia menerjemahkan Angin Timur Angin Barat. Karya pengarang wanita kebangsaan Amerika yang pernah mendapat hadiah Nobel tahun 1938, ialah Pearl S. Buck (lahir 1892).
4. Marra Amin (dilahirkan di Bengkulu 1920), ia menulis sajak-sajak dalam majalah ‘Poejangga Baroe’. Peranannya lebih berarti pada masa Jepang ketika ia menulis dan mengumumkan beberapa prosa lirik yang simbolistis.
Cerita Pendek
Dalam majalah Pandji Poeskaka dan lain-lain tahun dua puluhan sudah mulai dimuat kisah-kisah pendek yang sifatnya lelucon-hiburan. Cerita-cerita itu mengingatkan kita akan tokoh-tokoh cerita rakyat lama yang terdapat diseluruh Indonesia seperti si Kabayan, si Lebai Malang, Jaka Dolok dan lain-lain.
Pada tahun 1936 atas usaha Balai Pustaka. Cerita-cerita yang lucu yang ditulis oleh M. Kasim yang sebelumnya bertebaran dalam Pandji Poestaka, dibukukan dengan judul Teman Duduk. Roman pertama yang dikarang M. Kasim ialah Muda Teruna (1922), Pemandangan Dalam Dunia Kanak-Kanak (si Samin) (1924).
Cerpen-cerpen Suman Hs. yang dikumpulkan dengan kata pengantar oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Kumpulan itu berjudul Kawan Bergelut (1938). Judul cerpen-cerpen Suman Hs., diantaranya :
1. Pantai jatuh, yang menyindir orang yang suka sombong
2. Fatwa Membawa Kecewa, menyindir orang yang menyebut dirinya alim dan suka memberi fatwa supaya orang suka bersedekah tetapi ia sendiri serakah.
3. Kelakar si Bogor, menyindir orang-orang yang sok sekolah tetapi akalnya dapat dikalahkan oleh seorang yang buta huruf.
Kesedihan sebagai motif penulisan cerpen menjadi bahan yang produktif buat Jaji Abdul Karim Amrullah yang terkenal dengan Hamka (lahir Februari 1908 di Maninjau) yang dikumpulkan dalam Lembah Kehidupan (1941).
Cerpen “Inyik Utih”, yang berhasil yaitu melukiskan kesepian dan impian seorang gadis yang sampai rambutnya putih belum bersuami. Demikian pula cerpen-cerpen Sa’adah Alim yang dikumpulkan dengan Taman Penghibur Hati (1941).
Penulis cerpen yang lebih sungguh-sungguh adalah Armijn Pane. Cerpen-cerpennya banyak dimuat dalam majalah Poejangga Baroe, diantaranya yang berjudul “Belenggu”. Dalam cerpen “Tujuan Hidup” ia mencoba melukiskan kesepian hidup seorang gadis yang menjadi guru dan memilih hidup menyendiri.
Cerpen-cerpen yang ditulisnya sebelum perang dan sesudah perang dikumpul-kan dan diterbitkan dengan judul Kisah Antara Manusia (1953).
Drama
Dalam penulisan drama, Roestam Effendi telah menulis drama-sajak berjudul Bebasari (1924). Muhammad Yamin menulis Kalau Dewi Tara Sudah Berkata …… (1932) dan Ken Arok dan Ken Dedes (1934).
Sanusi Pane menulis Kertajaya dan Sandhayakala ning Majapahit. Dalam Bahasa Belanda ialah Airlangga dan Eenzame Garoedavlucht. Umumnya drama itu berbentuk closed drama, yaitu drama untuk dibaca, bukan untuk dipentaskan.
Armijn Pane dalam drama-dramanya banyak mengambil latar belakang kenyataan hidup zamannya. Berdasarkan cerpennya “Barang Tiada Berharga” ia membuat drama “Lukisan Masa”. Dramanya yang lain “Jinak-jinak Merpati”, juga melukiskan kehidupan zamannya sendiri.
Menjelang Jepang datang, terbit pula pada Balai pustaka dua buah buku drama buah tangan Sa’adah Alim dan Affandi. Buah tangan Sa’adah Alim berjudul Pembalasannya (1940) dan buah tangan Affandi berjudul Gadir Modern (1941).
Penyair dari Sumatra
1. A. Hasjmy ata M. Alie Hasjiem (lahir di Seulimeum Aceh 1914).
Sebagai anggota Poejangga Baroe. Tahun 1936 ia menerbitkan kumpulan sajaknya yang pertama berjudul Kisah Serang Pengembara, disusul Dewan Sajak (1940). Kisah Seorang Pengembara memuat 35 buah sajak yang kebanyakan berbentuk soneta dan empat seuntai yang menisahkan pengembaraan seorang pemuda.
Kumpulan sajak Dewan Sajak terbagi dalam tujuh bagian yaitu : Firdaus, Airmata, Karangan Bunga, Kiasan Alam, Dendangan Bunda, Buatan Mimpi, dan Taman Muda.
Sajak-sajak yang berserakan pada masa sesudah perang dibukukan bersama beberapa buah cerpen dengan judul Asmara dalam Pelukan Pelangi (1963).
2. Surapaty, nama samaran M. Saleh Umar
Sajak-sajak Surapaty lebih rendah mutunya dari sajak A. Hasjmy. Sajak dengan judul Indonesia Baru (1941) yang “Dipersembahkan Kepada Angkatan Muda”. Sajak-sajaknya tidak meyakinkan karena tidak ada penghayatan.
Sesudah perang ada kumpulan sajak yang terbit yaitu Diriku Ta’ Ada (1949).
3. H.R. Badaharo, nama samaran Banda Harahap (lahir di Medan 1971)
Bukunya Sarinah dan Aku (1940). Ia membuat perlambang pertemuannya dengan tanah air terjajah yang diperumpamakannya dengan seorang wanita yang berada di bawah cengkraman orang. Sedangkan dirinya hina tak dapat berbuat apa-apa.
Bagian lain dari kumpulan sajak ini merupakan ratapan penyair terhadap kekasih yang pergi meninggalkannya. Bandaharo aktif dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan berhasil menerbitkan bebrapa kumpulan sajak di antaranya Dari Daerah Kehadiran Lapar dan Kasih (1957) dan Dari Bumi Merah (1963).
4. Rifa’i `Ali (lahir di Padang Panjang 1909).
Ia menerbitkan Kata Hati (1941). Penyair ini banyak menggali ilhamnya dari kehidupan dan kepercayaan agama yang dipeluknya, agama Islam. Salah satu sajaknya berbunyi :
Basmallah
Dengan bismillah disambut bidan
Dengan bismillah berkafan badan
Dengan bismillah hidup dan mati
Dengan bismillah diangkat bakti
Ia pun menerjemahkan ke dalam bentuk puisi beberapa surah Al-Qur’an, yaitu surah Al-Ikhlas menjadi Maha Tunggal, surah Al-Asri menjadi Waktu dan surat An-Nasri menjadi Bersyukurlah.
5. Or. Mandank
Adalah seorang penyair Islam yang menyindir ulama-ulama yang banyak memberi fatwa sedangkan kelakuannya sendiri bertentangan dengan apa yang difatwakannya.
Nama sebenarnya adalah Oemar gelar Datuk Radjo Mandonk dilahirkan di Kota Panjang, Suliki, 1 Januari 1913. Sindiran itu terdapat dalam buku Sebab Aku Terdiam ………(1939). Ia menerbitkan buku di Balai Pustaka berjudul Narumalina (1932). Sebuah cerita yang penuh lirik melukiskan kehidupan di kampung. Tahun 1939 ia menerbitkan Pantun Orang Muda dan Sebab Aku Terdiam…….
Pemimpin yang merasa cukup dengan memberi fatwa saja berupa ada tanggung jawab, disindirnya dengan halus dalam sajak yang berjudul “Petua dan Nasihat”, sindiran itu ditujukan kepada diri sendiri. Di bagian lain dilukiskan betapa orang-orang yang hendakl bekerja asyik mendengarkan nasihat yang diberikannya. Sementara itu haripun rembang sehingga seharian itu tak apapun dikerjakan. Kemudian Mandank merindukan “Pujangga” tapi bukan ‘Pujangga Pemain Kata’ melainkan pujangga yang turun ke bumi nyata dari tahta untuk memberi bukti perbuatan :
“Pujangga!, turunlah, O, Pujangga!
Dimanakah tuan lagi bertahta!
Saya hasrat hendak berjumpa
Menemui wajahmu, O pujangga!
Bukan pujangga pemain kata
Tetapi pujangga juru pencipta
Pembawa ujud bukti yang nyata
Yang bukan kata sekedar kata …………”
6. Samadi , nama samaran dari Anwar Rasjid (lahir di Maninjau tanggal 18 November 1918). Kumpulan sajak yang diterbitkan Senandung Hidup (1941). Pada tahun 1939 ia menjadi redaktur Peduman Masyarakat dan Pedoman Islam di Medan. Sejak syair yang dihimpunkan dalam Senandung Hidup ditulisnya antara tahun 1935 dan 1941.
Dasar keagamaan pada penyair ini berasa tidak pernah sampai lepas dalam segala penderitaan dan kemalangan Ia senantiasa ingat akan Tuhan
Dalam sajaknya Aku Kembali, Kasih ………ia melukiskan pertemuannya kembali dengan Tuhan. Setelah ia mengembara kemana-mana, merasa rindu dan “Selalu sangsi atas cintamu”.
Dan kesadaran akan mati menyebabkan ia selalu ingat akan perintah tuhan, seperti ia katakana dalam sajaknya “Betapa Gerang Akan Jadinya”.
Semua itu menyebabkan ia sadar betapa arti hidup dan kehidupan di alam pana ini, seperti dituliskan dalam sajak ‘Hidup’.
Segalanya itu menyebabkan penyair akhirnya yakin akan kebenaran Jalan Benar. Apa kata oaring tak jadi soal, sama halnya dengan sanjung dan puji “membunuh hati”,seperti dikatakanya dalam sajak ‘Asal Takhina di Sisi Tuhan’. Hidup baginya hanyalah mencari ridho Ilahi semata.
Sajaknya ‘Musapir Mendaki Gunung’ dan Kepada Kekasih, merupakan sajak-sajak yang cukup kuat.Sajak itu nafasnya lebih dekat kepada sajak-sajak para penyair sesudah perang dari pada kepada penyair sebelumnya.
Penyair ini hilang tak berbekas ditengah pergolakan perang saudara yang berkecamuk di Sumatra sekitar tahun 1957-1958 (PRRI).
TOKOH-TOKOH SASTRA ANGKATAN BALAI PUSTAKA
1. NUR SUTAN ISKANDAR
Nur Sutan Iskandar dilahirkan pada tanggal 3 November 1893 di Sungai Batang, Maninjau, Sumatra Barat. Namanya semasa kecil adalah Muhammad Nur, setelah beristri menurut adat Minangkabau diberi gelar Sutan Iskandar. Pendidikannya adalah Sekolah Melayu kelas II di Maninjau tamat tahun 1908. Ia menjadi guru sekolah desa di sungai batang dan setelah itu menjadi guru bantu di Muara Beliti (Palembang). Pada tahun 1914 ia dipindahkan ke sekolah kelas II di Padang. Selanjutnya berturut-turut kedudukannya adalah menjadi korektor Balai Pustaka, Redaktur Kepala pada Balai Pustaka. Dosen Bahasa Indonesia pada Fakultas Sastra di Universitas Indonesia Jakarta. Salah seorang pengurus Budi Utomo, juga menjadi pengurus Partai Indonesia Raya. Pernah pula menjadi pengurus Partai Nasional Indonesia. Ia adalah perintis kemerdekaan dan mendapat anugerah Satyalencana Kemerdekaan dari Pemerintah Republik Indonesia. Kiranya semua orang akan sependapat kalau dikatakan bahwa Nur Sutan Iskandar adalah orang yang sangat setia kepada karyanya, yakni mengarang. Banyak sekali buku peninggalannya baik berupa karya asli, saduran, maupun terjamahan. Bahasanya amat lancar dan terjaga dengan baik. Dengan sangat teliti ia menggambarkan lokasi cerita, hinggga mampu membuat karyanya sangat menarik.
Adapun karyanya antara lain :
a. Neraka Dunia (Novel 1937)
b. Cinta Tanah Air (Novel 1944)
c. Perjalanan Hidup ; Perjuangan Srikandi Irian Barat untuk Kemerdekaan (1962)
d. Gudang Intan Nabi Sulaiman (1929, dari Ridder Hanggard)
e. Tiga Panglima Perang (1922, saduran dari Alexander Dimas)
f. Abunawas (1929)
2. MARAH RUSLI
Seorang bangsawan yang lahir di Padang pada tahun 1889 dan meninggal pada tanggal 17 Januari 1968. Ia menjadi dokter hewan beberapa lama di Sumbawa dan terakhir di Semarang. Akibat perkawinannya dengan gadis Sunda yang tidak disetujui keluarganya maka ia diasingkan dari ikatan keluarga. Situasi demikian sedikit banyak akan tercermin dalam, karya-karyanya. Roman Siti Nurbaya merupakan roman karya Marah Rusli yang paling populer pada Angkatan Balai Pustaka, bahkan paad zaman Belanda roman itu dicantumkan sebagai buku pelajaran di AMS, Yogyakarta. Marah Rusli dianggap sebagai salah seorang pelopor atau pengakhir zaman kesusasteraan lama. Persoalan yang dikemukakan di dalam bukunya bukan hal-hal yang istana sentris lagi dan bukan hal-hal yang bersifat fantasi belaka, melainkan lukisan realitas masyarakat. Adapun karangan Marah Rusli yang lain adalah :
a. Anak dan Kemenakan (roman 1956)
b. La Hami (roman sejarah di Pulau Sumba)
c. Memang Jodoh (belum diterbitkan sampai sekarang)
3. ABDUL MUIS
Abdul Muis dilahirkan di Bukittingi 3 Juli 1886. Ayahnya berasal dari Laras Sungai Puar, Ibunya putri Jawa keturunan Sentot Alibasya. Ia meninggal pada tahun 1959 di Bandung. Pendidikannya adalah Stovia tetapi tidak tamat. Kemudian menjadi wartawan dan pemimpin Serikat Islam, serta giat dalam gerakan untuk memperoleh otonomi yang lebih besar bagi Hindia (Indies) sepanjang Perang Dunia I. Pernah pula menjadi anggota delegasi Comite Indie Weerbaar (Panitia Pertahanan Hindia) ke negeri Belanda. Dilantik menjadi anggota Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat) pada tahun 1920.
Sebagai penulis, penerjemah, dan wartawan, dia hidup secara tidak menonjol di Jawa Barat hingga meninggalnya. Romannya yang paling terkenal adalah Salah Asuhan. Roman ini sangat menarik karena temanya dan cara pengarang mengungkakan tema itu. Selain itu, roman ini menarik karena keterusterangannya dalam membicarakan masalah diskriminasi ras (keturunan bangsa) dan masalah sosial, serta yang lebih menarik lagi karena persoalan ini diungkap karya sastra.
Roman Abdul Muis kedua adalah Pertemuan Jodoh (1933) dibandingkan dengan roman pertamanya roman ini kurang berhasil. Roamn tersebut berisi kritik terhadap unsur-unsur feodalisme yang menghambat kemajuan. Hal yang menarik dari roman tersebut adalah digunakannya dialek Betawi dan Sunda dalam dialog-dialog antara pelakunya.
Adapun karya-karya Abdul Muis yang lain adalah :
a. Surapati (roman sejarah,1950)
b. Putri Umbun-Umbun Emas (1950)
c. Robert Anak Surapati (roman sejarah 1952)
d. Suara Kakaknya (cerpen)
e. Daman Brandal Sekolah Gudang (roman kanak-kanak)
Selain ketiga pengarang yang disebut di atas, sebenarnya banyak sekali pengarang-pengarang lainnya. Mereka antara lain :
4. AMAN DATUK MOJOINDO
Aman Datuk Mojoindo lahir di Supayang, Solok, Sumatra Barat pada tahun 1895 dan meninggal pada tanggal 16 Desember 1969 di Jakarta. Ia pernah memimpin rubrik cerita anak-anak pada majalah Panji Pustaka. Pada umumnya karangannya berisi kejenakaan (humor). Karangan yang telah dihasilkannya antara lain :
a. Si Doel Anak Betawi
b. Si Cebol Rindukan Bulan (roman 1934)
5. MUHAMMAD KASIM
Muhammad Kasim lahir pada tahun 1886 di Muaara Sipongi dan pekerjaan sehari-harinya menjadi guru. Satu keistimewaannya adalah menampilkan cerita-cerita lucu. Bukunya yang berejudul : Pemandangan Dunia Anak-Anak, mendapat juara kesatu dalam lomba mengarang bacaan anak-anak yang diselenggarakan oleh Balai Pustaka, pada tahun 1924. Karangan Muhammad Kasim Antara lain:
a. Teman Duduk (kumpulan cerpen yang dimuat Panji Pustaka sekitar tahun 1931-1935)
b. Muda Teruna (19520)
6. TULIS SUTAN SATI
Tulis Sutan Sati lahir pada tahun 1898 di Bukittinggi dan meninggal paad zaman Jepang. Karya-karyanya terdiri atas asli dan saduran, baik roman maupun syair. Karya-karyanya yang asli berbentuk roman adalah Sengsara Membawa Nikmat (1928), Tidak Tahu Membalas Guna (1932), Tak Disangka (1932), dan Memutuskan Pertalian (1932), sedangkan karya-karya sadurannya dalam bentuk syair adalah Siti Marhumah Yang Saleh (saduran dari cerita Hasanah yang saleh), Syair Rosina (saduran tentang hal yang sebenarnya terjadi di Betawi pada abad lampau), Sabai nan Aluih (saduran dari sebuah kaba Minangkabau dalam bentuk prosa beriman).
7. MERARI SIREGAR
Merari Siregar dilahirkan di Sipirok, Sumatra Utara pada tanggal 13 Juni dan meninggal tanggal 23 April 1940 di Kalianget, Madura. Ia menjadi terkenal karena romannya Azab dan Sengsara (1920). Karya-karyanya adalah Azab dan Sengasara (roman 1920).
Selain pengarang di atas juga ada pengarang wanita dalam Balai Pustaka antara lain :
a. Nurani
Nurani terkenal dalam dunia sastra karena terjemahan-terjemahannya antara lain berjudul Pinokio.
b. Sa’adah Alim
Pengarang ini dikenal karena karya-karyanya sendiri maupun terjemahan. Karyanya sendiri adalah pembalasannya (1941 drama) dan Taman Penghibur Hati (kumpulan cerpen 1941).
c. Selasih
Selasih lahir pada tanggal 31 Juli 1909 di talu, Lubuk Sikaping. Karya-karyanya adalah Kalau- Tak Untung (roman 1933) dan Pengaruh Keadaan (roman 1937), sedangkan puisi-puisinya dimuat dalam majalah Panji Pustaka dan Pujangga Baru. Ia sering menggunakan nama samaran Seleguri atau Sariamin.
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar