CINTA, KEKAYAAN,KECANTIKAN, KESEDIHAN, KEGEMBIRAAN
0 komentar Diposting oleh Dunia Sastra Indonesia di 6/30/2008Apa itu cinta...?? Q sendiri tak begitu paham dengan sebuah kata pendek ini.....
Katanya cinta mampu membuat suatu kebahagiaan ....
Katanya cinta juga....malah menjadi malapetaka...yang menyakitkan......
Wuh ...gk tau akh..........!!!!
Yang Q tau cinta adalah suatu yang kasat mata....yang dapat memberikan kebahagiaan........
Pi....bener gk yach.......????
ya udah lah ...gk da habisnya klo ngomongin cinta..!!!
????? Anwar ??????
Q ta mulai aza nih crita........
Alkisah di suatu pulau kecil, tinggallah berbagai macam benda-benda
abstrak: ada CINTA, KEKAYAAN,KECANTIKAN, KESEDIHAN, KEGEMBIRAAN dan
sebagainya. Awalnya mereka hidup berdampingan dengan baik dan saling
melengkapi. Namun suatu ketika, datang badai menghempas pulau kecil itu
dan air laut tiba-tiba naik semakin tinggi dan akan menenggelamkan
pulau itu. Semua penghuni pulau cepat-cepat berusaha menyelamatkan
diri.
CINTA sangat kebingungan sebab ia tidak dapat berenang dan tak
mempunyai perahu. Ia berdiri di tepi pantai mencoba mencari
pertolongan. Sementara itu air makin naik membasahi kaki CINTA. Tak
lama CINTA melihat KEKAYAAN sedang mengayuh perahu. "KEKAYAAN!
KEKAYAAN! Tolong aku!" teriak CINTA. Lalu apa jawab KEKAYAAN
"Aduh! Maaf,CINTA!" kata KEKAYAAN. "Perahuku telah penuh dengan harta
bendaku. Aku tak dapat membawamu serta, nanti perahu ini tenggelam.
Lagipula tak ada tempat lagi bagimu di perahuku ini." Lalu KEKAYAAN
cepat-cepat mengayuh perahunya pergi meninggalkan CINTA tenggelam.
CINTA sedih sekali, namun kemudian dilihatnya KEGEMBIRAAN lewat dengan
perahunya. "KEGEMBIRAAN! Tolong aku!", teriak CINTA. Namun apa yang
terjadi, KEGEMBIRAAN terlalu gembira karena ia menemukan perahu
sehingga ia tuli tak mendengar teriakan CINTA. Air makin tinggi
membasahi CINTA sampai ke pinggang dan CINTA semakin panik. Tak lama
lewatlah KECANTIKAN.
"KECANTIKAN! Bawalah aku bersamamu!", teriak CINTA. Lalu apa jawab
KECANTIKAN, "Wah, CINTA, kamu basah dan kotor.Aku tak bisa membawamu
ikut. Nanti kamu mengotori perahuku yang indah ini." sahut KECANTIKAN.
CINTA sedih sekali mendengarnya. CINTA mulai menangis terisak-isak. Apa
kesalahanku, mengapa semua orang melupakan aku.
Saat itu lewatlah KESEDIHAN. Lalu CINTA memelas, "Oh, KESEDIHAN,
bawalah aku bersamamu", kata CINTA. Lalu apa kata KESEDIHAN, "Maaf,
CINTA. Aku sedang sedih dan aku ingin sendirian saja...", kata
KESEDIHAN sambil terus mengayuh perahunya. CINTA putus asa. Ia
merasakan air makin naik dan akan menenggelamkannya. CINTA terus
berharap kalau dirinya dapat diselamatlkan. Lalu ia berdoa kepada
Tuhannya, oh tuhan tolonglah aku, apa jadinya dunia tanpa aku, tanpa
CINTA?
Pada saat kritis itulah tiba-tiba terdengar suara, "CINTA! Mari cepat
naik ke perahuku!" CINTA menoleh ke arah suara itu dan melihat seorang
tua reyot berjanggut putih panjang sedang mengayuh perahunya. Lalu
Cepat-cepat CINTA naik ke perahu itu, tepat sebelum air
menenggelamkannya.
Kemudian di pulau terdekat, orang tua itu menurunkan CINTA dan segera
pergi lagi. Pada saat itu barulah CINTA sadar, bahwa ia sama sekali
tidak mengetahui siapa orang tua yang baik hati menyelamatkannya itu.
CINTA segera menanyakannya kepada seorang penduduk tua di pulau itu,
siapa sebenarnya orang tua itu. "Oh, orang tua tadi? Dia adalah
"WAKTU", kata orang itu.
Lalu CINTA bertanya "Tapi, mengapa ia menyelamatkanku? Aku tak
mengenalnya. Bahkan teman-teman yang mengenalku pun enggan menolongku",
tanya CINTA heran. "Sebab", kata orang itu, "hanya WAKTU lah yang tahu
berapa nilai sesungguhnya dari CINTA itu...
Betapa bahagia orang yang hidupnya selalu di beri kemudahan dan kebahagiaan
Jangan pernah menyepelekan orang serasa rendah di mata kita
Karena sebenarnya orang orang itulah orang sangat kuat dalam mengarungi hidup dengan cobaan mereka
Yang kita sendiri sendiri belum temtu mampu memikulnya
By Anwar
Inikah nasib? Terlahir sebagai menantu bukan pilihan. Tapi aku dan Kania
harus tetap menikah. Itu sebabnya kami ada di Kantor Catatan Sipil. Wali
kami pun wali hakim. Tapi aku masih sangat bersyukur karena Lukman dan Naila mau hadir menjadi saksi. Itu 25 tahun yang lalu.
22 tahun yang lalu,
Pekerjaanku tidak begitu elite, tapi cukup untuk biaya makan keluargaku.
aku punya momongan. Seorang putri, kunamai ia Kamila. Aku berharap ia
bisa menjadi perempuan kaya akan budi baik hingga dia tampak sempurna.
Kulitnya masih merah, mungkin karena ia baru berumur seminggu. Sayang,
dia tak dijenguk kakek-neneknya . Orangtuaku dan orangtua Kania tak mau
menerima kami. Ya sudahlah. Aku tak berhak untuk memaksa dan aku tidak
membenci mereka. Aku hanya yakin, suatu saat nanti, mereka pasti akan
berubah.
19 tahun yang lalu,
Kamilaku gesit dan lincah. Dia sekarang sedang senang berlari-lari,
melompat-lompat atau meloncat kemudian berteriak "Horeee, Iya bisa
terbang". Begitulah dia memanggil namanya sendiri, Iya. Dan Kania tak
jarang berteriak, "Iya sayaaang," jika sudah terdengar suara "Prang".
Itu artinya, ada yang pecah, bisa vas bunga, gelas, piring, atau meja
kaca. Dan dia cuma bilang "Kenapa semua kaca di rumah ini selalu pecah,
Ma?"
18 tahun yang lalu,
Hari ini Kamila ulang tahun. Aku sengaja pulang lebih awal dari
pekerjaanku agar bisa membeli hadiah dulu. Kemarin lalu dia merengek
minta dibelikan bola. Makanya kubelikan ia sebuah bola. Paling tidak
aku bisa punya lawan main setiap sabtu sore. Dan seperti yang sudah
kuduga, dia bersorak kegirangan waktu kutunjukkan bola itu.
"Horee, Iya jadi pemain bola."
17 Tahun yang lalu
Iya, Iya. Bapak kan sudah bilang jangan main bola di jalan. Mainnya di
rumah aja. Coba kalau ia nurut, Bapak kan tidak akan seperti ini. Hari
itu hari Sabtu dan aku akan menjemputnya dari sekolah. Kulihat anakku
sedang asyik menendang bola sepanjang jalan pulang dari sekolah dan ia
semakin ketengah jalan. Aku berlari menghampirinya, rasa khawatirku
mengalahkan kehati-hatianku dan "Iyaaaa..." Sebuah truk pasir telak
menghantam tubuhku, lindasan ban besarnya berhenti di atas dua kakiku.
Waktu aku sadar, dua kakiku sudah diamputasi. Ya Tuhan, bagaimana ini.
Bayang-bayang kelam menyelimuti pikiranku, tanpa kaki, bagaimana aku
bekerja. Kulihat Kania menangis sedih, bibir cuma berkata "Coba kalau
kamu tak belikan ia bola!"
15 tahun yang lalu,
Perekonomianku morat marit setelah kecelakaan. Uang pesangon habis
untuk ke rumah sakit dan uang tabungan menguap jadi asap dapur. Kania
mulai banyak mengeluh dan Iya mulai banyak dibentak. Aku hanya bisa
membelainya. Dan bilang kalau Mamanya sedang sakit kepala makanya cepat
marah. Perabotan rumah yang bisa dijual sudah habis. Dan aku tak bisa
berkata apa-apa waktu Kania hendak mencari ke luar negeri. Dia ingin
penghasilan yang lebih besar untuk mencukupi kebutuhan Kamila. Diizinkan
atau tidak diizinkan dia akan tetap pergi. Begitu katanya. Dan akhirnya
dia memang pergi ke Malaysia.
13 tahun yang lalu,
Setahun sejak kepergian Kania, keuangan rumahku sedikit membaik tapi itu
hanya setahun. Setelah itu tak terdengar kabar lagi. Dengan segala
keprihatinan kupaksakan agar Kamila bisa melanjutkan sekolah. Aku
bekerja serabutan, mengerjakan pekerjaan yang bisa kukerjakan dengan
dua tanganku. Aku miris, menghadapi kenyataan. Menyaksikan anakku yang
tumbuh remaja dan aku tahu dia ingin menikmati dunianya. Tapi keadaanku
mengurungnya dalam segala kekurangan. Tapi aku harus kuat. Aku harus
tabah untuk mengajari Kamila hidup tegar.
10 tahun yang lalu,
Aku sedih, semua tetangga sering mengejek kecacatanku. Dan Kamila hanya
sanggup berlari ke dalam rumah lalu sembunyi di dalam kamar. Dia sering
jadi bulan-bulanan hinaan teman sebayanya. Tapi anakku memang sabar dia
tidak marah walau tak urung menangis juga. "Sabar ya, Nak!"
hiburku."Pak, Iya pake ****** aja ya, biar tidak diganggu!" pintanya
padaku. Dan aku menangis. Anakku maafkan bapakmu, hanya itu suara yang
sanggup kupendam dalam hatiku. Sejak hari itu, anakku tak pernah lepas
dari kerudungnya. Dan aku bahagia. Anakku, ternyata kamu sudah semakin
dewasa. Dia selalu tersenyum padaku. Dia tidak pernah menunjukkan
kekecewaannya padaku karena sekolahnya hanya terlambat di bangku SMP.
7 tahun yang lalu,
Aku merenung seharian. Ingatanku tentang Kania, istriku, kembali menemui
pikiranku. Aku tak mungkin bohong pada diriku sendiri, jika aku masih
menyimpan rindu untuknya. Dan itu pula yang membuat aku takut. Semalam
Kamila bilang dia ingin menjadi TKI ke Malaysia. Sulit baginya mencari
pekerjaan di sini yang cuma lulusan SMP. Haruskah aku melepasnya karena
alasan ekonomi. Dia bilang aku sudah tua, tenagaku mulai habis dan dia
ingin agar aku beristirahat. Dia berjanji akan rajin mengirimi aku uang
dan menabung untuk modal. Setelah itu dia akan pulang, menemaniku
kembali dan membuka usaha kecil-kecilan. Kali ini pun aku tak kuasa
untuk menghalanginya. Aku hanya berdoa agar Kamilaku baik-baik saja.
4 tahun lalu,
Kamila tak pernah telat mengirimi aku uang. Hampir tiga tahun dia di
sana. Dia bekerja sebagai seorang pelayan di rumah seorang nyonya. Tapi
Kamila tidak suka dengan laki-laki yang disebutnya datuk. Matanya tak
pernah siratkan sinar baik. Dia juga dikenal suka perempuan. Dan nyonya
itu adalah istri mudanya yang keempat. Dia bilang dia sudah ingin
pulang. Karena akhir-akhir ini dia sering diganggu. Lebaran tahun ini
dia akan berhenti bekerja. Itu yang kubaca dari suratnya. Aku senang
mengetahui itu dan selalu menunggu hingga masa itu tiba. Kamila bilang,
aku jangan pernah lupa salat dan kalau kondisiku sedang baik usahakan
untuk salat tahajjud. Kini anakku lebih pandai menasihati daripada aku.
Dan aku bangga.
3 tahun 6 bulan yang lalu,
Inikah badai? Aku mendapat surat dari kepolisian pemerintahan Malaysia,
kabarnya anakku ditahan. Dan dia diancam hukuman mati, karena dia
terbukti membunuh suami majikannya. Sesak dadaku mendapat kabar ini.
Aku menangis, aku tak percaya. Kamilaku yang lemah lembut tak mungkin
membunuh. Lagipula kenapa dia harus membunuh. Aku meminta bantuan hukum
dari Indonesia untuk menyelamatkan anakku dari maut. Hampir setahun aku
gelisah menunggu kasus anakku selesai. Tenaga tuaku terkuras dan
airmataku habis. Aku hanya bisa memohon agar anakku tidak dihukum mati
andai dia memang bersalah.
2 tahun 6 bulan yang lalu,
Akhirnya putusan itu jatuh juga, anakku terbukti bersalah. Dan dia harus
menjalani hukuman gantung sebagai balasannya. Aku tidak bisa apa-apa
selain menangis sejadinya. Andai aku tak izinkan dia pergi apakah
nasibnya tak akan seburuk ini? Andai aku tak belikan ia bola apakah
keadaanku pasti lebih baik? Aku kini benar-benar sendiri. Atas
permintaan anakku aku dijemput terbang ke Malaysia. Anakku ingin aku
ada di sisinya di saat terakhirnya. Lihatlah, dia kurus sekali. Dua
matanya sembab dan bengkak. Ingin rasanya aku berlari tapi apa daya
kakiku tak ada. Aku masuk ke dalam ruangan pertemuan itu, dia berhambur
ke arahku, memelukku erat, seakan tak ingin melepaskan aku.
"Bapak, Iya Takut!" aku memeluknya lebih erat lagi. Andai bisa ditukar,
aku ingin menggantikannya.
"Kenapa, Ya, kenapa kamu membunuhnya sayang?"
"Lelaki tua itu ingin Iya tidur dengannya, Pak. Iya tidak mau. Iya
dipukulnya. Iya takut, Iya dorong dan dia jatuh dari jendela kamar. Dan
dia mati. Iya tidak salah kan, Pak!"
Aku perih mendengar itu. Aku iba dengan nasib anakku. Masa mudanya
hilang begitu saja. Tapi aku bisa apa, istri keempat lelaki tua itu
menuntut agar anakku dihukum mati. Dia kaya dan lelaki itu juga orang
terhormat. Aku sudah berusaha untuk memohon keringanan bagi anakku,
tapi menemuiku pun ia tidak mau. Sia-sia aku tinggal di Malaysia selama
enam bulan untuk memohon hukuman pada wanita itu.
2 tahun yang lalu,
Hari ini, anakku akan dihukum gantung. Dan wanita itu akan hadir
melihatnya. Aku mendengar dari petugas jika dia sudah datang dan ada di
belakangku. Tapi aku tak ingin melihatnya. Aku melihat isyarat tangan
dari hakim di sana. Petugas itu membuka papan yang diinjak anakku. Dan
'blass" Kamilaku kini tergantung. Aku tak bisa lagi menangis. Aku
mendengar langkah kaki menuju jenazah anakku. Dia menyibak kain
penutupnya dan tersenyum sinis. Aku mendongakkan kepalaku, dan dengan
mataku yang samar oleh air mata aku melihat garis wajah yang kukenal.
"Kania?"
"Mas Har, kau . !"
"Kau ... kau bunuh anakmu sendiri, Kania!"
"Iya? Dia..dia . Iya?" serunya getir menunjuk jenazah anakku.
"Ya, dia Iya kita. Iya yang ingin jadi pemain bola jika sudah besar."
"Tidak ... tidaaak ... " Kania berlari ke arah jenazah anakku. Diguncang
tubuh kaku itu sambil menjerit histeris. Seorang petugas menghampiri
Kania dan memberikan secarik kertas yang tergenggam di tangannya waktu
dia diturunkan dari tiang gantungan. Bunyinya "Terima kasih Mama." Aku
baru sadar, kalau dari dulu Kamila sudah tahu wanita itu ibunya.
Setahun lalu,
Sejak saat itu istriku gila. Tapi apakah dia masih istriku. Yang aku
tahu, aku belum pernah menceraikannya. Terakhir kudengar kabarnya dia
mati bunuh diri. Dia ingin dikuburkan di samping kuburan anakku, Kamila.
Kata pembantu yang mengantarkan jenazahnya padaku, dia sering berteriak,
"Iya sayaaang, apalagi yang pecah, Nak." Kamu tahu Kania, kali ini yang
pecah adalah hatiku. Mungkin orang tua kita memang benar, tak
seharusnya kita menikah. Agar tak ada kesengsaraan untuk Kamila anak
kita. Benarkah begitu Iya sayang?
Sumber
Label: Cerita Penuh makna
Percayalah dan lakukanlah sesuatu yang menurut kita benar
sebuah kata yang mengandng kebenaran adalah sebuah kata yang mampu menyentuh halus hati kita dengan berkata ini benar !!!
(By Anwar)
Masa depan adalah milik mereka yang percaya akan keindahan mimpi-mimpi mereka.
(Eleanor Roosevelt)
Jangan melihat ke belakang dengan kemarahan, atau ke depan dengan ketakutan, tetapi lihatlah ke sekelilingmu dengan kewaspadaan.
(James Thurber)
Tinggalkan kebaikan, lepaskan kebijaksanaan, orang akan menarik manfaat seribu kali
Tinggalkan kasih sayang, lepaskan moralitas, orang akan merangkul cinta kasih dan bakti kepada orang tua
Tinggalkan kecerdikan, lepaskan ketamakan, bandit dan pencuri akan sirna
(Lao Tzu, Tao Te Ching)
Bilamana anda menyembunyikan kehendak anda dari orang lain, namanya Mental Baja
Bilamana anda memaksakan kehendak anda terhadap orang lain, namanya Pantang Menyerah.
(Lee Zhong Wu)
Menaklukkan orang lain membutuhkan paksaan
Menaklukkan diri sebdiri membutuhkan kekuatan
(Lao Tzu)
Hanya orang yang berada di tengah-tengah yang sanggup menjadi yang terbaik
(Jean Giraudoux)
Jika seseorang itu kuat dan tegar, justru ia harus pandai-pandai menyamarkan diri agar terlihat lemah dan tak berdaya.
(Sun Tzu)
Manusia sangat bersusah payah untuk mendapatkan pengetahuan tentang dunia materi
Dipelajarinya seluruh cabang ilmu pengetahuan duniawi
Ia menjelajahi bumi, dan bahkan berwisata ke lautan
Namun ia tidak pernah mencoba mencari tahu apa yang ada di dalam dirinya sendiri
Karena ia tidak menyadari kekuatan yang luar biasa, yang tersembunyi di dalam dirinya, ia mencari dukungan dari dunia luar.
(Naskah Hindu Kuno)
Orang yang tidak mengalami kesialan berarti cukup beruntung.
(Anonim)
Bila anda ingin melakukan sesuatu, usahakan agar lawan anda melakukannya untuk anda.
(Asas Militer Cina)
Bila anda tidak mempunyai gelar yang tepat, orang tidak akan
mendengarkan anda; dan kalau mereka tidak mendengarkan, perintah anda
tidak akan dijalankan.
(Kong Hu Cu)
Untuk membasmi rumput, cabut akarnya;
Untuk membuat periuk berhenti mendidih, singkirkan bahan bakarnya.
(Pepatah Cina)
Orang-orang dengan mimpi berbeda dapat tidur bersama seranjang
(Pepatah Cina)
Jika kamu mengenali dirimu dan mengenali musuhmu, maka seratus pertempuran, seratus kemenangan.
(Sun Tzu)
Jika perkara kecil tidak bisa ditanggulangi, rencana besar akan berakhir dengan kekecewaan.
(Sam Kok)
Perang itu berdasarkan tipu muslihat
Bergeraklah hanya jika ada keuntungan nyata untuk diraih dan adakanlah
perubahan-perubahan situasi dengan membagi atau memusatkan pasukanmu.
Bergeraklah secepat angin, bersatulah seperti pohon-pohon di hutan
Serbu dan jarahlah musuh laksana api dan tegaklah laksana gunung
Biarkan rencanamu tak terhitung laksana awan yang berarak dan bergeraklah bak guntur yang menggelegar.
(Sun Tzu)
Adalah hal yang baik bila menjadi spesialis di dalam bidangmu. Jangan
berlagak di luar tingkat kemampuanmu dengan melakukan hal-hal yang tak
kamu pahami...
(Anonim)
Seseorang yang cerdik dapat mengambil pelajaran dari
kesalahan-kesalahannya sendiri; Yang paling cerdik mempelajari dari
kesalahan-kesalahan orang lain.
(Anonim)
Berkat sering menimbulkan luka, jadi hati-hatilah bila semua berjalan lancar.
Keberhasilan harus dicapai setelah kegagalan, jadi jangan menyerah bila kamu kecewa.
(Huanchu Daoren)
Sumber : Forum
Label: Cerita Penuh makna
Pada bulan ke-2 diawal kuliah saya, seorang Profesor memberikan quiz
mendadak pada kami. Karena kebetulan cukup menyimak semua
kuliah-kuliahnya, saya cukup cepat menyelesaikan soal-soal quiz,
sampai pada soal yang terakhir. Isi Soal terakhir ini adalah : Siapa
nama depan wanita yang menjadi petugas pembersih sekolah ?
. Saya yakin
soal ini cuma "bercanda". Saya sering melihat perempuan ini.
Tinggi,berambut gelap dan berusia sekitar 50-an, tapi bagaimana saya
tahu nama depannya... ? Saya kumpulkan saja kertas ujian saya, tentu
saja dengan jawaban soal terakhir kosong. Sebelum kelas usai, seorang
rekan bertanya pada
Profesor itu, mengenai soal terakhir akan "dihitung" atau tidak.
"Tentu Saja Dihitung !!" kata si Profesor. "Pada perjalanan karirmu,
kamu aka n ketemu banyak orang. Semuanya penting!. Semua harus kamu
perhatikan dan pelihara, walaupun itu cuma dengan sepotong senyuman,
atau sekilas "hallo"! Saya selalu ingat pelajaran itu. Saya kemudian
tahu, bahwa nama depan ibu pembersih sekolah adalah "Dorothy".
Malam itu, pukul setengah dua belas malam. Seorang wanita negro rapi
yang sudah berumur, sedang berdiri di tepi jalan tol Alabama . Ia
nampak mencoba bertahan dalam hujan yang sangat deras, yang hampir
seperti badai. Mobilnya kelihatannya lagi rusak, dan perempuan ini
sangat ingin menumpang mobil. Dalam keadaan basah kuyup, ia mencoba
menghentikan setiap mobil yang lewat. Mobil berikutnya dikendarai oleh
seorang pemuda bule, dia berhenti untuk menolong ibu ini. Kelihatannya
si bule ini tidak paham akan konflik etnis tahun 1960-an, yaitu pada
saat itu. Pemuda ini akhirnya membawa si ibu negro selamat hingga
suatu tempat, untuk menda patkan pertolongan, lalu mencarikan si ibu
ini taksi. Walaupun terlihat sangat tergesa-gesa, si ibu tadi bertanya
tentang alamat si pemuda itu, menulisnya, lalu mengucapkan terima
kasih pada si pemuda. 7 hari berlalu, dan tiba-tiba pintu rumah pemuda
bule ini diketuk Seseorang. Kejutan baginya, karena yang datang
ternyata kiriman sebuah televisi set besar berwarna (1960-an !) khusus
dikirim kerumahnya.Terselip surat kecil tertempel di televisi, yang
isinya adalah : " Terima kasih nak, karena membantuku di jalan Tol
malam itu. Hujan tidak hanya membasahi bajuku, tetapi juga jiwaku.
Untung saja anda datang dan menolong saya. Karena pertolongan anda,
saya masih sempat untuk hadir disisi suamiku yang sedang
sekarat...hingga wafatnya. Tuhan memberkati anda,karena membantu saya
dan tidak mementingkan dirimu pada saat itu" Tertanda Ny.Nat King
Cole.
Sumber : Forum
Label: Cerita Penuh makna
Tapi klo menurut Q...Laki - laki menangis itu gak papa ....pi..lihat nangisnya karena apa........
nih ada sebuah cerita yang membuat saya sebagai laki laki yang bisa mengalirkan air mata karena...isinya yang benar - benar menyentuh...hati saya....High.........high......
Lelaki yang gelisah (kisah yang menyentuh)
Dear All,
Rasanya ini baik untuk direnungkan setiap kita yang merasa "berkecukupan" dan selalu "dimanja" oleh Tuhan.
--------------------------------------------------------------------------------
Dari pinggir kaca nako, di antara celah kain gorden, saya melihat lelaki itu mondar-mandir di depan rumah. Matanya berkali-kali melihat ke rumah saya.Tangannya yang dimasukkan ke saku celana, sesekali mengelap keringat di keningnya.
Dada saya berdebar menyaksikannya. Apa maksud remaja yang bisa jadi umurnya tak jauh dengan anak sulung saya yang baru kelas 2 SMU itu? Melihat tingkah lakunya yang gelisah, tidakkah dia punya maksud buruk dengan keluarga saya? Mau merampok? Bukankah sekarang ini orang merampok tidak lagi mengenal waktu? Siang hari saat orang-orang lalu-lalang pun penodong bisa beraksi, seperti yang banyak diberitakan koran. Atau dia punya masalah dengan Yudi, anak saya?
Kenakalan remaja saat ini tidak lagi enteng. Tawuran telah menjadikan puluhan remaja meninggal. Saya berdoa semoga lamunan itu salah semua. Tapi mengingat peristiwa buruk itu bisa saja terjadi, saya mengunci seluruh pintu dan jendela rumah. Di rumah ini, pukul sepuluh pagi seperti ini, saya hanya seorang diri. Kang Yayan, suami saya, ke kantor. Yudi sekolah, Yuni yang sekolah sore pergi les Inggris, dan Bi Nia sudah seminggu tidak masuk.
Jadi kalau lelaki yang selalu memperhatikan rumah saya itu menodong, saya bisa apa? Pintu pagar rumah memang terbuka. Siapa saja bisa masuk.
Tapi mengapa anak muda itu tidak juga masuk? Tidakkah dia menunggu sampai tidak ada orang yang memergoki? Saya sedikit lega saat anak muda itu berdiri di samping tiang telepon. Saya punya pikiran lain. Mungkin dia sedang menunggu seseorang, pacarnya, temannya, adiknya, atau siapa saja yang janjian untuk bertemu di tiang telepon itu. Saya memang tidak mesti berburuk sangka seperti tadi. Tapi dizaman ini, dengan peristiwa-peristiwa buruk, tenggang rasa yang semakin menghilang, tidakkah rasa curiga lebih baik daripada lengah?
Saya masih tidak beranjak dari persembunyian, di antara kain gorden, di samping kaca nako. Saya masih was-was karena anak muda itu sesekali masih melihat ke rumah. Apa maksudnya? Ah, bukankah banyak pertanyaan di dunia ini yang tidak ada jawabannya.
Terlintas di pikiran saya untuk menelepon tetangga. Tapi saya takut jadi ramai. Bisa-bisa penduduk se-kompleks mendatangi anak muda itu. Iya kalau anak itu ditanya-tanya secara baik, coba kalau belum apa-apa ada yang memukul.
Tiba-tiba anak muda itu membalikkan badan dan masuk ke halaman rumah. Debaran jantung saya mengencang kembali. Saya memang mengidap penyakit jantung. Tekad saya untuk menelepon tetangga sudah bulat, tapi kaki saya tidak bisa melangkah. Apalagi begitu anak muda itu mendekat, saya ingat, saya pernah melihatnya dan punya pengalaman buruk dengannya. Tapi anak muda itu tidak lama di teras rumah. Dia hanya memasukkan sesuatu ke celah di atas pintu dan bergegas pergi. Saya masih belum bisa mengambil benda itu karena kaki saya masih lemas.
* * *
Saya pernah melihat anak muda yang gelisah itu di jembatan penyeberangan, entah seminggu atau dua minggu yang lalu. Saya pulang membeli bumbu kue waktu itu. Tiba-tiba di atas jembatan penyeberangan, saya ada yang menabrak, saya hampir jatuh. Si penabrak yang tidak lain adalah anak muda yang gelisah dan mondar-mandir di depan rumah itu, meminta maaf dan bergegas mendahului saya. Saya jengkel, apalagi begitu sampai di rumah saya tahu dompet yang disimpan di kantong plastik, disatukan dengan bumbu kue, telah raib.
Dan hari ini, lelaki yang gelisah dan si penabrak yang mencopet itu, mengembalikan dompet saya lewat celah di atas pintu. Setelah saya periksa, uang tiga ratus ribu lebih, cincin emas yang selalu saya simpan di dompet bila bepergian, dan surat-surat penting, tidak ada yang berkurang.
Lama saya melihat dompet itu dan melamun. Seperti dalam dongeng. Seorang anak muda yang gelisah, yang siapa pun saya pikir akan mencurigainya, dalam situasi perekonomian yang morat-marit seperti ini, mengembalikan uang yang telah digenggamnya. Bukankah itu ajaib, seperti dalam dongeng. Atau hidup ini memang tak lebih dari sebuah dongengan?
Bersama dompet yang dimasukkan ke kantong plastik hitam itu saya menemukan surat yang dilipat tidak rapi. Saya baca surat yang berhari-hari kemudian tidak lepas dari pikiran dan hati saya itu. Isinya seperti ini: "Ibu yang baik, maafkan saya telah mengambil dompet Ibu. Tadinya saya mau mengembalikan dompet Ibu saja, tapi saya tidak punya tempat untuk mengadu, maka saya tulis surat ini, semoga Ibu mau membacanya. Sudah tiga bulan saya berhenti sekolah. Bapak saya di-PHK dan tidak mampu membayar uang SPP yang berbulan-bulan sudah nunggak, membeli alat-alat sekolah dan memberi ongkos. Karena kemampuan keluarga yang minim itu saya berpikir tidak apa-apa saya sekolah sampai kelas 2 STM saja. Tapi yang membuat saya sakit hati, Bapak kemudian sering mabuk dan judi buntut yang beredar sembunyi-sembunyi itu.
Adik saya yang tiga orang, semuanya keluar sekolah. Emak berjualan goreng-gorengan yang dititipkan di warung-warung. Adik-adik saya membantu mengantarkannya. Saya berjualan koran, membantu-bantu untuk beli beras.
Saya sadar, kalau keadaan seperti ini, saya harus berjuang lebih keras. Saya mau melakukannya. Dari pagi sampai malam saya bekerja. Tidak saja jualan koran, saya juga membantu nyuci piring di warung nasi dan kadang (sambil hiburan) saya ngamen. Tapi uang yang pas-pasan itu (Emak sering gagal belajar menabung dan saya maklum), masih juga diminta Bapak untuk memasang judi kupon gelap. Bilangnya nanti juga diganti kalau angka tebakannya tepat. Selama ini belum pernah tebakan Bapak tepat. Lagi pula Emak yang taat beribadah itu tidak akan mau menerima uang dari hasil judi, saya yakin itu.
Ketika Bapak semakin sering meminta uang kepada Emak, kadang sambil marah-marah dan memukul, saya tidak kuat untuk diam. Saya mengusir Bapak. Dan begitu Bapak memukul, saya membalasnya sampai Bapak terjatuh-jatuh. Emak memarahi saya sebagai anak laknat. Saya sakit hati. Saya bingung. Mesti bagaimana saya?
Saat Emak sakit dan Bapak semakin menjadi dengan judi buntutnya, sakit hati saya semakin menggumpal, tapi saya tidak tahu sakit hati oleh siapa. Hanya untuk membawa Emak ke dokter saja saya tidak sanggup. Bapak yang semakin sering tidur entah di mana, tidak perduli. Hampir saya memukulnya lagi.
Di jalan, saat saya jualan koran, saya sering merasa punya dendam yang besar tapi tidak tahu dendam oleh siapa dan karena apa. Emak tidak bisa ke dokter. Tapi orang lain bisa dengan mobil mewah melenggang begitu saja di depan saya, sesekali bertelepon dengan handphone. Dan di seberang stopan itu, di warung jajan bertingkat, orang-orang mengeluarkan ratusan ribu untuk sekali makan.
Maka tekad saya, Emak harus ke dokter. Karena dari jualan koran tidak cukup, saya merencanakan untuk mencopet. Berhari-hari saya mengikuti bus kota, tapi saya tidak pernah berani menggerayangi saku orang. Keringat dingin malah membasahi baju. Saya gagal jadi pencopet.
Dan begitu saya melihat orang-orang belanja di toko, saya melihat Ibu memasukkan dompet ke kantong plastik. Maka saya ikuti Ibu. Di atas jembatan penyeberangan, saya pura-pura menabrak Ibu dan cepat mengambil dompet. Saya gembira ketika mendapatkan uang 300 ribu lebih.
Saya segera mendatangi Emak dan mengajaknya ke dokter. Tapi Ibu, Emak malah menatap saya tajam. Dia menanyakan, dari mana saya dapat uang. Saya sebenarnya ingin mengatakan bahwa itu tabungan saya, atau meminjam dari teman. Tapi saya tidak bisa berbohong. Saya mengatakan sejujurnya, Emak mengalihkan pandangannya begitu saya selesai bercerita.
Di pipi keriputnya mengalir butir-butir air. Emak menangis. Ibu, tidak pernah saya merasakan kebingungan seperti ini. Saya ingin berteriak. Sekeras-kerasnya. Sepuas-puasnya. Dengan uang 300 ribu lebih sebenarnya saya bisa makan-makan, mabuk, hura-hura. Tidak apa saya jadi pencuri. Tidak perduli dengan Ibu, dengan orang-orang yang kehilangan. Karena orang-orang pun tidak perduli kepada saya. Tapi saya tidak bisa melakukannya. Saya harus mengembalikan dompet Ibu. Maaf."
Surat tanpa tanda tangan itu berulang kali saya baca. Berhari-hari saya mencari-cari anak muda yang bingung dan gelisah itu. Di setiap stopan tempat puluhan anak-anak berdagang dan mengamen. Dalam bus-bus kota. Di taman-taman. Tapi anak muda itu tidak pernah kelihatan lagi. Siapapun yang berada di stopan, tidak mengenal anak muda itu ketika saya menanyakannya.
Lelah mencari, di bawah pohon rindang, saya membaca dan membaca lagi surat dari pencopet itu. Surat sederhana itu membuat saya tidak tenang. Ada sesuatu yang mempengaruhi pikiran dan perasaan saya. Saya tidak lagi silau dengan segala kemewahan. Ketika Kang Yayan membawa hadiah-hadiah istimewa sepulang kunjungannya ke luar kota, saya tidak segembira biasanya.Saya malah mengusulkan oleh-oleh yang biasa saja.
Kang Yayan dan kedua anak saya mungkin aneh dengan sikap saya akhir-akhir ini. Tapi mau bagaimana, hati saya tidak bisa lagi menikmati kemewahan. Tidak ada lagi keinginan saya untuk makan di tempat-tempat yang harganya ratusan ribu sekali makan, baju-baju merk terkenal seharga jutaan, dan sebagainya.
Saya menolaknya meski Kang Yayan bilang tidak apa sekali-sekali. Saat saya ulang tahun, Kang Yayan menawarkan untuk merayakan di mana saja. Tapi saya ingin memasak di rumah, membuat makanan, dengan tangan saya sendiri. Dan siangnya, dengan dibantu Bi Nia, lebih seratus bungkus nasi saya bikin. Diantar Kang Yayan dan kedua anak saya, nasi-nasi bungkus dibagikan kepada para pengemis, para pedagang asongan dan pengamen yang banyak di setiap stopan.
Di stopan terakhir yang kami kunjungi, saya mengajak Kang Yayan dan kedua anak saya untuk makan bersama. Diam-diam air mata mengalir dimata saya.
Yuni menghampiri saya dan bilang, "Mama, saya bangga jadi anak Mama." Dan saya ingin menjadi Mama bagi ribuan anak-anak lainnya.
--------------------------------------------------------------------------------
Label: Cerita Penuh makna
Cerpen
Putu Wijaya
Dimuat di
Jawa Pos
07/10/2005 Telah Disimak 804 kali
Seorang perempuan muda bertanya kepada ibunya.
Ibu, lelaki sejati itu seperti apa?
Ibunya
terkejut. Ia memandang takjub pada anak yang di luar pengamatannya
sudah menjadi gadis jelita itu. Terpesona, karena waktu tak mau
menunggu. Rasanya baru kemarin anak itu masih ngompol di sampingnya
sehingga kasur berbau pesing. Tiba-tiba saja kini ia sudah menjadi
perempuan yang punya banyak pertanyaan.
Sepasang matanya yang
dulu sering belekan itu, sekarang bagai sorot lampu mobil pada malam
gelap. Sinarnya begitu tajam. Sekelilingnya jadi ikut memantulkan
cahaya. Namun jalan yang ada di depan hidungnya sendiri, yang sedang ia
tempuh, nampak masih berkabut. Hidup memang sebuah rahasia besar yang
tak hanya dialami dalam cerita di dalam pengalaman orang lain, karena
harus ditempuh sendiri.
Kenapa kamu menanyakan itu, anakku?
Sebab aku ingin tahu.
Dan sesudah tahu?
Aku tak tahu.
Wajah
gadis itu menjadi merah. Ibunya paham, karena ia pun pernah muda dan
ingin menanyakan hal yang sama kepada ibunya, tetapi tidak berani.
Waktu itu perasaan tidak pernah dibicarakan, apalagi yang menyangkut
cinta. Kalaupun dicoba, jawaban yang muncul sering menyesatkan. Karena
orang tua cenderung menyembunyikan rahasia kehidupan dari anak-anaknya
yang dianggapnya belum cukup siap untuk mengalami. Kini segalanya sudah
berubah. Anak-anak ingin tahu tak hanya yang harus mereka ketahui,
tetapi semuanya. Termasuk yang dulu tabu. Mereka senang pada bahaya.
Setelah menarik napas, ibu itu mengusap kepala putrinya dan berbisik.
Jangan
malu, anakku. Sebuah rahasia tak akan menguraikan dirinya, kalau kau
sendiri tak penasaran untuk membukanya. Sebuah rahasia dimulai dengan
rasa ingin tahu, meskipun sebenarnya kamu sudah tahu. Hanya karena kamu
tidak pernah mengalami sendiri, pengetahuanmu hanya menjadi potret
asing yang kamu baca dari buku. Banyak orang tua menyembunyikannya,
karena pengetahuan yang tidak perlu akan membuat hidupmu berat dan
mungkin sekali patah lalu berbelok sehingga kamu tidak akan pernah
sampai ke tujuan. Tapi ibu tidak seperti itu. Ibu percaya zaman
memberikan kamu kemampuan lain untuk menghadapi bahaya-bahaya yang juga
sudah berbeda. Jadi ibu akan bercerita. Tetapi apa kamu siap menerima
kebenaran walaupun itu tidak menyenangkan?
Maksud Ibu?
Lelaki sejati anakku, mungkin tidak seperti yang kamu bayangkan.
Kenapa tidak?
Sebab
di dalam mimpi, kamu sudah dikacaukan oleh bermacam-macam harapan yang
meluap dari berbagai kekecewaan terhadap laki-laki yang tak pernah
memenuhi harapan perempuan. Di situ yang ada hanya perasaan keki.
Apakah itu salah?
Ibu
tidak akan bicara tentang salah atau benar. Ibu hanya ingin kamu
memisahkan antara perasaan dan pikiran. Antara harapan dan kenyataan.
Aku
selalu memisahkan itu. Harapan adalah sesuatu yang kita inginkan
terjadi yang seringkali bertentangan dengan apa yang kemudian ada di
depan mata. Harapan menjadi ilusi, ia hanya bayang-bayang dari hati.
Itu aku mengerti sekali. Tetapi apa salahnya bayang-bayang? Karena
dengan bayang-bayang itulah kita tahu ada sinar matahari yang menyorot,
sehingga berkat kegelapan, kita bisa melihat bagian-bagian yang
diterangi cahaya, hal-hal yang nyata yang harus kita terima, meskipun
itu bertentangan dengan harapan.
Ibunya tersenyum.
Jadi kamu masih ingat semua yang ibu katakan?
Kenapa tidak?
Berarti kamu sudah siap untuk melihat kenyataan?
Aku siap. Aku tak sabar lagi untuk mendengar. Tunjukkan padaku bagaimana laki-laki sejati itu.
Ibu
memejamkan matanya. Ia seakan-akan mengumpulkan seluruh unsur yang
berserakan di mana-mana, untuk membangun sebuah sosok yang jelas dan
nyata.
Laki-laki yang sejati, anakku katanya kemudian, adalah… tetapi ia tak melanjutkan.
Adalah?
Adalah seorang laki-laki yang sejati.
Ah, Ibu jangan ngeledek begitu, aku serius, aku tak sabar.
Bagus,
Ibu hanya berusaha agar kamu benar-benar mendengar setiap kata yang
akan ibu sampaikan. Jadi perhatikan dengan sungguh-sungguh dan jangan
memotong, karena laki-laki sejati tak bisa diucapkan hanya dengan satu
kalimat. Laki-laki sejati anakku, lanjut ibu sambil memandang ke depan,
seakan-akan ia melihat laki-laki sejati itu sedang melangkah di udara
menghampiri penjelmaannya dalam kata-kata.
Laki-laki sejati adalah…
Laki-laki yang perkasa?!
Salah!
Kan barusan Ibu bilang, jangan menyela! Laki-laki disebut laki-laki
sejati, bukan hanya karena dia perkasa! Tembok beton juga perkasa,
tetapi bukan laki-laki sejati hanya karena dia tidak tembus oleh peluru
tidak goyah oleh gempa tidak tembus oleh garukan tsunami, tetapi dia
harus lentur dan berjiwa. Tumbuh, berkembang bahkan berubah, seperti
juga kamu.
O ya?
Bukan karena ampuh, bukan juga karena tampan
laki-laki menjadi sejati. Seorang lelaki tidak menjadi laki-laki sejati
hanya karena tubuhnya tahan banting, karena bentuknya indah dan
proporsinya ideal. Seorang laki-laki tidak dengan sendirinya menjadi
laki-laki sejati karena dia hebat, unggul, selalu menjadi pemenang,
berani dan rela berkorban. Seorang laki-laki belum menjadi laki-laki
sejati hanya karena dia kaya-raya, baik, bijaksana, pintar bicara,
beriman, menarik, rajin sembahyang, ramah, tidak sombong, tidak suka
memfitnah, rendah hati, penuh pengertian, berwibawa, jago bercinta,
pintar mengalah, penuh dengan toleransi, selalu menghargai orang lain,
punya kedudukan, tinggi pangkat atau punya karisma serta banyak akal.
Seorang laki-laki tidak menjadi laki-laki sejati hanya karena dia
berjasa, berguna, bermanfaat, jujur, lihai, pintar atau jenius. Seorang
laki-laki meskipun dia seorang idola yang kamu kagumi, seorang
pemimpin, seorang pahlawan, seorang perintis, pemberontak dan pembaru,
bahkan seorang yang arif-bijaksana, tidak membuat dia otomatis menjadi
laki-laki sejati!
Kalau begitu apa dong?
Seorang laki-laki
sejati adalah seorang yang melihat yang pantas dilihat, mendengar yang
pantas didengar, merasa yang pantas dirasa, berpikir yang pantas
dipikir, membaca yang pantas dibaca, dan berbuat yang pantas dibuat,
karena itu dia berpikir yang pantas dipikir, berkelakuan yang pantas
dilakukan dan hidup yang sepantasnya dijadikan kehidupan.
Perempuan muda itu tercengang.
Hanya itu?
Seorang laki-laki sejati adalah seorang laki-laki yang satu kata dengan perbuatan!
Orang yang konsekuen?
Lebih dari itu!
Seorang yang bisa dipercaya?
Semuanya!
Perempuan muda itu terpesona.
Apa
yang lebih dari yang satu kata dan perbuatan? Tulus dan semuanya?
Ahhhhh! Perempuan muda itu memejamkan matanya, seakan-akan mencoba
membayangkan seluruh sifat itu mengkristal menjadi sosok manusia dan
kemudian memeluknya. Ia menikmati lamunannya sampai tak sanggup
melanjutkan lagi ngomong. Dari mulutnya terdengar erangan kecil, kagum,
memuja dan rindu. Ia mengalami orgasme batin.
Ahhhhhhh, gumannya
terus seperti mendapat tusukan nikmat. Aku jatuh cinta kepadanya dalam
penggambaran yang pertama. Aku ingin berjumpa dengan laki-laki seperti
itu. Katakan di mana aku bisa menjumpai laki-laki sejati seperti itu,
Ibu?
Ibu tidak menjawab. Dia hanya memandang anak gadisnya seperti kasihan. Perempuan muda itu jadi bertambah penasaran.
Di mana aku bisa berkenalan dengan dia?
Untuk apa?
Karena
aku akan berkata terus-terang, bahwa aku mencintainya. Aku tidak akan
malu-malu untuk menyatakan, aku ingin dia menjadi pacarku, mempelaiku,
menjadi bapak dari anak-anakku, cucu-cucu Ibu. Biar dia menjadi teman
hidupku, menjadi tongkatku kalau nanti aku sudah tua. Menjadi orang
yang akan memijit kakiku kalau semutan, menjadi orang yang membesarkan
hatiku kalau sedang remuk dan ciut. Membangunkan aku pagi-pagi kalau
aku malas dan tak mampu lagi bergerak. Aku akan meminangnya untuk
menjadi suamiku, ya aku tak akan ragu-ragu untuk merayunya menjadi
menantu Ibu, penerus generasi kita, kenapa tidak, aku akan merebutnya,
aku akan berjuang untuk memilikinya.
Dada perempuan muda itu turun naik.
Apa
salahnya sekarang wanita memilih laki-laki untuk jadi suami, setelah
selama berabad-abad kami perempuan hanya menjadi orang yang menunggu
giliran dipilih?
Perempuan muda itu membuka matanya. Bola mata itu berkilat-kilat. Ia memegang tangan ibunya.
Katakan cepat Ibu, di mana aku bisa menjumpai laki-laki itu?
Bunda menarik nafas panjang. Gadis itu terkejut.
Kenapa Ibu menghela nafas sepanjang itu?
Karena kamu menanyakan sesuatu yang sudah tidak mungkin, sayang.
Apa? Tidak mungkin?
Ya.
Kenapa?
Karena laki-laki sejati seperti itu sudah tidak ada lagi di atas dunia.
Oh, perempuan muda itu terkejut.
Sudah tidak ada lagi?
Sudah habis.
Ya Tuhan, habis? Kenapa?
Laki-laki sejati seperti itu semuanya sudah amblas, sejak ayahmu meninggal dunia.
Perempuan muda itu menutup mulutnya yang terpekik karena kecewa.
Sudah amblas?
Ya.
Sekarang yang ada hanya laki-laki yang tak bisa lagi dipegang mulutnya.
Semuanya hanya pembual. Aktor-aktor kelas tiga. Cap tempe semua. Banyak
laki-laki yang kuat, pintar, kaya, punya kekuasaan dan bisa berbuat apa
saja, tapi semuanya tidak bisa dipercaya. Tidak ada lagi laki-laki
sejati anakku. Mereka tukang kawin, tukang ngibul, semuanya bakul jamu,
tidak mau mengurus anak, apalagi mencuci celana dalammu, mereka buas
dan jadi macan kalau sudah dapat apa yang diinginkan. Kalau kamu sudah
tua dan tidak rajin lagi meladeni, mereka tidak segan-segan menyiksa
menggebuki kaum perempuan yang pernah menjadi ibunya. Tidak ada lagi
laki-laki sejati lagi, anakku. Jadi kalau kamu masih merindukan
laki-laki sejati, kamu akan menjadi perawan tua. Lebih baik hentikan
mimpi yang tak berguna itu.
Gadis itu termenung. Mukanya nampak sangat murung.
Jadi tak ada harapan lagi, gumamnya dengan suara tercekik putus asa. Tak ada harapan lagi. Kalau begitu aku patah hati.
Patah hati?
Ya. Aku putus asa.
Kenapa mesti putus asa?
Karena apa gunanya lagi aku hidup, kalau tidak ada laki-laki sejati?
Ibunya kembali mengusap kepala anak perempuan itu, lalu tersenyum.
Kamu
terlalu muda, terlalu banyak membaca buku dan duduk di belakang meja.
Tutup buku itu sekarang dan berdiri dari kursi yang sudah memenjarakan
kamu itu. Keluar, hirup udara segar, pandang lagit biru dan daun-daun
hijau. Ada bunga bakung putih sedang mekar beramai-ramai di pagar,
dunia tidak seburuk seperti yang kamu bayangkan di dalam kamarmu. Hidup
tidak sekotor yang diceritakan oleh buku-buku dalam perpustakaanmu
meskipun memang tidak seindah mimpi-mimpimu. Keluarlah anakku, cari
seseorang di sana, lalu tegur dan bicara! Jangan ngumpet di sini!
Aku tidak ngumpet!
Jangan lari!
Siapa yang lari?
Mengurung diri itu lari atau ngumpet. Ayo keluar!
Keluar ke mana?
Ke jalan! Ibu menunjuk ke arah pintu yang terbuka. Bergaul dengan masyarakat banyak.
Gadis itu termangu.
Untuk apa? Dalam rumah kan lebih nyaman?
Kalau begitu kamu mau jadi kodok kuper!
Tapi aku kan banyak membaca? Aku hapal di luar kepala sajak-sajak Kahlil Gibran!
Tidak
cukup! Kamu harus pasang omong dengan mereka, berdialog akan membuat
hatimu terbuka, matamu melihat lebih banyak dan mengerti pada
kelebihan-kelebihan orang lain.
Perempuan muda itu menggeleng.
Tidak ada gunanya, karena mereka bukan laki-laki sejati.
Makanya keluar. Keluar sekarang juga!
Keluar?
Ya.
Perempuan
muda itu tercengang, suara ibunya menjadi keras dan memerintah. Ia
terpaksa meletakkan buku, membuka earphone yang sejak tadi
menyemprotkan musik R & B ke dalam kedua telinganya, lalu keluar
kamar.
Matahari sore terhalang oleh awan tipis yang berasal dari
polusi udara. Tetapi itu justru menolong matahari tropis yang garang
itu untuk menjadi bola api yang indah. Dalam bulatan yang hampir
sempurna, merahnya menyala namun lembut menggelincir ke kaki langit.
Silhuet seekor burung elang nampak jauh tinggi melayang-layang
mengincer sasaran. Wajah perempuan muda itu tetap kosong.
Aku tidak memerlukan matahari, aku memerlukan seorang laki-laki sejati, bisiknya.
Makanya keluar dari rumah dan lihat ke jalanan!
Untuk apa?
Banyak
laki-laki di jalanan. Tangkap salah satu. Ambil yang mana saja,
sembarangan dengan mata terpejam juga tidak apa-apa. Tak peduli siapa
namanya, bagaimana tampangnya, apa pendidikannya, bagaimana otaknya dan
tak peduli seperti apa perasaannya. Gaet sembarang laki-laki yang mana
saja yang tergapai oleh tanganmu dan jadikan ia teman hidupmu!
Perempuan
muda itu tecengang. Hampir saja ia mau memprotes. Tapi ibunya keburu
memotong. Asal, lanjut ibunya dengan suara lirih namun tegas, asal, ini
yang terpenting anakku, asal dia benar-benar mencintaimu dan kamu
sendiri juga sungguh-sungguh mencintainya. Karena cinta, anakku, karena
cinta dapat mengubah segala-galanya.
Perempuan muda itu tercengang.
Dan
lebih dari itu, lanjut ibu sebelum anaknya sempat membantah, lebih dari
itu anakku, katanya dengan suara yang lebih lembut lagi namun semakin
tegas, karena seorang perempuan, anakku, siapa pun dia, dari mana pun
dia, bagaimana pun dia, setiap perempuan, setiap perempuan anakku,
dapat membuat seorang lelaki, siapa pun dia, bagaimana pun dia, apa pun
pekerjaannya bahkan bagaimana pun kalibernya, seorang perempuan dapat
membuat setiap lelaki menjadi seorang laki-laki yang sejati! ***
Denpasar, akhir 2004 sumber http://sriti.com
Label: Kumpulan Cerpen
Cerpen
Emi Teja K.D.
Dimuat di
Pontianak Post
06/08/2008 Telah Disimak 21 kali
LANGIT indah bertabur temaram bintang malam ini. Sang dewi malam
dengan anggun menebar senyumnya yang merekah. Seperti bibir bidadari
surga. Lama rasanya aku melupakan atap dunia itu. Aku terlalu sibuk
berada di bumi hingga tak sempat menengok langit. Bintang, benda langit
itu berkerlap-kerlip seakan menggodaku. Bagai tangan malaikat yang
melambai agar aku menghampirinya. Ia mengingatkanku pada mitos bintang
jatuh.
Kata orang, bintang jatuh dapat mengabulkan permintaan
manusia. Benarkah? Jika iya, aku rela menunggu benda langit itu
tertarik gravitasi bumi, meski harus menantinya tiap malam, hanya untuk
satu permintaan. Ah, kenapa pula aku jadi seperti bocah. Mana mungkin
benda langit yang tak mampu melawan takdir untuk dirinya sendiri
tersebut mampu mengabulkan keinginan makhuk lain?
Seandainya
bintang jatuh mampu mengabulkan keinginan, pasti dia akan meminta
sendiri kepada Tuhan agar kontraknya di atap dunia diperpanjang.
Buktinya, ia memilih menuruti kehendak alam.
Sayang, saat ini,
aku yang sedang sentimentil merasa bintang yang menggoda itu seakan
seperti pantulan cermin atas diriku sendiri. Awalnya begitu indah,
tinggi di awang-awang namun tak terjamah, jauh, dan jika Tuhan
menghendakinya jatuh, ia tak mampu melawan.
Aku terlahir sebagai
bocah desa biasa, anak buruh tani. Kedua orang tuaku tak lulus SD,
begitu juga kedua kakak perempuanku. Mereka menikah di usia yang masih
sangat belia, menjadi ibu rumah tangga, mengurusi anak, suami, dan
dapur.
Status yang menurutku benar-benar rendah dan aku tak mau
seperti mereka. Adalah Pak Ahmad, kepala desaku yang menjadi
kepanjangan tangan Tuhan mengubah seluruh duniaku. Beliau mengangkatku
menjadi anak asuhnya sejak aku SD karena terkesan dengan prestasi
belajarku saat aku menjadi juara 1 lomba cerdas cermat se-kecamatan.
Sejak
saat itu, beliau menanggung semua biaya pendidikan, termasuk semua
keperluanku. Aku tak pernah kekurangan apa pun. Semua yang aku mau,
sekarang aku minta, esok pagi saat aku baru membuka mata, pasti aku
telah mendapatkannya. Aku cantik, setidaknya aku primadona desa. Aku
juga sudah memiliki belahan hati yang telah kuyakini adalah jodohku.
Laki-laki tersebut bernama Awan. Itu yang dulu aku namai keberuntungan.
Aku menikmati semua anugerah Tuhan tersebut. Tapi, saat ini
tidak demikian, aku berharap ada bintang jatuh, berharap mitos
tentangnya benar. Satu keinginan yang ingin aku minta adalah aku tak
ingin jadi diriku sekarang. Aku ingin menjadi Sekar, gadis desa anak
Pak Kardi dan Ibu Karmi, buruh tani yang tak lulus SD. Aku ingin
seperti Mbak Gendis dan Mbak Elok.
Semua masih biasa saja
sampai kemarin, namun sebuah kejadian tadi siang benar-benar menjungkir
balik duniaku. Seharusnya, siang ini menjadi saat paling indah dalam
hidupku. Sebulan yang lalu, Awan mengungkapkan niat untuk melamarku dan
aku setuju. Aku telah merangkai jutaan angan tentang masa depan kami,
tentang rumah mungil yang hangat. Tentang bayi-bayi lucu yang kelak
menjadi calon profesor.
Sebuah hal yang tak aku duga, ternyata,
merusak segalanya. Kedatangan Awan hari ini tak kunyana tak mendapatkan
sambutan baik dari bapak angkatku. Beliau menolak mentah-mentah niat
Awan untuk meminangku. Bahkan, beliau bersumpah tidak akan menyetujui
hubungan kami sampai kapan pun. Aku tak pernah melihat bapak semarah
itu, tidak sama sekali sejak 11 tahun aku mengenal beliau.
Tapi,
hari ini malaikat itu berubah menjadi monster paling menakutkan. Semua
tak seperti kemarin lagi. Dunia tak lagi indah bagiku, meski langit
sedang berpesta di atas sana. Hatiku terasa jauh lebih sakit saat tadi
sore, setelah bencana itu, aku pulang ke rumah orang tua kandungku. Aku
menceritakan semuanya, namun tak memperoleh pembelaan di sana. Di rumah
orang tua yang telah melahirkanku.
"Kamu sudah dewasa, kamu
sudah jadi wong pinter nduk, dan semua itu karena jasa Pak Ahmad, bapak
angkatmu. Jangan jadi anak durhaka Sekar, mintalah maaf kepadanya dan
turuti apa yang beliau minta." Hatiku sakit mendengar kalimat itu,
ringan keluar dari bibir ibu, wanita yang mengandung dan melahirkanku.
Meski tanpa melihat wajah beliau, aku tahu tak ada beban dari nada
suaranya. Ah ibu, apa benar tak ada lagi cintamu untukku?
Langit
masih bertabur bintang di atas sana, masih menyiratkan keindahan alam
awang-awang nun tak terjamah. Angin malam mulai membuatku menggigil.
Aku baru sadar, aku tidak sedang di rumah Pak Kepala Desa yang megah
dan hangat. Namun, aku sedang meringkuk di sudut balai desa tak
berdinding, tanpa alas, dan tanpa teman.
Aku tak tau apakah
bapak angkatku saat ini sedang sibuk mencariku atau hanya diam di rumah
menungguku pulang sendiri. Meminta maaf kepadanya, lalu dengan santun
mengatakan bahwa aku akan ikhlas menerima apa pun yang beliau mau.
Baru
kali ini aku tahu betapa berharga sebuah kemerdekaan dan kebebasan
menentukan pilihan sendiri. Andai aku bisa, aku ingin kembali ke masa
lalu, aku tak ingin mengenal seseorang yang pernah aku anggap malaikat
itu. Tak apalah aku hanya menjadi gadis desa yang bodoh, seperti yang
lain, hidup bersama Awan.
Awan, mengingatnya kembali membuat
dadaku sesak. Aku bodoh, aku lemah, dan aku tak mampu melawan. Kuintip
lagi langit yang tampak jelas dari tempatku menyudut, tetap semarak
meski sangat sepi. Pasti sudah lewat dini hari, kelengangan meraja.
****
Silau
mentari menerpa wajahku, aku menyipitkan mata karenanya. Hari sudah
terang. Aku tersentak kaget saat menyadari ada seseorang di dekatku.
Bapak? Bagaimana bisa orang yang kuhujat semalaman itu tiba-tiba duduk
di dekatku. Sebuah sarung kotak-kotak warna hijau menyelimuti tubuhku.
Aku
kenal betul benda itu, sarung yang sengaja aku beli untuk Bapak saat
aku liburan ke Jogja dulu. Bapak selalu mengenakannya. Air mataku
meleleh melihat malaikat itu tertidur dalam posisi duduk. Pastilah
tulang-tulang tua tersebut memberinya rasa pegal dan sakit yang
menyiksa. Tiba-tiba aku merasa sangat berdosa kepadanya. Bapak, maafkan
aku.
"Jangan menangis cah ayu,...jangan cengeng.." Rupanya,
isak tangisku mengusik tidur beliau. Tangan tuanya yang keriput
mengusap air mata di pipiku. Aku makin tersedu.
"Bapak tahu kamu sangat marah sama Bapak karena kejadian kemarin...." Suara datar penuh wibawa itu terdengar sangat halus.
"Bapak
tak akan melarangmu menikah dengan siapa pun. Kamu bebas memilih, kamu
telah dewasa, bahkan sebentar lagi kamu akan sah jadi sarjana, yang
pertama dan satu-satunya di desa ini. Tapi, jangan dengan anak bajingan
itu, sampai mati pun bapak tak rela.." Aku memilih diam, aku hanya
terisak dan semakin terisak. Aku pasrah saja saat bapak angkatku itu
menuntunku pulang.
****
Seminggu sudah bencana itu
berlalu, aku memilih patuh kepada Bapak. Sudah seminggu pula, aku
menghabiskan malam tanpa menutup mata. Berdiam diri di balkon kamarku
sambil menatap langit berharap dapat menemukan bintang jatuh. Malam
ini, kupastikan tak ada bintang jatuh, hujan sudah mengguyur bumi mulai
sore tadi. Tapi, aku tetap seperti hari-hari sebelumnya.
"Nduk Sekar, dipanggil Bapak," suara Mbok Jah terdengar dari balik pintu kamarku.
"Ya Mbok, terima kasih," jawabku acuh tanpa membuka pintu
"Nduk, dipanggil Bapak," Mbok jah mengulangi panggilannya.
"Iya..iya.., bentar!!!" sambil membuka pintu kubentak wanita sepuh itu.
"Maaf nduk, tapi Bapak sedang sakit. Beliau ingin bertemu dengan Nduk Sekar."
"Sakit?
Sakit apa? Sejak kapan Mbok? Sepertinya, kemarin-kemarin aku melihat
Bapak sehat-sehat saja?" aku menghujani pertanyaan kepada Mbok Jah
sambil melangkah menuju kamar Bapak. Pintu kamar itu terbuka sebagian,
dari luar aku sudah dapat melihat wajah Bapak. Pucat dan lemah.
"Bapak kenapa?? Bapak...." aku menjerit histeris sambil memegangi tangan Bapak.
"Jangan
menikah dengan anak Surya, Sekar. Berjanjilah pada Bapakmu
ini,....berjanjilah," suara itu samar, hampir tak terdengar tapi sangat
menghujam jantungku. Refleks aku mengangguk.
"Aku berjanji Bapak, aku berjanji,...."
****
Hari
ini aku terpaku menatap gundukan tanah yang masih basah. Semerbak bau
kembang terbawa angin bersama debu dan daun kering. Di bawah sana,
malaikat sekaligus monster itu terbaring untuk selamanya meninggalkan
janji yang sangat berat di pundakku.
Di seberang sana, aku
melihat sosok yang sangat aku kenal. Awan terpaku di bawah pohon
kamboja. Seakan memintaku untuk mendekatinya. Aku ingin berlari ke
arahnya menumpahkan kerinduanku. Tapi, janji yang aku ucap semalam
kepada jasad yang tertidur di bawah nisan ini merantai kakiku. Aku
memilih untuk meninggalkan tempat itu, tanpa menegur atau sekadar
membalas tatapannya.
Nyawaku tak utuh lagi. Mungkin pergi
bersama Bapak atau tinggal bersama Awan yang masih terpaku di bawah
pohon kamboja. Janji adalah utang. Kepada beliau, aku tak hanya utang
janji, tapi juga utang budi. Selalu ada harga yang harus dibayar untuk
segala sesuatu, meski untuk sebutir pasir sekalipun. Jika itu harga
yang harus aku bayar, akan aku lakukan. Aku memang tak yakin bisa hidup
tanpa Awan.
Tapi, aku telah memilih untuk menepati janjiku
kepada Bapak. Biarlah takdir sendiri yang menentukan jalan kami.
Seperti bintang yang patuh untuk turun ke bumi saat Sang Mahakuasa
menghendakinya demikian.
Dendamlah yang membuat Bapak sangat
membenci Pak Surya, orang tua Awan. Bapak sangat meyakini bahwa
kematian istri dan putri tunggalnya, Mbak Lastri, adalah karena teluh
yang dikirim Pak Surya yang kala itu kalah pemilihan kepala desa.
Bapak
sangat meyakini itu benar. Meski diagnosis dokter mengatakan bahwa
mereka meninggal karena DBD. Saat itu, memang desa ini sedang diserang
wabah DBD. Namun, karena kejadian tersebut hanya berselang satu hari
setelah kemenangan Bapak, beliau meyakini ada kekuatan lain yang
merenggut nyawa dua orang keluarganya itu hingga meninggal secara
bersamaan.***
Sumber:http://sriti.com
Label: Kumpulan Cerpen
Sebuh cerpen karya Adi Toha
Dia membuat karya cerpenya ini dalam satu kepala judul yaitu " Kala Rupa"
Ini merupakan file Htm versi pdf sehingga kita tidak hanya bisa membukanya tapi juga kita bisa untuk mendownloadnya (save)
Novel "Kala Rupa" ini berisi 16 cerpen
diantaranya:
1. Kawah
2. Bencana Langit
3. Pasar Malam , Perempuan Tua dan Sepasang Sepatu
4. Pelacur dan semut
5. Rumah Kosong dan Patung kayu
6. Lelaki dengan Bekas Luka di Punggungnya
7. Namira
8. Kereta
9. Ada Pantai di Kamarku
10. Kalarupa
11. Lubang
12. Jalur Sodrun
13. Kisah Kematian Pengarang Muda
14. Selimut Jingga untuk Kekasihku
15. Gadis Kecil dan Penjaga Makam
16. Angira
Untuk membaca atau mengambilnya tengok disini
Met membaca.....!!!
Selembar Uang 5000
Anak dalam gendongan Sri belum diam. Semakin Sri berusaha
menenangkannya, tangis anak itu semakin pecah. Sri mulai kuwalahan
untuk membujuknya.
“Cup-cup, Nak. Sebentar lagi Bapak datang.” Bujuk Sri sambil menimang-nimang dalam gendongan.
“Mungkin dia lapar, Sri.”
“Mungkin iya, Mbak.”
“Tadi anakmu sudah makan belum ?”
“Belum.”
“Kalau begitu cepat kasih dia makan.”
Sri tersenyum. Menelan ludah yang terasa kian hambar di lidah yang
sejak kemarin belum kemasukan makanan. Tawar dan getir adalah hiasan
hidupnya.
Hadiah Kejujuran
Firman masih terjaga. Ditemani jam weker dan segelas susu hangat yang
baru diantar ibunya. Mulutnya komat-kamit menghafal rumus matematika.
Kadang matanya terpejam, berharap rumus yang dihafal dapat melekat di
otak. Namun rasa kantuk yang kuat, sering mnghapus hafalannya. Harus
bisa! Tekadnya dalam hati. Firman tak rela gelar juara pertamanya
direbut oleh Andi untuk yang kedua kali. Apalagi ayahnya sudah berjanji
akan membelikan sepeda baru kalau ia berhasil merebut kembali juara
pertama.
Si Hitam Pemalas
Kukuruyuuu…uk!
Kukuruyuuu…uk!
Si Jago Putih berkokok keras. Suaranya memanjang, menembus butanya
pagi yang dingin. Gaungnya memanggil fajar yang sebentar lagi muncul
menggantikan gelap. Ini adalah tugasnya sehari-hari sebagai pimpinan
kandang. Berkokok menjelang fajar untuk membangunkan semua penghuni.
Suasana kandang yang senyap langsung riuh. Beberapa induk ayam mulai
membangunkan anak-anaknya.
Suatu Siang di Bunguras
Alhamdulillah, sampai juga di Bungurasih. Berarti sudah separo
perjalanan yang kutempuh. Bis yang kutumpangi berhenti di jalur dua
pemberhentian bis. Uff…hh!! Surabaya yang panas, sepanas orang-orang
yang mengerubutiku.
“Perlu tenaga, Mbak?” seorang penyedia jasa angkutan barang menawarkan
bantuan. Aku tolak dengan sopan sambil tersenyum. Aku tak ingin
penolakanku menimbulkan reaksi yang tidak menyenangkan darinya.
Ah,Surabaya tak pernah berubah. Bungurasih tak pernah sepi dari
manusia. Kupercepat langkah kakiku untuk menghindari buruan para calo
yang mencari penumpang. Sekaligus memperkecil resiko kecopetan.
Kabarnya terminal terbesar di Jawa Timur ini menjadi sarang para
pencopet.
Tabungan Rossi
Cring!
Cring!
Dua keping uang logam ditelan ayam.
Rosi mengangkat celengan ayamnya dengan sayang.
“Wah, sudah semakin berat. Berarti isinya semakin banyak. Ternyata
menabung itu benar-benar menyenangkan. Sebentar lagi aku bisa membeli
apa saja yang kuinginkan dengan uangku sendiri.” Rosi tersenyum senang.
Sumber :http://feeds.feedburner.com/co/fvzz
Label: Kumpulan Cerpen
***
Alhamdulillah, sampai juga di Bungurasih. Berarti sudah separo
perjalanan yang kutempuh. Bis yang kutumpangi berhenti di jalur dua
pemberhentian bis. Uff…hh!! Surabaya yang panas, sepanas orang-orang
yang mengerubutiku.
“Perlu tenaga, Mbak?” seorang penyedia jasa angkutan barang menawarkan
bantuan. Aku tolak dengan sopan sambil tersenyum. Aku tak ingin
penolakanku menimbulkan reaksi yang tidak menyenangkan darinya.
Ah,Surabaya tak pernah berubah. Bungurasih tak pernah sepi dari
manusia. Kupercepat langkah kakiku untuk menghindari buruan para calo
yang mencari penumpang. Sekaligus memperkecil resiko kecopetan.
Kabarnya terminal terbesar di Jawa Timur ini menjadi sarang para
pencopet.
Ya, maklum. Inilah Surabaya. Penduduknya padat, lapangan pekerjaan
sempit. Sebagian orang akan melakukan apapun untuk bisa bertahan hidup.
Setelah antri sebentar akhirnya tiba juga giliranku untuk membayar
peron. Kuangsurkan recehan perak kepada petugas. Setelah menerima
karcis, aku bergegas memburu diantara arus manusia menuju ruang tunggu.
Suasana ruang tunggu tak kalah bising. Langkah tergesa kaki manusia
dengan membawa tas-tas besar saling berebut untuk mendahului. Apalagi
ditambah klakson bis yang sahut-menyahut. Untunglah ada peraturan yang
melarang awak bis mencari penumpang di ruang tunggu. Jam di tengah
ruang tunggu menunjuk angka 12.15. Berarti kemungkinan sampai di Jember
jam 16.00. Masih bisa untuk menjamak sholat. Aku memang tidak terbiasa
sholat di terminal ini. Selain musholanya jauh aku juga tidak berani
sendirian. Entahlah, mungkin karena dari kecil aku tidak pernah pergi
sendirian.
Maklum, aku adalah si bungsu yang hanya mempunyai kakak laki-laki. Jadi
kemanapun pergi selalu ada yang mengantar. Tapi sayang sekarang kakakku
mulai sibuk jadi aku harus mulai belajar pergi sendirian.
“Assalamu’alaikum.” Sebuah salam terdengar nyaring disela-sela klakson bis yang terus bersahutan. Tak
kuhiraukan suara itu, karena aku yakin tidak ditujukan untukku. Aku masih terus berjalan menuju tempat
pemberangkatan bis. Aku harus cepat agar bisa mendapat kursi paling
depan. “Assalamu’alaikum.” Siapa, sih. Aku mulai penasaran. Aku semakin
kaget ketika sebuah tangan menarik lenganku.
“Assalamu’alaikum” Untuk kesekian kalinya ia mengucap salam. Sangat sopan.
“Wa’alaikumsalam” Agak gugup aku menjawab salamnya.
“Ukh, dari tadi ana panggil sejak anti membayar peron. Kok nggak menjawab.” Aku hanya tersenyum.
“Maaf, Mbak. Soalnya ………. Saya kira Mbak bukan memanggil saya.” Aku
masih belum mengerti siapa perempuan di depanku ini. Kuteliti dengan
seksama, jangan-jangan aku pernah bertemu tapi lupa. Jilbab putih
lebarnya, gamisnya yang bermotif bunga-bunga kecil, lengkap dengan kaos
kaki dan sepatu hitam. Anehnya ia tidak membawa apa-apa. Memoriku
buntu. Aku memang belum pernah melihat dia sebelumnya.
pun mencari kursi yang agak kosong. Meskipun sulit akhirnya dapat juga.
Kalau semula aku hanya pasif, kini aku yang duluan bertanya. “Maaf,
Mbak ini siapa, ya. Sepertinya baru sekarang kita bertemu.” Kupanggil
dia Mbak karena dari wajahnya aku yakin ia lebih tua dariku.
Bibirnya tersenyum sebelum menjawab. “Ana Rina, kalau Anti?”
“Saya Lilik.” Jawabku singkat.
“Begini, ehm…” Ia tampak kebingungan. Aku masih diam menunggu sambil
sesekali memperhatikan jam dinding di tengah ruang tunggu. Apa sih
maunya.
“Aduh, ana jadi nggak enak.” Kebingungannya semakin kentara. “Sebenarnya ana baru kena musibah.” Ucapnya dengan nada sedih.
“Innalillahi..” Aku mencoba berempati dengan kondisinya.
“Ana tadi ke Malang. Rencananya mau mengambil baju walimah yang
dipinjam teman.” Mendengar nama Malang disebut, aku langsung tertarik.
Karena sebelum di Jember aku pernah kuliah di Malang.
“Malang mana, Mbak? Tanyaku antusias.
“Daerah Dinoyo.” Orang di sekitar tidak lagi memperhatikan kami. Semua kembali sibuk dengan urusan
masing-masing. “Karena nggak ketemu, akhirnya ana pulang lagi. Tapi saat menempuh perjalanan ke
Surabaya, ana kecopetan. Dompet dan tas ana hilang. “Dengan tawa hambar ia mengakhiri ceritanya.
Aku mulai mengerti kalau sebenarnya Rina butuh uang. Tapi sampai ceritanya usai aku belum berinisiatif
untuk menawarkan bantuan. Kulihat lagi jam dinding. Aku masih bingung
antara percaya atau tidak dengan kisahnya. Logikaku mengatakan agar
waspada. Ini adalah Surabaya. Semua modus penipuan bisa saja terjadi.
Ah, waktuku semakin pendek. Kuinggat-ingat uang yang aku bawa saat
ini. Aku hanya membawa uang pas-pasan. Meskipun masih ada di tabungan,
tapi semua telah kuanggarkan untuk membayar hutang. Motorku baru rusak
berat dan untuk minta orang tua aku tidak berani. Untunglah ada teman
yang memberi pinjaman. Konsekuensinya anggaranku bulan ini terpotong
untuk membayar hutang.
Untuk kesekian kalinya kutatap wajah bulat yang ada di depanku. Kucoba
mencari kebenaran di sana. Ya Allah kalau dia benar-benar membutuhkan
pasti aku akan sangat berdosa. Tapi kalau ternyata dia menipuku? Tak
tahulah. Aku masih bingung. Apalagi jam di dinding terus bergerak.
Sekilas aku teringat temanku yang pernah kehabisan ongkos saat menempuh
perjalanan Surabaya – Jakarta. Uangnya tinggal 200 perak. Untunglah ada
orang yang bersedia menolong.
“Afwan, Ukh. Kalau boleh ana minta diongkosi untuk pulang.” Aku
tidak kaget dengan ucapannya karena dari awal aku sudah menduga. Tapi….
Gimana, ya. Uangku hanya 50.000, itupun sudah terpakai untuk ongkos
Kediri-Surabaya. Ya Allah, jawaban apa yang harus kuberikan? Antara
rasa takut mendzolimi orang yang kesusahan dan khawatir tertipu
bercampur menjadi satu. Terus terang, yang membuatku heran adalah
sikapnya yang mudah meminta kepada orang yang belum kenal. Terdesak
apapun, seorang akhwat tidak akan mudah meminta. Maksimal ia akan
meminjam, bukan meminta. Tapi bisa jadi dia benar-benar terpaksa
melakukannya. Setelah agak lama, kuberanikan bertanya tentang tujuannya.
“Rumah Mbak Rina dimana?” Bagaimanapun aku harus segera mengambil keputusan.
“Banyuwangi.”
“Banyuwangi mana?”
“Ana di jalan Bratang nomor 120 Banyuwangi.”
“Kalau begitu bareng saja. Saya juga mau ke Jember. Kita kan satu
jalur.” Di benakku langsung terbayang aku akan naik bis ekonomi dalam
cuaca yang sepanas ini. Tapi tak apalah, kan ada teman ngobrol. “Tapi
ana baru berangkat jam 2 nanti karena harus memblokir ATM yang juga
kecopetan.
“Kan bisa telepon ke kantor pusat layanan sekarang?”
“Tapi ana harus menghubungi suami dulu. Suami saya baru pulang kantor sekitar jam 2 siang.” Kilahnya
halus. Sebenarnya keraguanku semakin bertambah mendengar alasannya.
Atau, jangan-jangan aku yang terlalu paranoid. Ah, sudahlah. Aku
semakin kesal dengan diriku sendiri. Kalaupun tertipu aku masih ada
uang di tabungan, daripada bersuudhon, padahal dia benar-benar
membutuhkan. Otakku sudah capek berpikir lagi.
Aku juga tak mau tersiksa antara rasa kasihan dan suudhon. “Berapa,
ongkos ke Banyuwangi?” Akhirnya kalimat itu muncul dari mulutku.
Wajahnya tampak meunjukkkan rasa lega. “Biasanya Rp. 18000.” Segera
kusodorkan selembar duapuluh ribuan karena aku harus segera berangkat.
Aku tak ingin sampai di Jember maghrib. “Jazakillah, Ukh. Afwan ana
ngrepotin.”
“Nggak apa-apa, kok Mbak. Saya pergi dulu ya, Mbak. Assalamu’alaikum.”
Kutinggalkan bangku menuju tempat pemberangkatan bis diiringi tatapan
aneh dari puluhan pasang mata di sekitarku. Masa bodoh dengan mereka.
Segera kunaiki bis patas jurusan Jember. Sepanjang perjalanan aku masih
memikirkan peristiwa yang baru kualami. Ah, biarlah pasti ada hikmahnya.
* * * *
“Hati-hati, lho mulai sekarang.” Mbak Atik berkata sambil menghitung sisa Tarbawi di etalase. “Sekarang
susah membedakan antara orang yang benar-benar membutuhkan dengan penipu.” Sambungnya.
“Iya, lho. Pas aku pulang dari Nganjuk ketemu dengan orang seperti itu.
Katanya kesusahan, eh ternyata penipu.” Mbak Ros yang sedang menyapu
ikut bicara juga.
“Eh, Mbak Ros ketemu di mana?” Sambungku cepat.
“Di Bungurasih. Orangnya pake kostum persis akhwat.”
“Waduh! Jangan-jangan sama, Mbak.” Selaku cepat teringat kejadian dua hari yang lalu.
“Dek, Lilik ketemu juga?” “Iya. Kemarin pas mau ke Jember aku juga
ketemu di Surabaya. Katanya sih rumahnya Banyuwangi.” “Eh, rumahnya di
Jalan Bratang bukan?” “Iya.”
“Eh..eh. Kalian kok memalukan, sih. Masa satu rumah tertipu oleh orang
yang sama.” Sambung Mbak Atik geli. “Dia cerita gimana, Dek?” “Katanya
kecopetan sewaktu naik bis dari Malang ke Surabaya.”
“Kok, sama ya ceritanya.” “Berarti dia tergolong penipu yang nggak kreatif.”
“Sebenarnya yang menjadi masalah bukan uangnya. Tapi modus yang dipakai itu bisa merusak citra akhwat.”
Aku setuju dengan pendapat Mbak Ros. “Iya-ya. Aku jadi gemes juga.
Kayaknya yang menjadi sasaran memang akhwat. Bahasa yang dipakai
meyakinkan banget.” “Kira-kira apa yang harus kita lakukan, ya.
Kasihan, kan akhwat lain. Maunya membantu eh, malah tertipu.” Mbak Ros
tampak berpikir keras, sampai tidak sadar kalau menyapunya salah arah.
“Apalagi kalau yang menjadi sasaran orang umum. Benar-benar merusak
izzah kita.” “Kalau kita membuat tulisan di koran gimana? Paling tidak
memberi tahu agar para akhwat waspada.” Usulku memecah kesunyian.
“Bisa juga, sih.” Sambung Mbak Atik. Tapi sesaat kemudian. “Tapi apa nanti orang nggak salah paham?”
“Maksud Mbak Atik?” Kuperdekat kursiku ke arah meja.
“Takutnya pembaca akan mengira semua akhwat seperti itu. Penipu.”
“Benar juga, ya. Trus gimana?” Aku manyun sesaat. “Mbak Ros kasih
usulan, dong!” Kulihat Mbak Ros masih serius berpikir. Aku dan Mbak
Atik menunggu dengan sabar usulan Mbak Ros.
“Cepetan Mbak mikirnya.” Giliran Mbak Atik yang menjadi tidak sabar.
“Oh, ya. Aku ingat sekarang.” Wajah Mbak Ros tampak berbinar. Aku dan
Mbak Atik menatap penuh harap. “Sekarang aku ada jadwal mengajar.”
Lanjutnya tanpa bersalah. Waaa..aaa Mbak Ros jelek. Dikira mencari
solusi, eh malah mikir yang lain. Aku dan Mbak langsung memburu Mbak
Ros yang lari kebelakang.
* * * *
Kugeser tasku agar lebih dekat. Siang ini terminal Bungurasih agak
sepi, sehingga banyak kursi kosong di ruang tunggu. Aku harus menunggu
kakakku yang masih ke toilet. Seorang laki-laki duduk di bangku yang
sederet denganku. Aku hanya melihatnya sekilas, selanjutnya aku
teruskan membaca novel islam terbaruku. “Assalamu’alaikum.” Sebuah
suara menghentikan bacaanku. Reflek mataku menoleh ke sumber suara
tadi. Deg!! Jantung serasa berhenti berdetak. Kutatap lekat wajah di
depanku. Ia adalah orang yang telah menipu aku dan Mbak Ros. Ternyata
aku bertemu lagi dengannya di sini. Sepertinya terminal ini memang
menjadi daerah operasinya. Tapi kenapa dia seperti tidak mengenaliku?
Apa karena terlalu banyak akhwat yang menjadi korbannya? Atau karena
wajahku yang agak berubah akibat cacarku yang belum sembuh?
“Wa..alaikum salam.” Kuatur nafasku agar tetap tenang. Otakku segera berpikir keras untuk menyusun
strategi dalam menghadapinya. “Duduk, Mbak.” Ajakku ramah. Setelah
suasana agak cair, mulailah orang yang sekarang bernama Mia itu
bercerita. Persis yang pernah dia ceritakan sebulan lalu. Benar-benar
tidak kreatif, pikirku.
“Afwan.” Sambungku setelah ceritanya selesai. “Mbak lupa dengan
saya?” Kutatap wajahnya tajam. “Sebulan yang lalu kita pernah ketemu di
sini, kan?” Kulihat ekspresi wajahnya yang langsung berubah pias. “Dan
Mbak juga mengarang cerita yang sama. Maskudnya apa?!” Aku semakin
mendesaknya karena merasa berada di posisi yang menang. Ia hanya diam
membisu. “Dengar, Mbak. Gara-gara perbuatan Mbak, nama jilbab jadi
tercemar dan banyak akhwat yang menjadi korban. Kasihan, kan mereka.
Belum tentu mereka punya kelebihan uang. Kalau Mbak memang mau menipu
nggak usahlah berdandan seperti ini.” Dia hanya menatap sinis mendengar
ucapanku. “Dan afwan. Sekarang saya nggak bawa uang karena sedang
diantar kakak.”
Aku hampir melanjutkan kalimatku ketika terdengar suara yang cukup jelas di telingaku.
“Diam!! ..” Nafasku berhenti seketika saat laki-laki yang di sebelahku telah mendekat dengan sebuah
pisau kecil di tangan. Aku mendelik karena tidak menyangka kalau Rina
atau entah siapa namanya…mempunyai sindikat yang tidak main-main.
“Cepat beri yang dia minta,….atau kau ingin pilihan yang lebih buruk
lagi, hah ..h!!” “Ee…e. Iya … , iya Pak. Sebentar. Sebenarnya saya
tidak membawa….”
“Cepat!!” Aduh, aku semakin gugup. Tremorku pun mendadak kambuh. Kakak, kenapa ke toiletnya lama sekali.
Aku hampir menangis karenanya. Segera kuaduk isi tasku dan kutemukan
satu-satunya lembaran lima puluh ribuan di sana. Disambarnya uang
tersebut dengan kasar oleh Rina. “Jazakillah, Ukhti.” Ucapnya dengan
nada penuh kemenangan. Aku benar-benar marah dan jengkel dibuatnya.
Tapi apa dayaku melihat mata laki-laki yang mendelik penuh ancaman
terus mengawasi. Aku benar-benar lemas. Dari sela-sela hilir mudik
manusia tampak kakakku datang dengan membawa botol minuman.
“Kakaaa..kk.!” Jeritku spontan. Yang kupanggil hanya bengong melihat,
karena memang Rina dan temannya telah pergi. Uhh… dasar nggak peka!
Sumber:http://feeds.feedburner.com/co/fvzz
Label: Kumpulan Cerpen
By RetnoWi | May 9, 2008
Cring!
Cring!
Dua keping uang logam ditelan ayam.
Rosi mengangkat celengan ayamnya dengan sayang.
“Wah, sudah semakin berat. Berarti isinya semakin banyak. Ternyata
menabung itu benar-benar menyenangkan. Sebentar lagi aku bisa membeli
apa saja yang kuinginkan dengan uangku sendiri.” Rosi tersenyum senang.
“Rosi! Makan dulu, Nak.” Suara Mama memanggilnya dari ruang makan.
Dengan hati-hati Rosi menaruh lagi celengan ayamnya ke meja belajar.
Di meja makan Mama dan Papa sudah duduk di kursi. Rosi pun bergegas menuju kursi yang berada di sebelah Mama.
“Wah, sepertinya sayurnya seger banget.” Rosi tidak tahan melihat sayur
bayam yang tampak segar. Tangannya segera mengambil piring dan
menyendok nasi.
“Makanya makan yang banyak. Tadi kenapa Mama panggil kok, nggak jawab?” Tanya Mama sambil menaruh nasi ke piring.
“Tadi Rosi sedang asyik dengan celengan, Ma. Sudah hampir penuh, lo!
Paling seminggu lagi bisa di buka.” Rosi bercerita dengan bangga.
“Terus uangnya mau diapakan?” Tanya Mama.
“Ehm…Rosi pengen beli sepatu. tapi kira-kira cukup nggak, ya?” Rosi tak yakin dengan jumlah uang dalam celengannya.
“Nanti kalau kurang, biar Papa yang tambah. Sekalian nanti Papa antar.” Kata Papa.
“Wah, benar, Pa? Alhamdulillah, akhirnya aku bisa membeli sepatu dari uangku sendiri.”
Keesokan harinya di sekolah, Rosi segera mencari Fitri sahabatnya.
Rosi tahu kebiasaan sahabatnya, makanya ia segera menuju perpustakaan.
Dan benar, di sana Fitri sedang serius dengan bukunya.
“Assalamu’alaikum, Fitri.” Sapa Rosi sambil duduk menjajari Fitri.
“Wa’alaikum salam.” Jawab Fitri yang masih terus menunduk memandangi bukunya.
“Fit, nanti sepulang sekolah anterin aku, ya? Aku pengen lihat-lihat sepatu.”
Fitri hanya diam. Rosi pun jadi bingung dibuatnya. Kemudian Rosi
memperhatikan wajah Fitri yang masih menunduk. Oh, ternyata Fitri
menangis.
“Fitri, kamu kenapa? Sakit?” Tanya Rosi sambil memegang bahu sahabatnya itu.
Fitri tidak menjawab. Ia hanya menggelengkan kepalanya dengan pelan.
“Lalu kenapa?”
Fitri tetap diam. Menggelengpun tidak. Hanya isaknya yang terdengar agak keras.
“Ayolah, Fit. Ceritakan apa yang terjadi. Aku kan sahabatmu.” Bujuk Rosi.
Fitri mendongak. Dengan bibir bergetar ia pun bercerita.
“Ibuku sakit dan harus dibawa ke dokter. Tapi abangku belum mengirim
uang bulan ini.Hari ini sakit ibuku bertambah parah. Aku takut terjadi
apa-apa dengan ibu. Hik…hik…hik.”
Rosi tertegun. Iba dia melihat keadaan sahabatnya. Ia pun terbayang
dengan celengan ayam dan sepatu baru yang ingin dibelinya. Kepala Rosi
menunduk, memandangi sepatu yang sedang dipakainya. Sepatunya masih
tampak baru. Warnanya masih mengkilat karena setiap hari disemir oleh
mamanya.
Kemudian mata Rosi melirik sepatu milik Fitri. Warnanya telah kusam.
Di bagian ujungnya juga mulai koyak. Rosi semakin sedih melihat
sahabatnya.
“Mungkin aku bisa membantu.” Suara Rosi membuat wajah Fitri yang semula
menunduk menjadi tegak. “Aku mempunyai celengan. Insyaallah cukup untuk
membawa ibumu ke dokter.”
Mata Fitri langsung berbinar. Harapannya untuk bisa membuat ibunya sembuh semakin besar.
“Terimakasih Rosi. Engkau memang sangat baik. Aku janji, kalau abangku
mengirim uang pasti akan kukembalikan uangmu.” Ucap Fitri tulus.
* * *
Malam minggu tiba. Papa keluar dari kamar dengan baju yang sudah rapi. Hari ini Papa akan memenuhi janjinya pada Rosi.
“Rosi kok belum siap? Katanya mau membeli sepatu?” Kata Papa ketika melihat Rosi masih membaca buku di ruang tamu.
“Ehm… sepertinya nggak jadi, Pa.” Jawab Rosi pelan.
“Kenapa nggak jadi? Celenganmu belum penuh?”
“Sebenarnya sudah. Tapi uang itu tidak ada sekarang.” Wajah Rosi menunduk dalam-dalam.
“Uangmu hilang?” Tanya Papa lagi. Rosi hanya menggeleng.
“Maaf, Pa. Uang celengan itu saya pinjamkan ke Fitri. Ibunya sakit.
Abangnya yang di luar kota belum mengirim uang. Padahal ibunya harus
segera dibawa ke dokter. Akhirnya uang Rosi saya berikan. Kata Fitri,
kalau abangnya mengirim uanmg, ia akan mengembalikan uang itu. Lagian,
sepatu Rosi masih bagus.” Rosi mengakhiri ceritanya.
Papa duduk disebelah Rosi. Tangannya merangkul bah Rosi dengan erat.
“Subhanallah! Papa bangga punya anak seperti Rosi. Karena Rosi bisa
membuat keputusan yang baik untuk membantu orang lain dan tidak
mementingkan diri sendiri.” Kata Papa sambil tersenyum.
“Sekarang Rosi segera ganti baju dan ikut keluar bersama Papa.” Lanjut Papa.
“Ke mana, Pa?” Tanya Rosi.
“Tentu saja ke toko sepatu. Papa akan membelikan sepatu baru untuk
Rosi, sebagai hadiah kebaikanmu membantu teman yang kesusahan.” Jawab
Papa.
“ Benar, Pa? Tanya Rosi tak percaya.
“Tentu saja.” Papa mengangguk mantap.
“Terimakasih, Pa. Aku akan segera ganti baju sekarang.”Rosi gembira
luar biasa. Ia berjanji dalam hati kalau Firimengembalikan uangnya, ia akan membeli sepatu lagi. Tapi bukan untuknya, melainkan untuk Fitri sahabatnya.
Sumber:http://feeds.feedburner.com/co/fvzz
Label: Kumpulan Cerpen
Bisa Didownload Cerpen Versi Pdf
***
Kukuruyuuu…uk!
Kukuruyuuu…uk!
Si Jago Putih berkokok keras. Suaranya memanjang, menembus butanya
pagi yang dingin. Gaungnya memanggil fajar yang sebentar lagi muncul
menggantikan gelap. Ini adalah tugasnya sehari-hari sebagai pimpinan
kandang. Berkokok menjelang fajar untuk membangunkan semua penghuni.
Suasana kandang yang senyap langsung riuh. Beberapa induk ayam mulai
membangunkan anak-anaknya.
Kukuruyuuu….uk!
Kukuruyuuu…uk!
“Ayo, Bangun! Bangun!” Si Lurik berkokok, membangunkan anak-anaknya yang pulas terlelap.
“Aahh…! Sudah pagi ya?” dengan mata setengah terpejam, anak Si Lurik menguap lebar.
“Sebentar lagi fajar akan datang dan cakrawala muncul dari timur. Artinya rejeki kita juga akan datang.”
Beberapa anak ayam itu pun menggeliat dan memicingkan mata.
Kukuruyuuu….uk!
Kukuruyuuu….uk!
Si Jago Putih berkokok lagi. Kali ini anak-anak si Lurik berdiri.
“Ayo cepat. Jangan sampai kita bangun setelah terbit matahari.” Si Lurik berkeliling kandang membangunkan ayam-ayam yang lain.
Satu per satu ayam-ayam mulai keluar, meninggalkan kandang yang pengap,
menyambut fajar yang belum muncul. Si Lurik memperhatikan semua
ayam-ayam yang keluar.
“Uugh!… Selalu dia telat. Dasar pemalas.” Si Lurik menggerutu ketika
melihat sesekor ayam hitam yang masih tenang mendengkur di sudut
kandang.
“Ayo, bangun Hitam. Semua ayam sudah keluar kandang.” Si Hitam tetap pulas. Seolah tak ada siapapun di dekatnya.
Dengan sedikit jengkel Si Lurik menarik-narik sayap Si Hitam.
“Ayo, Hitam. Subuh sudah lewat. Ayo bangun.”.
“Uaa…aghh! Ada apa sih?” Tanya Si Hitam dengan mata masih terpejam.
“Hari sudah pagi. Kau bisa kehabisan makanan nanti .”
“Aah… malas. Aku masih ngantuk. Lagian aku tidak akan kehabisan
makanan. Pak Tani sedang panen, pasti akan menjemur padi-padinya hari
ini.” Kembali Si Hitam meletakkan kepalanya ke tumpukan jerami.
Zzz….zzz…..zzz…. Si Lurik yang benar-benar sebal langsung keluar
meninggalkan Si Hitam yang memang pemalas.
Di luar kandang kabut masuh tebal. Udara terasa begitu dingin. Tidak seperti pagi-pagi sebelumnya.
“Bu, kenapa pagi ini dingin sekali?” Tanya anak Si Lurik.
”Iya, kata Ibu kalau Si Putih berkokok, matahari akan muncul. Tapi
mana? Sampai sekarang di langit tidak ada matahari?” Tanya anak ayam
yang lain.
“Kalau Si Putih berkokok artinya fajar sudah menjelang. Kalau ternyata
sampai sekarang matahari belum muncul itu bukan karena matahari tidak
terbit. Matahari tetap terbit, tapi karena langit mendung, maka
cahayanya tidak sampai ke bumi.” Jawab Lurik dengan sabar. “Makanya
kalian jangan hanya diam. Kalian berolah raga, agar badan terasa
hangat.”
Anak-anak ayam itu menurut. Mereka mnarik-narik kakai dan
mengepakkan sayap. Ketika melihat seekor belalang melompat segera
mereka mengejar. Mereka telah lupa dengan pagi yang dingin dan kabut
yang tebal.
“Wah, lihat! Itu Pak Tani datang.” Seru seekor anak ayam dengan girang.
Bersama ayam-ayam lain ia segera berlari kecil-kecil mengikuti langkah
lebar kaki pak Tani.
“Ayo, semua makan. Jangan rebutan, ya.” Kata Pak Tani pada mereka.
Dengan tenang Pak Tani segera menyendokkan campuran bekatul dan air ke
dalam belahan tempurung kelapa. Serentak, ayam-ayam itu langsung
mengerumuni tempurung kelapa dan mematuki bekatul dengan riang. Setelah
semua tempat makanan penuh, Pak Tani kembali masuk ke rumah.
Sepi. Semua ayam sedang sibuk menikmati makanan pagi itu.
Mematuk-matuk bekatul hingga habis. Mereka tak peduli dengan langit
yang semakin mendung.
“Aahh!…aku benar-benar kenyang.” Kata seekor ayam gendut yang berekor
panjang. “Lihat, perutku sudah penuh.” Katanya sambil menonjolkan
perutnya yang gemuk dengan lucu.
“Meskipun tidak makan seminggu, perutmu akan tetap gendut.” Goda ayam yang lain.
“Sepertinya sudah gerimis. Ayo semua masuk kandang. Jangan sampai
kehujanan. Nanti bisa sakit.” Teriak Si Putih mmemberi komando.
“Tapi makananku belum habis.” Kata seekor ayam yang kurus.
“Kau ini selalu lambat soal makanan. Di keroyok ayam tetangga baru tahu rasa, lho.” Gerutu Si Gendut saat melintas.
“Dasar gendut! Selalu cerewet.”
“Sudah-sudah. Gendut, ayo segera masuk. Biar ayam ini menyelesaikan makannya.” Perintah si Putih.
Ayam-ayam lain segera berjalan menuju kandang. Sementara Si Putih
terus mengawasi langit. Berharap hujan tidak turun dengan deras.
“Ayo, cepat sedikit makanmu.”
“Iya, ini tinggal sedikit.” Dengan sedikit tergesa ayam malang itu
menghabiskan makannya. Setelah selesai, ia langsung berlari menuju
kandang sambil terbatuk-batuk karena tersedak. Di belakangnya, Si Putih
mengikuti.
Suasana kandang kembali ramai. Ayam-ayam berceloteh dengan gembira.
Mereka bercanda dan tertawa. Namun keramaian itu membuat tidur Si Hitam
terganggu. Dengan mata sedikit terbuka, ia mencoba menyaksikan apa yang
terjadi. Ia masih belum mengerti kenapa ayam-ayam sudah kembali kandang
sepagi ini. Biasanya mereka berkeliaran sampai siang.
“Ada apa, sih? Ribut sekali?”
“Wah, Si Hitam sudah bangun rupanya.”
“Kenapa kalian sudah kembali ke kandang pagi-pagi begini?” selidik Si
Hitam penuh tanya. “mengganggu tidurku biar aku terbangun, ya?!”
“Hitam, di luar sedang hujan, makanya kami semua sudah kembali ke kandang.” Jawab Si Putih.
“Apa? Hujan?” Mata Si hitam membesar seketika. Ia segera berlari
melongok keluar kandang. Benar apa yang dikatakan Si Putih! Hujan
sedang turun dengan deras. Kepalanya mendongak, dilihatnya langit
begitu gelap. Mendung masih tebal, itu tandanya hujan masih lama
turunnya. Dengan langkah lemas. Si Hitam kembali ke kandang. Ia mulai
menyesal kenapa tidak menuruti ajakan si Lurik untuk bangun pagi. Kalau
hujan begini, tidak mungkin Pak Tani menjemur padinya. Perutnya sudah
mulai merasa lapar. Ia hanya bisa berdoa agar hujan segera berhenti.
Sejak saat itu Si Hitam selalu bangun pagi-pagi. Ia tak ingin kelaparan
gara-gara terlambat bangun.
Sumber:http://feeds.feedburner.com/co/fvzz
Label: Kumpulan Cerpen
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda